Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Asap (Masih) Mengepul di Sekitar Kita

Kementerian Kesehatan mengusulkan aturan larangan iklan rokok secara total. Kementerian lain menolak karena akan merugikan perusahaan rokok dan menambah pengangguran. Dalam pembahasan akhir diduga akan ada kompromi.

22 Maret 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pria dan wanita muda antre bersama belasan calon penumpang di sebuah stasiun kereta bawah tanah. Sewaktu kereta datang, semua calon penumpang tak bisa naik karena si ular besi sudah penuh sesak. Sepasang muda-mudi itu kecewa. Tapi itu tak lama. Keduanya melihat gelembung sabun melayang-layang ke luar stasiun. Tak menyia-nyiakan kesempatan, keduanya menaiki gelembung itu. Mereka pun sampai di kota lebih cepat dan menuju sebuah taman bunga.

Aksi dua sejoli itu terlihat dalam iklan rokok Surya Slim. Iklan rokok keluaran PT Gudang Garam Tbk. ini kerap muncul setiap hari dari pukul 21.30 hingga 05.00 di semua stasiun televisi swasta di Jakarta. Gudang Garam tak sendirian. Setiap hari iklan rokok PT Djarum, PT HM Sampoerna Tbk., dan PT Bentoel Internasional Tbk. juga setia menyapa pemirsa televisi di Tanah Air. ”Kami berharap iklan rokok dilarang karena efeknya buruk bagi anak-anak,” kata Dina Kania, Koordinator Advokasi Kebijakan Pengendalian Tembakau dari Komisi Nasional Perlindungan Anak, di Jakarta pekan lalu.

Sejak 2007, Komisi Nasional Perlindungan Anak dan para penggiat antirokok gencar menyuarakan pembatasan iklan udut di media elektronik dan media massa. Tujuannya mencegah anak-anak dan remaja menjadi perokok baru. Upaya mereka kini seperti mendapatkan dorongan baru.

Kementerian Kesehatan membuat Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau. Aturan ini merupakan petunjuk teknis Undang-Undang Kesehatan Nomor 36/2009—payung hukum baru pengganti Undang-Undang Kesehatan Nomor 23/1992. Dalam draf itu disebutkan rokok dilarang diiklankan di semua jenis media, termasuk tak boleh dipasang di ruang-ruang terbuka. Promosi rokok juga diharamkan. Pendek kata, aturan itu melarang total iklan dan promosi rokok.

Namun harapan Komisi Perlindungan Anak boleh jadi akan membentur batu karang. Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menentang rancangan peraturan pemerintah versi Kementerian Kesehatan itu. ”Aturan itu tidak adil,” kata Wakil Ketua Aliansi Budidoyo di Jakarta pekan lalu. Aliansi ini beranggotakan petani tembakau dan cengkeh, Federasi Serikat Pekerja Rokok dan Tembakau, serta gabungan para produsen rokok.

Bukan hanya menuai protes. Arah angin tampaknya masih memihak industri rokok. Indikasi itu terlihat dalam rapat harmonisasi aturan pengamanan produk tembakau di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 23 Februari lalu. Dalam rapat itu, kata sumber Tempo, perwakilan Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Tenaga Kerja menolak membahas harmonisasi tersebut. Mereka merasa tidak dilibatkan dari awal. Hanya Kementerian Dalam Negeri yang setuju. ”Mereka minta pembahasan dari awal lagi,” ujarnya.

Menurut sang sumber, Kementerian Kesehatan jalan sendiri membuat isi rancangan peraturan pemerintah, tanpa lebih dulu mensosialisasikan dengan instansi lain. Sejumlah kementerian terkaget-kaget karena sejumlah pasal bertentangan dengan Road Map Industri Hasil Tembakau 2007-2020. ”Kementerian Kesehatan beralasan tak sempat mendiskusikan dengan instansi lain karena mengejar tenggat program 100 hari kabinet,” ungkapnya.

Tiga tahun silam Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, Departemen Pertanian, dan Departemen Tenaga Kerja plus gabungan perusahaan rokok menyusun road map industri hasil tembakau. Road map ini mengatur tiga tahap upaya pemerintah mengendalikan konsumsi rokok, dengan memperhatikan penyerapan tenaga kerja, penerimaan negara, dan kesehatan.

Tahap 2007-2010, penyerapan tenaga kerja di industri rokok menjadi prioritas ketimbang penerimaan negara dan kesehatan. Tahap 2010-2015, penerimaan negara menjadi prioritas, setelah itu baru kesehatan dan penyerapan tenaga kerja. Tahap terakhir 2015-2020, baru aspek kesehatan jadi pertimbangan utama. Dalam tahap ini, harga rokok akan semakin mahal karena tarif cukainya naik tajam. Produksi rokok dibatasi hanya 260 miliar batang, dan perusahaan rokok tak boleh berekspansi lagi.

Atas dasar itu, Direktur Minuman dan Industri Tembakau Kementerian Perindustrian Warsono berharap kementerian lain mengikuti road map itu. Agar tak memberikan dampak kepada tenaga kerja dan penerimaan negara, ujar dia, ”Pelarangan iklan rokok tidak bisa dilakukan sekaligus.”

Budidoyo berpendapat pelarangan iklan dan promosi rokok berpotensi menurunkan penjualan produsen rokok. ”Petani juga akan rugi karena pabrik rokok mengurangi pembelian tembakau.” Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Achmad Manggabarani, menilai Kementerian Kesehatan potong kompas menyusun rancangan peraturan pemerintah. ”Ada kaidah-kaidah yang dilewati,” ujarnya. Manggabarani juga berpendapat pelarangan iklan rokok tidak bisa drastis. ”Sebaiknya bertahap.”

Kementerian Tenaga Kerja mengkhawatirkan larangan menjual rokok eceran dalam rancangan versi Kementerian Kesehatan. Seorang pejabat di kementerian ini mengatakan industri rokok menyerap banyak tenaga kerja, mulai pabrik hingga pedagang kaki lima. ”Kalau tidak boleh dijual eceran, bisa muncul pengangguran,” ujarnya. Adapun seorang pejabat di Kementerian Keuangan tak mempersoalkan larangan beriklan rokok total atau bertahap. ”Asalkan tak mempengaruhi penerimaan negara,” ujarnya.

Diserang bertubi-tubi, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan, Tjandra Yoga Aditama bisa memahami keberatan instansi lain. Tapi dia berkilah, Kementerian Kesehatan menyusun rancangan peraturan pemerintah karena amanat Undang-Undang Kesehatan Nomor 36/2009. ”Kementerian teknis memang harus membuat drafnya,” ujarnya di Jakarta pekan lalu.

Kini rancangan peraturan pemerintah itu, kata Tjandra, sudah diserahkan ke kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat untuk dibahas bersama kementerian lain. Dia enggan berandai-andai soal kemungkinan kompromi dalam proses harmonisasinya nanti. Yang terang, katanya, isi rancangan yang diserahkan ke kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat tak berubah. ”Sama seperti yang dulu.”

Dalam kacamata Abdillah Ahsan, peneliti dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia, rancangan peraturan pemerintah versi Kementerian Kesehatan tak perlu direvisi. Pelarangan total iklan dan peredaran rokok tak akan mematikan industri rokok. Ia merujuk pada Thailand. Selama 1988-2008, produksi rokok di Negeri Gajah Putih ini tetap bertumbuh dari 1,6 miliar batang menjadi 1,8 miliar batang. Padahal harga rokok di sana sangat mahal. Iklan rokok juga dilarang total, dan kemasannya mencantumkan gambar-gambar mengerikan.

Pembatasan atau pelarangan iklan rokok juga tak akan mematikan petani tembakau dan industri rokok. Peraturan ini hanya untuk melindungi warga miskin, anak-anak, dan remaja agar tidak terperangkap rokok. ”Pembatasan itu hanya untuk memperlambat pertumbuhan konsumsi. Petani dan industri rokok tak perlu khawatir,” ujar Abdillah.

Dina sepakat dengan Abdillah. Larangan beriklan dan berpromosi tak akan mengurangi konsumsi rokok karena memang sulit menghentikan kecanduan rokok. ”Semangat kami hanya mengerem laju perokok baru di kalangan anak-anak dan remaja,” kata Dina. Saat ini ada 60 juta perokok di Indonesia dengan konsumsi rata-rata 11 batang per hari. Komisi Perlindungan Anak akan mati-matian mengawal rancangan aturan baru itu. ”Kami tak mau kecolongan lagi di rancangan peraturan pemerintah,” ujar Dina.

Dalam urusan sigaret, yang antirokok sudah ”kalah” tiga-nol. Dulu Peraturan Pemerintah Nomor 81/1999 melarang iklan rokok di televisi dan hanya boleh di media cetak dan luar ruangan. Tapi Peraturan Pemerintah Nomor 38/2000 membolehkan iklan rokok di televisi dari pukul 21.30 hingga 05.00. Muncullah Peraturan Pemerintah Nomor 19/2003 yang merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 81/1999. Iklan rokok di media elektronik makin bebas gentayangan. Satu-nol untuk industri rokok.

Mahkamah Konstitusi juga menolak uji materi yang diajukan Komisi Perlindungan Anak atas Pasal 46 ayat 3 huruf c dalam Undang-Undang Penyiaran Nomor 32/2002. Pasal itu salah satu dasar hukum iklan rokok di televisi. Penggiat antirokok juga gigit jari tatkala Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Tembakau tertahan di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat.

Kebijakan pemerintah atas rokok memang mendua. Pemerintah tahu persis rokok membahayakan kesehatan masyarakat. Tapi pemerintah condong ke industri rokok lantaran menyumbang cukai terbesar dan menyerap banyak tenaga kerja. Tahun lalu cukai rokok mencapai Rp 53 triliun. Tahun ini penerimaan cukai rokok diperkirakan Rp 57 triliun. Jumlah tenaga yang terserap sekitar 6 juta.

Keberpihakan negara ke industri rokok juga terlihat dari keengganan pemerintah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Indonesia satu-satunya negara di Asia-Pasifik yang belum meratifikasi konvensi pembatasan dampak tembakau itu. Jangan heran bila akhirnya nanti iklan rokok masih berseliweran di seputar kita.

Padjar Iswara, R.R. Ariyani, Istiqomatul Hayati, Sudradjat, Mahbub Djunaidy (Jember)


Konsumsi Rokok Kretek Nasional*
*) dalam milliar batang

2007 220
2008 240
2009 245
2010 262**
**) perkiraan
SUMBER: GAPRI

Pasal-pasal yang Dipermasalahkan

Pasal 9 butir d
Setiap orang dilarang menjual produk tembakau secara eceran (per batang).

Pasal 10
Tembakau dan semua produk tembakau sebagai zat adiktif dilarang untuk diiklankan dan/ atau dipromosikan di semua jenis media yang meliputi media luar ruang, media elektronik, media online, media cetak, media lainnya, dan tempat penjualan.

Pasal 11
Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau ke wilayah Indonesia dilarang untuk:

  1. Menawarkan atau memberikan secara cuma-cuma, potongan atau hadiah produk tembakau atau produk lainnya yang mencantumkan merek dagang produk tembakau atau yang menyerupai produk tembakau.
  2. Menggunakan logo dan/atau merek rokok pada produk atau barang bukan rokok.
  3. Menjadi sponsor terhadap suatu kegiatan, lembaga, dan atau perorangan.
  4. Melakukan tanggung jawab sosial perusahaan yang bertujuan untuk mempromosikan atau mengenalkan produk tembakau ke masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus