Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris mengatakan meski obat kanker usus tak lagi ditanggung, bukan berarti pasien kanker kemudian tak dilayani. BPJS Kesehatan tetap memberikan substitusi atau pengganti terhadap layanan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: Dokter Minta BPJS Kesehatan Tetap Biayai Obat Kanker Usus
"Pesan saya satu, jangan sampai kalau dikeluarkan, kemudian masyarakat terkesan tidak dilayani," kata Fachmi ditemui usai meluncurkan data sampel di kantor BPJS Kesehatan, Jakarta Pusat, Senin 25 Februari 2019.
Sebelumnya, pemerintah telah mengumumkan bahwa per 1 Maret 2019, dua obat untuk kanker kolorektal atau usus besar metastasis tak lagi ditanggung BPJS Kesehatan. Dua obat terapi tersebut adalah obat Bevacizumab dan obat Cetuximab.
Adapun, keputusan itu juga didasari atas Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor HK.01.07/2018 tentang Perubahan Atas Kepmenkes Nomor 01.07/2017 tentang Fornas, yang mengeluarkan obat Bevacizumab dan Cetuximab tanpa restriksi untuk kepentingan pasien dari Formularium Nasional (Fornas).
Akibat rencana itu, Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) kemudian mengajukan keberatan. Perkumpulan ini meminta BPJS Kesehatan untuk tetap membiayai dua obat sekaligus memasukkan keduanya tetap masuk dalam Formularium Nasional (Fornas).
Selain itu, Fachmi juga menjelaskan bahwa penghapusan dua obat tersebut adalah bagian dari tata kelola pemerintahan dalam penetapan manfaat. Dalam hal ini, manfaat bukan hanya sekadar pelayanan obat tetapi juga masuk pemberian layanan kesehatan seperti kemoterapi.
"Karena itu, manfaat bukan hanya sekadar pemberian obat, tetapi masuk pemberian layanan kesehatan lain seperti kemoterapi," kata Fachmi.
Baca: Jokowi: Pemerintah Rutin Bayar Iuran PBI BPJS Kesehatan
Menurut Fachmi, penghapusan layanan obat yang semula ditanggung BPJS Kesehatan tapi kemudian ditiadakan juga banyak dilakukan di negara-negara lain seperti di Inggris. Di sana, memiliki lembaga yang bertugas sebagai health technology assesment yang bertugas mengkaji dan melihat apakah satu manfaat bisa masuk dalam program atau perlu ditinjau ulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini