Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil menolak rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja yang dibahas dalam waktu singkat dan tanpa melibatkan masyarakat. Mereka menilai pembahasan aturan sapu jagat ini dapat menabrak tahap pembuatan peraturan perundang-undangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota koalisi sekaligus peneliti Indonesian Centre for Environmental Law, Isna Fatimah, menuturkan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) seharusnya melibatkan banyak pihak dan dilakukan secara terbuka. "Seharusnya ada kanal yang bisa diakses masyarakat untuk mengetahui pembahasan tersebut dan memberikan aspirasi," kata dia, kemarin. Namun, meski telah menuai protes dari sejumlah kalangan masyarakat, pemerintah tak membuka akses tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembahasan yang tidak partisipatif juga tecermin dalam keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyusun Satuan Tugas Omnibus Law untuk konsultasi publik. Namun tim tersebut hanya diisi oleh gabungan pengusaha dan pejabat pemerintah tanpa melibatkan masyarakat sipil.
Peneliti dari Auriga Nusantara, Iqbal Damanik, menyatakan koalisi juga keberatan atas RUU Cipta Lapangan Kerja lantaran mengancam cadangan sumber daya alam Indonesia. Mengacu pada data Kementerian Koordinator Perekonomian pada 17 Januari 2020, terdapat indikasi rencana perubahan Pasal 47 UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) yang mengatur jangka waktu pemberian izin usaha pertambangan.
Pemerintah memberikan insentif bagi pertambangan mineral dan batu bara yang melakukan penghiliran berupa perpanjangan izin sampai dengan seumur tambang. "Ini berarti izin usaha pertambangan dapat diberikan seumur hidup sampai hasil tambang sudah terkeruk habis," kata Iqbal. Dia menuturkan kebijakan ini bertentangan dengan prinsip pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Pemerintah juga berencana memperpanjang hak guna usaha menjadi 90 tahun namun tak dapat diperpanjang. Ketentuan ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. "Tanah akan semakin dijadikan alat pengisapan modal asing."
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Merah, Johansyah, mengungkapkan alasan lain penolakan koalisi terhadap RUU Cipta Lapangan Kerja. Dalam aturan itu terdapat wacana penghapusan hukuman pidana bagi pengusaha yang melanggar perizinan. Hukuman akan diganti dengan sanksi administrasi. "Ini bisa menghilang celah pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam," ujar dia.
Dia juga memprediksi aturan ini akan meningkatkan bencana sosial-ekologis karena pemerintah tampak mengabaikan lingkungan. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara ada klausul pembatasan lahan konsesi seluas 15 hektare bagi perusahaan yang menambang batu bara. Tapi, dalam , aturan ini justru dihilangkan.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Laode Ida, menyatakan pemerintah perlu memastikan pembahasan omnibus law tidak melanggar hak publik. "Aturan ini harus hadir sebagai produk yang melalui proses yang matang dan tidak ada masyarakat yang dirugikan karenanya," kata dia.
Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian, Susiwidjono, menyatakan pembahasan omnibus law masih panjang dan masih ada ruang diskusi dengan publik. Saat ini pembahasan baru bergulir di kalangan pemerintah dan diserahkan kepada DPR. EKO WAHYUDI | VINDRY FLORENTIN
Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Omnibus Law
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo