Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Agar Konsumen Menyerap Sepatu Lokal

Barang impor tertahan di pelabuhan karena dipesan sebelum aturan pengetatan diterbitkan.

10 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pembuatan sepatu di Setiabudi, Jakarta, 9 September 2020. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pangetatan impor itu dilakukan sekaligus untuk meredam masuknya produk alas kaki dari Cina.

  • Kebijakan pengetatan impor bisa mendorong pelaku UMKM masuk ke pasar yang ditinggalkan importir.

  • Importir memprotes kebijakan pemerintah mengetatkan impor alas kaki.

JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, mengatakan kebijakan pengaturan impor alas kaki bisa mendorong kinerja industri kecil dan menengah (IKM) maupun usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pengetatan impor itu dilakukan sekaligus untuk meredam masifnya impor produk alas kaki, salah satunya dari Cina, yang banyak menyasar kelompok menengah ke bawah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kalau produk kelas menengah ke bawah itu terus menggempur pasar kita, industri kecil dan menengah ini akan hancur,” ujar Eddy kepada Tempo, kemarin. Pengaturan impor alas kaki tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 68 Tahun 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Umum Asosiasi UMKM, Muhammad Ikhsan Ingratubun, mengatakan pengetatan arus impor alas kaki bisa mendorong pelaku UMKM masuk ke pasar yang selama ini menjadi tumpuan importir. Menurut Ikhsan, tak sedikit produk lokal yang memiliki kualitas bagus. Salah satunya sepatu asal Cibaduyut, Bogor, ataupun Garut, Jawa Barat.

“Dengan pengetatan impor, diharapkan pemerintah juga membuka jalan untuk pengembangan industri dalam negeri, misalnya mendorong investasi,” kata Ikhsan. Apalagi, Ikhsan mengatakan, rata-rata kandungan komponen impor produk UMKM sebesar 25-35 persen.

Protes pun datang dari kalangan importir. Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Subandi, menyayangkan sikap pemerintah yang terburu-buru menerbitkan Permendag 68/2020. Pasalnya, ujar Subandi, pemesanan barang impor biasanya dilakukan jauh sebelum aturan tersebut diterbitkan. Aturan itu ditandatangani pada 25 Agustus lalu dan langsung berlaku tiga hari setelahnya. 

“Selama proses pemesanan, tidak sedikit pengimpor yang tahu ada kewajiban persetujuan impor (PI), sehingga barang yang tiba sulit dikeluarkan,” tutur Subandi. Hal itu juga berdampak pada penambahan biaya karena bahan tertahan di pelabuhan.

Subandi berujar pengetatan impor berpotensi melahirkan retaliasi atau pembalasan di bidang perdagangan antarnegara. Hal ini pernah terjadi saat pemerintah membatasi impor produk hortikultura dari Pakistan yang dibalas dengan pengaturan ekspor kelapa sawit.

Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh mengatakan pemerintah mempunyai target pengendalian impor sebesar 35 persen pada 2024. Hal ini dilakukan untuk menjaga pasar dalam negeri.

Puncak permintaan produk alas kaki biasanya terjadi pada periode Lebaran dan tahun ajaran baru. Namun momentum tersebut terlewatkan karena adanya pandemi Covid-19.

Saat ini, ujar Elis, banyak stok alas kaki menumpuk di pabrik. Pusat belanja yang masih sepi dan daya beli masyarakat yang masih rendah menjadi penyebabnya. Untuk itu, kata dia, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menjaga impor alas kaki masuk ke pasar dalam negeri. “Biarlah pasar dalam negeri diisi oleh produk lokal,” kata Elis.

Elis menuturkan penggunaan produk lokal bisa mempertahankan utilisasi industri alas kaki. Dengan begitu, pemutusan hubungan kerja (PHK) tenaga kerja bisa ditekan.

Ekonom dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan kebijakan itu tepat dikeluarkan di tengah pandemi. Menurut dia, sumber pertumbuhan ekonomi dalam negeri masih terbatas, misalnya dari konsumsi rumah tangga hingga belanja pemerintah. Saat ini, ujar Fithra, salah satu yang bisa diharapkan adalah pengendalian surplus neraca perdagangan.

Fithra mengatakan potensi retaliasi perdagangan tetap ada, terutama dari Cina, yang menjadi sasaran utama pengaturan impor alas kaki. Namun, pada masa pandemi ini, retaliasi bukanlah prioritas bagi mitra dagang Indonesia. Apalagi, kata dia, yang diatur importasinya adalah barang konsumsi. Menurut dia, banyak kelompok barang lain yang masih diimpor oleh Indonesia.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Didi Sumedi sebelumnya mengatakan aturan tersebut didorong oleh kenaikan impor beberapa barang konsumsi. Didi mencatat, pada Mei-Juni 2020 terjadi kenaikan impor barang konsumsi sebesar 50,64 persen. Bahkan, kata dia, ada beberapa barang yang nilai pertumbuhannya di atas 70 persen.

LARISSA HUDA

 

 


20

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus