Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bank Indonesia berupaya mengantisipasi dampak kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed) atau Fed Fund Rate yang menunjukkan tren kenaikan.
Intervensi BI lewat operasi moneter berisiko menggerus cadangan devisa.
BI memprediksi The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya lagi pada pengujung tahun ini.
JAKARTA - Bank Indonesia berupaya mengantisipasi dampak kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed) atau Fed Fund Rate yang menunjukkan tren kenaikan. Untuk menjaga stabilitas perekonomian dalam negeri dan nilai tukar rupiah dari tekanan suku bunga The Fed, Bank Indonesia memilih menggunakan strategi intervensi jalur non-suku bunga. Namun hal tersebut dinilai berisiko menggerus cadangan devisa.
Dalam Rapat Dewan Gubernur kemarin, 24 Agustus 2023, Bank Indonesia memutuskan menahan suku bunga acuan Bank Indonesia 7-Day Reverse Repo Rate pada level 5,75 persen. Keputusan itu ditempuh meski selisih BI Rate dengan Fed Fund Rate kian tipis. Fed Fund Rate saat ini berada di level 5,25-5,50 persen, hanya terpaut 0,25 persen dari BI Rate.
Selisih suku bunga BI dan The Fed yang menipis membuat investor ramai-ramai meninggalkan pasar keuangan negara Indonesia. Pasalnya, kenaikan suku bunga di Amerika meningkatkan imbal hasil dan nilai asetnya sehingga memiliki daya tawar lebih tinggi.
Pergerakan arus modal keluar pun berturut-turut terjadi di Tanah Air sejak The Fed menaikkan suku bunganya akhir Juli lalu. Pada pekan ketiga Agustus, capital outflow menembus Rp 6,79 triliun, yang terdiri atas jual neto di pasar surat utang atau Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3,65 triliun serta jual neto di pasar saham sebesar Rp 3,14 triliun. Secara akumulasi, sepanjang bulan ini, investor asing tercatat membukukan jual bersih hingga lebih dari Rp 17,55 triliun.
Derasnya arus modal asing yang keluar juga terlihat dari kinerja transaksi modal dan finansial yang mengalami defisit pada kuartal II 2023. Transaksi modal dan finansial pada triwulan II 2023 mencatatkan defisit US$ 5 miliar atau 1,4 persen dari produk domestik bruto (PDB), setelah pada triwulan sebelumnya mencatatkan surplus US$ 3,7 miliar atau 1,1 persen dari PDB.
Kinerja transaksi modal dan finansial tersebut membuat neraca pembayaran Indonesia mengalami defisit US$ 7,4 miliar, sedangkan defisit transaksi berjalan atau current account deficit sebesar US$ 1,9 miliar atau 0,5 persen dari PDB. Pada triwulan I 2023, transaksi berjalan mengalami surplus US$ 3,0 miliar atau 0,9 persen dari PDB.
Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Faisal Rachman, memproyeksikan defisit transaksi berjalan sepanjang 2023 mencapai 0,65 persen dari PDB. Padahal, sepanjang 2022, transaksi berjalan mengalami surplus US$ 13,2 miliar atau 1 persen dari PDB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karyawan mengecek uang tunai di cash pooling Bank Mandiri, Jakarta, 13 April 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Risiko Tergerusnya Cadangan Devisa
Faisal menuturkan, untuk menutup defisit neraca pembayaran dan transaksi berjalan, dibutuhkan capital inflow atau arus modal masuk dan nilai tukar rupiah yang kuat. Caranya, Bank Indonesia mengintervensi operasi moneter. Namun upaya tersebut berisiko menggerus cadangan devisa. Musababnya, intervensi yang dilakukan BI bersumber dari cadangan devisa.
Adapun Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan, untuk menjaga stabilitas perekonomian dalam negeri dan nilai tukar rupiah dari tekanan suku bunga The Fed, otoritas moneter memilih menggunakan strategi intervensi jalur non-suku bunga. “Untuk mencapainya, jamunya bukan hanya suku bunga, tapi juga ada intervensi di pasar spot maupun Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan intervensi valas,” ujarnya dalam konferensi pers hasil RDG bulanan Agustus 2023, kemarin.
Risiko yang BI coba kendalikan dalam hal ini adalah risiko arus modal keluar atau capital outflow akibat tren kenaikan suku bunga di AS.
Perry mengatakan upaya menahan capital outflow dan stabilitas rupiah akan terus dilakukan, termasuk dengan mendorong efektivitas implementasi instrumen penempatan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam, pendalaman pasar uang, hingga menerbitkan instrumen surat utang, yaitu Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Upaya itu dilakukan untuk menarik aliran modal asing tetap deras masuk ke pasar keuangan dalam negeri dalam bentuk investasi portofolio, seperti saham dan SBN.
“BI mulai menggunakan instrumen operasi moneter yang pro-market, yang instrumennya sekaligus bisa memperdalam pasar uang, seperti SRBI yang bisa diperdagangkan di pasar uang untuk meningkatkan likuiditas,” kata Perry.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana di komplek Bank Indonesia, Jakarta, 16 Maret 2023. Tempo/Tony Hartawan
The Fed Diprediksi Naikkan Bunga Acuan Bulan Depan
Efek dari dinamika perekonomian global akan menjalar ke Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan perekonomian AS. Adapun BI memprediksi The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya lagi pada pengujung tahun ini. “Kami perkirakan September ini The Fed masih akan menaikkan Fed Fund Rate, bahkan ada probabilitas dua kali lipat. Tapi baseline kami satu kali.”
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan langkah BI tetap mempertahankan suku bunga acuan dapat dilihat sebagai upaya untuk meminimalkan kenaikan pembiayaan ataupun biaya dana atau cost of fund dari instrumen keuangan. Jika BI Rate yang merupakan benchmark dinaikkan, hal itu akan diikuti dengan kenaikan imbal hasil atau cost of fund instrumen di pasar keuangan, misalnya suku bunga SBN. “Instrumen suku bunga acuan sering kali dijadikan sebagai salah satu indikator untuk melihat seberapa mahal ongkos pembiayaan atau cost of fund,” ucapnya.
Di sisi lain, upaya menjangkar stabilisasi kurs rupiah juga akan menantang karena tekanan di pasar keuangan cukup besar. Sedangkan strategi intervensi yang dipilih membutuhkan jeda waktu untuk menunjukkan dampak seperti yang diharapkan. “Tapi BI semestinya sudah memiliki ukuran bahwa depresiasi yang terjadi dalam jangka pendek masih akan berada pada level psikologis yang ingin disasar oleh BI itu sendiri,” kata Yusuf.
Adapun langkah Bank Indonesia menerbitkan SRBI atau instrumen surat berharga baru dalam mata uang rupiah dinilai sebagai satu langkah terobosan. Instrumen yang bakal diimplementasikan mulai 15 September 2023 ini diharapkan dapat mengelola likuiditas serta mendukung pengembangan pasar uang dan stabilitas kurs rupiah. Sebab, instrumen tersebut bersifat dapat ditransaksikan serta dimiliki oleh non-bank atau investor domestik dan asing di pasar sekunder. Adapun instrumen ini dinamakan sekuritas karena asalnya merupakan bentuk sekuritisasi dari SBN yang dimiliki BI, yang totalnya mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun.
Yusuf mengatakan SRBI kian menambah pilihan bank sentral untuk bisa mengintervensi pasar keuangan, khususnya dalam rangka menjaga stabilitas rupiah. “Karena menggunakan underlying asset berupa SBN, SRBI relatif berpotensi diminati, baik oleh investor asing maupun domestik,” katanya. Terlebih, BI berjanji instrumen ini bakal memiliki tingkat suku bunga atau imbal hasil yang menarik, yang penerbitannya dilakukan melalui lelang bank umum yang menjadi peserta operasi pasar terbuka konvensional.
Faisal Rachman mengimbuhkan, SRBI dapat menjadi instrumen alternatif yang menarik bagi investor. Salah satu daya tarik utamanya adalah menawarkan jangka waktu atau tenor pendek, yaitu 6, 9, dan 12 bulan. “Namun, ke depan, disebutkan tenornya bisa dari 1 minggu hingga 12 bulan. Ini menjadi lebih menarik sehingga, jika efektif dilakukan, akan cukup menarik capital inflow,” ujarnya.
Adapun Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengatakan langkah BI menerbitkan SRBI juga dimaksudkan untuk mengelola kurva imbal hasil obligasi Indonesia, sehingga imbal hasil obligasi jangka pendek menjadi lebih tinggi dari level saat ini. “Hal ini berpotensi menarik minat investor, terutama investor asing untuk masuk ke obligasi jangka pendek dalam rangka mendukung cadangan devisa,” katanya.
Sebab, pemerintah diperkirakan belum akan menerbitkan obligasi global dalam waktu dekat, mempertimbangkan kondisi neraca Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang masih mencatatkan surplus 0,72 persen dari PDB.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo