Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Pengusaha batu bara nasional menggali peluang ekspor ke pasar non-tradisional atau negara tujuan baru di Asia. Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia, menyatakan pasar non-tradisional menjadi target lantaran sejumlah negara besar, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Cina, secara perlahan mulai mengurangi penggunaan batu bara. "Sementara itu, negara berkembang yang sedang meningkatkan rasio elektrifikasi dengan energi murah akan membutuhkan batu bara,” kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Negara tujuan ekspor yang kini diincar pengusaha itu, antara lain, adalah Vietnam. Hendra menuturkan, selama ini Indonesia telah menyuplai batu bara ke negara tersebut, tapi volumenya masih rendah. Selama 2019, ekspor ke Vietnam sebanyak 14,9 metrik ton atau hanya 4 persen dari total ekspor batu bara pada tahun tersebut.
Hendra berharap ada tambahan permintaan dari negara tersebut. Tahun lalu, pengusaha melakukan penjajakan dengan menggandeng Kedutaan Besar Indonesia di Hanoi. Mereka menggelar Coal Forum yang dihadiri puluhan eksportir Indonesia dan pengguna batu bara asal Vietnam.
Selain Vietnam, pengusaha mengincar peluang di Pakistan. Penjajakan telah dilakukan dengan delegasi pebisnis asal negara tersebut saat mereka bertandang menemui APBI. Bangladesh, Taiwan, dan Sri Lanka pun menjadi sasaran.
Hendra berharap dapat menjalin kerja sama dengan negara-negara tersebut untuk membantu penyerapan produksi nasional. Sejak pandemi Covid-19 merebak, permintaan global batu bara menurun, terutama setelah karantina berlaku di Cina, India, dan Filipina. "Sekitar 65 persen dari ekspor batu bara Indonesia masuk ke tiga negara tersebut," ujarnya.
Harga batu bara juga tak kunjung membaik sepanjang tahun ini. Harga acuan batu bara (HBA) pada Juni dan Juli berada di level US$ 50 per metrik ton. Ketua Umum APBI Pandu Sjahrir menyatakan perlu ada pemotongan produksi hingga 50 juta ton untuk mengendalikan harga di pasar dari target produksi tahun ini yang sebesar 595 juta ton. "Dengan kondisi permintaan yang masih belum membaik, para produsen besar anggota APBI berencana memotong produksi 15-20 persen dari rencana awal," katanya.
Namun kebijakan tersebut tampaknya tak menarik bagi PT Bumi Resources Tbk. Direktur dan Sekretaris Perusahaan emiten Bumi Resources, Dileep Srivastava, menyatakan perusahaan tak berniat menurunkan target produksi. "Tidak ada perubahan panduan produksi tahun ini," ujarnya.
Emiten Bursa Efek Indonesia berkode BUMI itu menargetkan produksi 85-90 juta ton pada tahun ini. Dileep menyatakan produksi anak usahanya, yaitu PT Kaltim Prima Coal, mencapai 65 juta ton. Sedangkan PT Arutmin Indonesia sebesar 30 juta ton.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Sujatmiko, menyatakan volume ekspor batu bara hingga Mei 2020 turun 10 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu. Angkanya turun dari 193,82 juta ton menjadi 175,15 juta ton. Sedangkan nilainya turun 18 persen dari US$ 9,46 miliar menjadi US$ 7,77 miliar.
Kondisi tersebut mendorong pemerintah membantu pengusaha menjajaki pasar ekspor baru. Menurut Sujatmiko, pihaknya telah mencoba bekerja sama dengan Kedutaan Besar Indonesia di Bangladesh, Brunei Darussalam, dan Sri Lanka. "Kami akan G to G, semacam investor promotion," ujarnya.
VINDRY FLORENTIN
Pengusaha Batu Bara Jajaki Pasar Ekspor Baru
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo