Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Solo - Tempat mengudap kopi satu ini memang beda. Berdiri di Jalan Dr. Wahidin Nomor 7, Kota Solo, kafe ini seolah mengajak pengunjungnya menapaki lorong waktu, kembali ke masa puluhan tahun lalu. Namanya Meurdue Chocolate & Coffee.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasalnya, kafe mungil di Kelurahan Bumi, Kecamatan Laweyan, ini menempati bangunan bekas langgar atau masjid kecil, yang lama tak terpakai lagi. Tidak diketahui secara pasti kapan bangunan ini berdiri. Namun, struktur konstruksinya mengingatkan pada Langgar Merdeka, salah satu ikon di kampung batik Laweyan, yang dibangun pada 1942.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti langgar kuno yang memiliki dua lantai pada umumnya, bagian atas yang berlantai dan berdinding kayu di tempat ini dulunya untuk beribadah. Adapun bagian bawah yang berdinding bata untuk tempat usaha. Sayangnya lantai kayu yang menjadi pemisah dua ruangan itu telah lenyap, jauh sebelum Amay dan dua temannya menyewa bangunan itu untuk kafe Meurdue.
“Tempat ini dulunya langgar keluarga. Pada 1970, si empunya membangun langgar baru di belakang. Sedangkan tempat ini sempat disewakan untuk gudang pengepul kayu sebelum akhirnya dibiarkan kosong tak terawat,” kata Amay, saat Tempo bertandang pada Ahad malam, 19 November 2017. Amay, Dimas, dan Zein, lalu sepakat menyewa tempat itu sejak enam bulan lalu.Pengunjung di Meurdue Chocolate & Coffee, Laweyan, Solo. Tempo/Dinda Leo LIsty
Sadar akan nilai sejarah yang terkandung di tiap bangunan kuno mereka tidak memutuskan tak mengubah struktur utama yang luasnya sekitar 10 x 5 meter. Bahkan, tulisan Arab dari goresan kapur putih yang menjadi penanda kiblat pada dinding kayunya masih jelas terbaca meski berselimut debu.
Bangunan utama kafe Meurdue dibagi dua. Depan untuk ruang baca, belakang untuk dapur tempat barista meracik kopi dan cokelat. Penyekat kedua ruangan itu hanya sebuah dinding setengah terbuka, dan bukan meja bar yang meliuk anggun lengkap dengan mesin espresso otomatis atau alat-alat pengolah kopi berharga mahal.
Di ruang baca yang menyediakan puluhan buku pada rak kayu sederhana hanya tersedia satu meja kayu dikelilingi tiga bangku. Untuk mengakali sempitnya ruangan, tembok sisi utara dibuat lubang seperti jendela panjang khas kedai era 90’an. Jendela tersebut menjadi meja penghubung bagi pengujung yang duduk di dalam dan di luar.
Untuk menampung lebih banyak pengunjung, bagian belakang kafe disambungkan dengan bangunan semi permanen. Bangunan berlantai dan berdinding kayu itu disangga tiang-tiang layaknya rumah panggung. Luasnya tidak seberapa. Daya tampungnya hanya sekitar belasan orang saja.
Meski penampilan kafenya begitu sederhana, Zein, sang barista yang telah menimba ilmu di ABCD School of Coffee Jakarta, paham betul cara memuaskan para pecinta kopi langganannya dengan metode pour over (V60). Meurdue Chocolate & Coffee buka pukul 16.30 - 24.00. “Selasa kami libur,” kata Amay.
Menurut salah satu pelanggan, Galih Prasojo, 31 tahun, biji kopi yang ditawarkan kafe Meurdue juga spesial. “Sepertinya memang kopi-kopi pilihan dari hasil proses natural (dry process). Jadi cita rasa buahnya kuat dengan tingkat keasaman cukup rendah,” kata pecinta kopi asal Kabupaten Wonosobo yang bekerja di sebuah perusahaan swasta di Kota Solo itu.
DINDA LEO LISTY (Solo)
Berita lain: