Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

"Mati Kita," Kata Anwar Nasution

Tak sabar dengan kelambanan pemerintah menangani skandal Bank Bali, para cukong Indonesia menghentikan pinjaman. Dampaknya ternyata panjang.

19 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Boleh jadi, inilah bukti ketergantungan hidup kita kepada utang. Begitu kucuran utang dari luar negeri mogok, cadangan devisa jadi terkuras. Gambaran sederhana berikut bisa mencerminkan keprihatinan itu. Selama Juli dan pekan-pekan pertama Agustus, cadangan devisa terus merayap naik. Itu semua berkat cairnya pinjaman dari Jepang. Tapi, pekan-pekan berikutnya, ketika pencairan pinjaman luar negeri tak terjadi lagi, simpanan devisa kita di kas Bank Indonesia langsung menipis. Merosotnya jumlah cadangan devisa menjadi makin cepat karena dalam pekan-pekan itu rupiah sedang kena sodok. Dipicu krisis di Timor Timur dan kemudian diikuti dengan riuhnya buntut skandal Bank Bali, investor asing ramai-ramai melepas asetnya yang bernilai rupiah. Saham, obligasi, bahkan juga deposito rupiah, semuanya dicairkan, kemudian hasilnya dipakai untuk menubruk dolar. Akibatnya, bank sentral, yang mencoba mempertahankan rupiah, harus merogoh simpanannya lebih dalam. Melalui operasi Bank Mandiri, Bank Indonesia harus menginjeksi pasar valuta asing dengan menjual dolar US$ 5 juta sampai US$ 20 juta sehari. Ujung-ujungnya, cadangan devisa merosot makin kencang. Puncaknya terjadi pekan lalu, ketika cadangan devisa melorot dari US$ 15,74 miliar menjadi US$ 15,585 miliar, atau US$ 150 juta lebih hanya dalam sepekan. Jika trend ini berlangsung terus, pemerintahan baru yang terbentuk akhir November nanti hanya akan menerima "warisan" cadangan devisa yang amat terbatas. Hitungan kasar saja, ketika itu, cadangan devisa kita tinggal sekitar US$ 14,5 miliar, hanya sedikit di atas batas "bahaya" yang ditetapkan Dana Moneter Internasional (IMF). Pertanyaannya, lalu bagaimana nasib kehidupan kita pekan-pekan mendatang, setelah hampir semua lembaga donor menghentikan bantuan. Seperti diketahui, tiga cukong terbesar Indonesia, yakni IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB), telah menyatakan akan menyetop pencairan utang baru. IMF, misalnya, akan menghentikan pinjaman senilai US$ 460 juta yang mestinya cair Oktober ini. Bank Dunia juga ngambek tak mau meminjamkan US$ 300 juta yang dijadwalkan cair pekan lalu. Dan awal tahun depan, pencairan utang dari ADB senilai US$ 530 juta juga terancam dihentikan. Menurut keterangan resmi, aksi tutup utang ini bermuara pada buntut skandal Bank Bali. Lembaga-lembaga donor itu kecewa pada sikap pemerintah. Bukan cuma karena proses hukumnya begitu lamban, lebih dari itu mereka melihat pemerintah juga mengisolasi mereka yang bersalah. Audit PricewaterhouseCoopers (PwC) yang disunat, misalnya, merupakan satu indikasi kuat tentang niat buruk itu. Padahal, sesuai dengan syarat-syarat yang diajukannya dulu ketika skandal ini mulai terkuak, IMF akan meneruskan program bantuannya hanya jika, "Pemerintah menunjuk auditor independen, mengumumkan hasil pemeriksaan itu secara terbuka kepada publik, dan menindak siapa pun yang terlibat." Sekarang, jangankan menindak sipa pun yang terlibat, bahkan mengumumkan hasil audit PwC pun tidak. Sejalan dengan sikap IMF, Bank Dunia juga mengirimkan jurus serupa. Kendati tetap yakin bahwa penghentian bantuan akan menyengsarakan rakyat kecil, "Kami tetap tidak akan mencairkan pinjaman sampai semua urusan Bank Bali jadi gamblang," kata James Wolfenshon, Presiden Bank Dunia, dalam konferensi pers di Denmark. Memang, sejauh ini jumlah cadangan devisa cukup aman. Selain melebihi target minimal IMF sebesar US$ 14 miliar, lemari devisa kita lebih dari cukup untuk membeking impor. Bila biaya impor rata-rata US$ 2 mi-liar per bulan (selama masa krisis ini tak sampai sebesar itu), cadangan devisa kita sanggup membiayai kegiatan impor sampai tujuh atau delapan bulan ke depan. Ini jauh lebih aman ketimbang tahun-tahun sebelum krisis, ketika cadangan devisa kita hanya cukup untuk empat bulan impor. Lebih dari itu, selama masa krisis ini, jumlah devisa yang kita hasilkan dari ekspor selalu melebihi kebutuhan impor. Selama ini, kita selalu mengalami surplus di atas US$ 1 miliar per bulan. Cuma..., ini dia persoalannya, cadangan devisa kita kali ini bukan hanya untuk membeking impor. Selama masa krisis ini cadangan devisa merupakan simpanan lemak untuk dua hal penting: menyangga kejantanan rupiah (seperti diceritakan di atas, dengan menjual US$ 5 juta sampai US$ 20 juta sehari) dan menambal dana anggaran yang bobol. Untuk tahun 1999/2000 ini saja, sekitar Rp 77,4 triliun biaya anggaran dijagakan sumbernya dari utang luar negeri. Sejauh ini, utang yang cair baru 27 persen atau Rp 21 triliun lebih sedikit. Artinya, masih ada Rp 56,4 triliun pinjaman program dan Rp 24 triliun pinjaman proyek yang belum ada, masih menunggu pencairan utang luar negeri. Jika pencairan disetop, jelaslah sudah, program dan proyek yang sudah direncanakan, seperti perbaikan jalan, puskesmas, dan listrik masuk desa, akan batal atau tertunda. Deputi Bidang Kerja Sama Ekonomi Bappenas, Budi Tjahjati, mengakui bahwa ancaman penghentian utang akan memukul perekonomian. Jika semua ancaman itu benar-benar terwujud, pemerintah terpaksa mengubah kebijakan ekonomi. Prioritas pembenahan sektor riil, pemulihan lembaga keuangan, atau segala yang bersifat kelembagaan akan diancang kembali. Hanya program yang langsung bersentuhan dengan rakyat kebanyakan, seperti pendidikan, pangan, dan kesehatan, yang akan jadi pilihan utama. Selain itu, "Ikat pinggang harus dikencangkan," kata Budi. Sekarang saja, sebelum penghentian utang benar-benar terealisasi, semua menteri dan pejabat departemen sudah diminta menekan pembelanjaan. Namun, Budi mengaku belum mendapat laporan bagaimana hasil upaya penghematan ini. Selain karena program ini masih baru, "Boleh jadi," kata Budi, "para pejabat belum memahami beratnya beban jika utang disetop." Selain membatalkan sejumlah proyek, penghentian utang juga akan mengganggu pembayaran cicilan utang. Selama ini 40 persen penghasilan ekspor habis untuk cicilan utang. Itulah sebabnya, pemerintah sedang mengajukan usul penjadwalan utang di Paris Club, lembaga tempat berundingnya negara kreditur dan donor, yang akan bersidang akhir bulan ini atau awal bulan depan. Sampai Juli lalu, baru US$ 6,8 miliar utang Indonesia yang dijadwal ulang atau hanya 10,5 persen dari total utang pemerintah yang US$ 65,56 miliar. Lebih dari itu, penghentian utang akan menjadi tolok ukur. Bagi sebagian besar analis keuangan dunia, penyetopan pinjaman ini merupakan cermin kekecewaan dan ketidakpercayaan lembaga donor terhadap pemerintahan Habibie. "Jika IMF dan Bank Dunia saja sudah tak percaya, untuk apa saya mempertaruhkan uang ke Indonesia?" begitu kira-kira pandangan para pemain keuangan. Akibatnya, mudah ditebak, penghentian uang ini akan menjauhkan Indonesia dari para investor. Seorang analis keuangan Singapura yakin, jika ancaman penyetopan pinjaman ini benar-benar terjadi, "Tumpukan modal yang tersisa di Indonesia akan mengering dengan cepat." Tanda-tanda akan kaburnya modal dari Indonesia sudah dimulai melalui reaksi Standard & Poor. Memang betul, sampai saat ini, peringkat kredit Indonesia dari Standard & Poor tak berubah dari CCC-plus. Tapi, lembaga pemeringkat utang internasional itu telah menempatkan Indonesia dalam daftar negara yang perlu diwaspadai dengan kemungkinan negatif. Maksudnya, kemampuan Indonesia membayar utang diragukan dan sangat bergantung pada perkembangan ekonomi. Jika saja terjadi hal-hal buruk, rating kredit Indonesia bisa bablas terjun ke kelas bawah. Karena itu, agaknya wajar jika direksi Bank Indonesia di kawasan Kebonsirih, Jakarta, terlihat agak cemas dengan pernyataan penghentian bantuan ini. Meskipun Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin meyakinkan bahwa kemampuan cadangan devisa untuk mendukung impor "Masih cukup sampai pemerintahan baru terbentuk," ia juga mengakui bahwa penghentian pinjaman ini akan menyulitkan pencapaian target-target ekonomi makro yang sudah dipatok bersama IMF. "Target-target itu harus kita revisi," katanya. Target inflasi, misalnya, yang bulan lalu baru saja dicanangkan cuma 5 persen (dari sebelumnya 7 persen), mungkin harus kembali dinaikkan menjadi 7 atau bahkan 8 persen. Bahasa gampangnya, jika pinjaman luar negeri benar-benar disetop, masyarakat harus kembali bersiap-siap menghadapi kenaikan harga dolar. Dan akibatnya, harga-harga barang lain juga akan ikut merambat naik. Singkat kata, seperti kata Deputi Gubernur BI Anwar Nasution, penghentikan bantuan ini bisa membuat, "Mati kita." Mardiyah Chamim, Agus Hidayat, Dewi Rina, Lea Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus