Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ombudsman RI Sebut Siasat Impor Pengusaha Gula Rafinasi

Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih mengungkapkan masalah menahun yang terjadi pada pengelolaan komoditas gula di Indonesia.

29 Januari 2019 | 19.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih mengungkapkan masalah menahun yang terjadi pada pengelolaan komoditas gula di Indonesia. Salah satunya yaitu tidak ada implementasi dari Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sejak 2014, kita mengabaikan," kata dia saat ditemui usai mengikuti diskusi bertema "Jokowi Raja Impor?" di Sekretariat Nasional Prabowo Subianto - Sandiaga Uno di Menteng, Jakarta Pusat, Selasa, 29 Januari 2019. Dalam UU Perkebunan tersebut, kata Alamsyah, ada aturan bahwa industri gula rafinasi harus memiliki kebun sendiri setelah dua hingga tiga tahun beroperasi.

Dalam UU tersebut, sebenarnya tidak disebutkan secara langsung soal industri gula rafinasi. Namun pada pasal 74 ayat 1 disebutkan bahwa "Setiap unit Pengolahan Hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor wajib membangun kebun dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah unit pengolahannya beroperasi."

Tak hanya itu, dalam pasal 75 juga disebutkan, sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan pada pasal 74. Di antaranya yaitu denda; pemberhentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran hasil usaha industri; ganti rugi; dan/atau pencabutan izin usaha.

Nyatanya, kata Alamsyah, saat ini tumbuh 11 industri gula rafinasi yang berlokasi di sekitar pelabuhan. "Ya memang niatnya impor, bukan bangun kebun," ujarnya.

Setelah itu, masalah lain muncul pada gula rafinasi impor. Pada 2017, Kementerian Perdagangan pernah menerapkan lelang Gula Kristal Rafinasi (GKR) agar pengusaha kecil bisa mengakses gula impor. Akan tetapi, kata Alamsyah, karena tidak tertib, tidak ada Peraturan Presiden terlebih dahulu, perusahaan yang ditunjuk mengimpor juga belum sesuai peraturan presiden, maka lelang pun dihentikan.

"Akibatnya rembesan kembali masuk, gula petani kembali terganggu," kata Alamsyah. Kondisi ini, kata dia, juga tercermin dari data bahwa harga produksi untuk petani gula selama empat tahun terakhir cenderung turun. Gula rafinasi yang seharusnya untuk industri terus rembes ke pasaran terus sehingga membuat petani semakin khawatir.

Dalam acara ini pula, Alamsyah juga menyebut pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi telah mengimpor sebanyak 17,2 juta ton gula dalam empat tahun terakhir. Angka ini jauh lebih besar ketimbang lima tahun periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY yang hanya 12,7 juta ton. "Jadi Pak Jokowi lebih banyak 4,5 juta ton, nanti kami akan lihat kenapa demikian."

Maka dalam situasi seperti ini, kata Alamsyah, pemerintah harus membuat rencana pembangunan industri gula yang berbasis pada perkebunan. Selain itu, Ia mengatakan tidak ada jalan lain yang harus dilakukan selain mengevaluasi industri gula rafinasi ini. "Kalau tidak bisa ya industrinya harus beristirahat," kata Alamsyah.

 

Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus