Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sunat perempuan buat sebagian orang dianggap tradisi tapi buat sebagian lain menjadi kontroversi. Psikolog Ninuk Widyantoro mendukung upaya pencegahan pelaksanaan female genital mutilation (FGM) atau sunat perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya kira pencegahan yang lebih luas itu hal yang baik dari segi kesehatan, psikologi," kata Ninuk dalam Webinar Series Pencegahan Pelukaan dan Pemotongan Genitalia Perempuan (P2GP) dengan tema "P2GP dari Perspektif Kesehatan", Kamis, 16 Desember 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu karena penyembuhan trauma akibat tindakan sunat perempuan melalui terapi tidak selalu mudah dilakukan karena ada sebagian orang yang tidak bisa mengingat traumanya sehingga bisa menyulitkan proses terapi penyembuhan trauma.
"Jadi, bisa diterapi tapi tidak selalu mudah untuk diterapi," katanya.
Pelaksanaan sunat perempuan bisa menyebabkan trauma bagi perempuan yang menjalani. "Yang menyebabkan seseorang itu jika berkaitan dengan memori buruknya membuat dia teringat kembali peristiwa itu dan menunjukkan reaksi yang sangat ketakutan, dia menolak dan sebagainya," jelasnya.
Hal senada dikatakan Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan dr. Erna Mulati. Erna menyebut perempuan yang disunat dapat mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan.
"Trauma psikologisnya bisa puluhan tahun dan ini tentu juga memberikan dampak yang negatif terkait kontrol emosional," ujarnya.
Tak hanya menyebabkan trauma, sunat perempuan juga berdampak terjadinya perdarahan. Kemudian, ada rasa nyeri berlebihan yang memungkinkan perempuan pingsan serta bisa terjadi syok karena perdarahan yang dialami. Dampak lain terjadinya infeksi saluran kencing serta tidak bisa merasakan kebahagiaan saat berhubungan suami istri.