Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERITA itu menyentak orang banyak. Ijtimak Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Selasa pekan lalu, memutuskan bahwa bunga bank haram. Ke- putusan besar itu juga masih ditambah hal penting lain: umat Islam dilarang bermuamalah (berhubungan dagang) dengan semua lembaga keuangan yang menggunakan praktek bunga. Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia, Din Syamsuddin, mengatakan bahwa MUI belum menyatakan bahwa keputusan itu adalah fatwa MUI. Pernyataan itu di mata Din masih merupakan kesimpulan Komisi Fatwa. Tapi berita menyebar cepat dan orang segera percaya bahwa dari MUI sudah keluar fatwa bunga bank itu haram.
Tentu saja banyak yang terperanjat. Termasuk kalangan penyelenggara ekonomi syariah, seperti Iwan Prijono Pontjowinoto. "Lo, kok, keputusan itu lebih cepat?" ujar Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah itu. Iwan mendengar bahwa MUI baru akan meluncurkan fatwa itu akhir tahun depan.
Polemik meledak. Di negeri dengan penduduk Islam mayoritas ini, ditaksir dana yang keluar dari perbankan konvensional yang menerapkan bunga ke bank syariah akan membanjir. Prediksi para ahli, sekitar Rp 20 triliun-Rp 40 triliun akan berpindah ke bank syariah—itu kalau "fatwa" ini diikuti dengan patuh. Kalau itu terjadi, bank konvensional bakal megap-megap kekeringan likuiditas—sebuah akibat yang tak kalah serius untuk dipertimbangkan para pengambil keputusan.
Lagi pula, apa sanggup bank-bank syariah menampungnya?
Ada keraguan besar. Keraguan yang tidak ditampik oleh Direktur Utama Bank Muamalat, Achmad Riawan Amin. Bank syariah, kata dia, bisa kebanjiran dana (oversupply) karena derasnya dana yang masuk belum tentu bisa diimbangi dengan penyaluran dana yang sepadan ke pasaran. Akibatnya, besaran bagi hasil yang diperoleh nasabah bisa berkurang, dan ini mempengaruhi rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio atau CAR) bank syariah. "Dampaknya, ya, mungkin ada nasabah yang lari," kata Achmad Riawan.
Karena itu, bank syariah perlu memperkuat modalnya agar tak terlibas. Namun usaha itu tampaknya tak mudah. "Saat ini beban pengembangan bank sudah tak bisa lagi seratus persen diberikan pada bank syariah," kata Riawan. Mereka mengharapkan pemerintah memberikan dukungan penuh. Caranya, kata Presiden Direktur Bank Syariah Mandiri Nurdin Hasibuan, antara lain dengan menyuntikkan dana baru.
"Misalnya, anggaran belanja negara sekian triliun, dibagi sekian persen harus disalurkan pembangunannya lewat lembaga perbankan syariah. Itu sudah sangat menolong. Enggak usah banyak-banyak, cukup 20 sampai 30 persen," paparnya.
Tapi Bank Indonesia menampik kemungkinan itu. Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia Harisman mengingatkan, sejak 1999, pemerintah tak lagi menyuntikkan dana untuk menambah modal pada perbankan, baik yang konvensional maupun syariah. Bank Indonesia hanya bisa memberikan fasilitas pembiayaan jangka pendek syariah atau yang biasa dikenal dengan pinjaman jangka pendek di perbankan konvensional.
Artinya, kata Harisman, "Pinjaman itu diberikan bila terjadi mismatch. Jadi, banknya masih sehat, tapi perhitungannya kurang pas." Itu pun dengan syarat yang cukup berat, seperti adanya jaminan berupa surat berharga yang memiliki rating tinggi (first class paper).
Iwan Pontjowinoto punya ide yang lain. Menurut dia, tambahan modal bisa diperoleh dari konversi sebagian proyek atau aset di perbankan konvensional ke instrumen syariah. Ia yakin tindakan ini bisa ditolerir Dewan Syariah Nasional selama masa transisi alias satu tahun ke depan. Tapi konversi itu hanya bisa dilakukan pada unit syariah yang masih berinduk ke bank konvensional. "Untuk yang terpisah seperti Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri, permintaan tambahan modal bisa diajukan kepada pemegang sahamnya," kata Iwan.
Sebenarnya, tanpa "fatwa" Komisi Fatwa, perbankan syariah tumbuh cukup pesat. Sejak beroperasi di sini pada 1992, bank syariah terus mencatat grafik menanjak. Sejak 1999 hingga Oktober lalu, penambahan aktivanya mencapai 60-70 persen. Pertumbuhan dana pihak ketiga pada periode yang sama rata-rata mencapai 50 persen dan mencapai besaran Rp 4,2 triliun. Aset bank-bank syariah sudah mencapai Rp 6,5 triliun. Kredit macetnya (non-performing loan) pun bisa ditekan dari 4,12 persen pada tahun lalu menjadi 3,81 persen tahun ini.
Jaringannya pun kian luas. Sebelumnya, kantor cabangnya hanya 40 buah dan terbatas di Pulau Jawa saja. Lima tahun kemudian, jumlahnya meningkat menjadi 127 kantor, yang hampir merata di semua pulau (lihat Tabel Penyebaran Kantor Cabang Bank Syariah). Laba yang dibukukan pun semakin besar. Bahkan BNI Syariah, yang baru beroperasi sejak tiga tahun lalu, bisa meraup keuntungan Rp 22 miliar tahun ini. "Padahal targetnya hanya Rp 2 miliar," kata Rizqullah, Pemimpin Divisi Usaha Syariah BNI.
Walau begitu, jaringan syariah belum bisa menandingi jaringan konvensional, yang mencapai 7.000 kantor cabang. Pangsa pasarnya pun baru mencapai 0,54 persen dari total aset perbankan nasional. Selain itu, kelengkapan infrastruktur untuk perbankan syariah masih jauh tertinggal. Karena itu, jalan yang ditempuh masih sangat panjang. Tak aneh jika Bank Indonesia menargetkan pangsa pasarnya baru akan mencapai 5 persen pada 2011.
Lantas apakah fatwa haram mampu membuat bank syariah mendadak jadi raksasa? Kesimpulan itu mungkin terlalu dini. Untuk mencapainya, kata Harisman, perlu keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Dari segi penawaran, bank syariah perlu memperluas jaringannya dan melengkapi infrastrukturnya. Sedangkan dari segi permintaan, masyarakat perlu diberi sosialisasi agar melek pada sistem syariah ini. "Istilahnya, kalau tak kenal, maka tak cinta," kata Harisman.
Harisman menjelaskan, sebenarnya pihaknya mengajukan opsi lain dalam sidang ijtimak ulama tempo hari, yaitu kewajiban umat Islam untuk menaruh dana di bank syariah itu sebaiknya dibatasi dulu pada lembaga yang telah memakai label Islam, seperti BAZIS (badan amil zakat, infak, dan sedekah), dewan masjid, majelis taklim, biro jasa haji, dan rumah sakit Islam. Sosialisasi seperti itu lebih efektif. "Dari situ, masyarakat pun melihat, mengamati, dan akhirnya mau mengikutinya," kata Harisman.
Itu memang perlu waktu. "Fatwa" haram ini, misalnya, belum terlihat mendorong orang untuk ramai-ramai pindah ke bank syariah. Belum tampak peningkatan dana yang mencolok di perbankan syariah. "Masih terlalu dini untuk menyimpulkan. Mungkin setelah seminggu, baru akan kelihatan," kata Hifni Alifahmi, Corporate Secretary Bank Syariah Mandiri, kepada TEMPO.
Meski begitu, kantor-kantor cabang syariah agak lebih ramai didatangi orang. "Puncaknya hari Kamis (18 Desember) kemarin. Setidaknya ada sekitar 20 orang yang datang. Biasanya rata-rata hanya 10 orang setiap hari," tutur Tri Utami, petugas customer service kantor cabang Syariah Mandiri di Jalan Thamrin, Jakarta. Menurut dia, rata-rata yang datang bertanya mengenai sistem syariah. Pihak Syariah Mandiri yakin tahun depan akan ada tambahan dana pihak ketiga sebesar Rp 2,4 triliun dengan adanya "fatwa" ini.
Namun ada juga yang tak terpengaruh dengan fatwa itu. Salah satunya Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional, Achmad Subianto. "Syariah dan tidak syariah sama aja. Bagi saya, tidak ada masalah. Persoalannya bukan di situ. Uangnya masih riba karena tak dijamin emas," tuturnya. Karena itu, rekening dana untuk zakat masih ditaruh di bank konvensional ataupun syariah. Rekening pribadinya setali tiga uang. Pilihannya pun lebih dilandasi alasan yang rasional. Misalnya lebih dekat dengan kantor atau sebagai tempat penyimpanan dana untuk infak.
Tapi, sebagai Presiden Direktur PT Taspen, Achmad lebih menganjurkan agar dana pensiun dikelola di bank pemerintah. "Saya lebih tenang. Wong, bank syariah belum ngasih yang terbaik, kok. Nanti, kalau itu bangkrut, aku digebukin," ujarnya tergelak. Lagi pula, katanya, bank syariah di Indonesia belum bisa terlalu banyak menyerap dana dan belum transparan. Pasalnya, belum ada bank syariah di sini yang memajang proyek bagi hasil yang dijalankan seperti yang dilakukan di Arab Saudi.
Di Indonesia, sistem bagi hasil menawarkan keuntungan yang lebih besar karena rasionya jauh lebih besar dari suku bunga yang hanya 6 persen. Bahkan, menurut Kepala Unit Syariah HSBC, Mahmoud Abu Shamma, banyak perusahaan multinasional asing—termasuk nonmuslim—yang sudah lama terbiasa menggunakan sistem syariah dan konvensional sekaligus. "Hal itu dilakukan untuk mencegah ketergantungan pada satu sistem saja. Jadi, bisa saling mengisi dan memperbesar keuntungan," tuturnya.
Rasanya tidak ada yang berkeberatan jika bank syariah tumbuh pesat di Indonesia. Tapi, tanpa kesiapan yang matang dan benar, bank syariah bakal sulit menyalurkan dana yang (kalau "fatwa" tadi diikuti) akan datang membanjir. Kalau sudah begitu, kinerja bank syariah akan terpuruk, orang tak lagi percaya. Dan penyelenggara bank syariah akan membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk menawarkan alternatif yang dipercaya baik bagi umat Islam ini.
Dara Meutia Uning
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo