TEMPO.CO, Palembang - Hiruk pikuk pedagang dan pembeli di pasar desa Sungsang I, Banyuasin II, Sumatera Selatan menyambut pagi. Hari itu memang agak ramai karena bertepatan dengan akhir pekan. Banyak pendatang dari Palembang sengaja datang untuk membeli ikan, udang, dan produk turunannya langsung dari para nelayan.
Melalui jalan setapak beton, perjalanan dilanjutkan hingga ke Sungsang II, III dan Sungsang IV. Pagi itu saya sengaja mencari perangkat desa dan tetua adat, guna mengenal lebih dalam desa yang sempat didatangi oleh puluhan turis asal Australia.
Ratusan rumah panggung bertiang pohon nibung berjejer sepanjang sisi jalan yang mirip koridor. Beberapa di antaranya difungsikan sebagai rumah tokoh masyarakat. Sebagian lainnya menjadi tempat penangkaran sarang burung walet.
Kapal wisata "Belantara" digagas sebagai salah satu moda transportasi untuk membawa wisatawan dari Palembang hingga ke Sungsang dan juga Taman Nasional Berbak Sembilang. Foto diambil ketika kapal sedang labuh di desa Sungsang, Sabtu, 26 Oktober 2019. Parliza Hendrawan. TEMPO/Parliza Hedrawan
Perjalanan pada Sabtu, 26 Oktober itu berhenti di depan rumah salah seorang nelayan yang sedang menjahit jaring udang Petak, persis di Ujung Sungsang IV. Sembari mengutarakan niat kedatangan pada tuan rumah, mata langsung tertuju pada sebuah kapal wisata “Belantara”.
Kapal itu bakal menjadi moda transportasi untuk mengenalkan wisata alam di sepanjang sungai dan lautan, hingga ke Taman Nasional Berbak dan Sembilang. Pagi itu Belantara tertambat pada tiga tonggak kayu.
Berkat kebaikan salah seorang anggota Badan Permusyawaratan Desa, saya di ajak ke kantor desa untuk bertemu Eliyas Hadinata, Sekretaris desa Sungsang IV. Eliyas bercerita bila desanya sedang mengembangkan wisata berbasis alam berupa hutan Nipah, Taman Nasional. Tak ketinggalam desa ini juga dikenal dengan wisata adat dan budaya sebagai pendamping wisata bahari.
Sejumlah data dia berikan, sebelum menutup obrolan berakhir ia menyarankan untuk menelusuri gang demi gang, hingga melintasi hutan nipah dan tempat pelelangan ikan.
Toha salah seorang pengepul menunjukkan beragam ikan yang barus saja didaratkan oleh nelayan. TEMPO/Parliza Hendrawan
Ditemani Arfan, yang juga perangkat desa, kami berjalan kaki sekitar 3 km hingga ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Obrolan hampir tanpa jeda sehingga keringat membasahi bajupun tak dirasa lagi. Persis di luar perkampungan, Arfan menunjukkan hutan Nipah menghijau yang menyerupai hamparan kebun palem.
Di antara celah dedaunan sempat telihat buah Nipah yang bisa dijadikan minuman. Kebutulan saat itu air belum pasang, sehingga biota sekeliling pohon yang daunnya bisa dijadikan atap itu terlihat mempesona. Ada kepiting, belut dan ikan-ikan kecil yang hidup pada cekungan yang menyerupai kolam. “Di ujung sana kita bisa melihat aktifitas jual beli ikan, udang maupun kepiting,” kata Arfan.
Perjalanan berakhir di TPI yang dikelola oleh warga Sungsang IV sendiri. Sedangkan untuk ikan dan udang segar bisa di beli melalui pengepul di Tempat Pelelangan Ikan di desa Sungsang IV. Toha, salah seorang pengepul menunjukkan beragam ikan yang barus saja didaratkan oleh nelayan.
Rumah-rumah bertiang kayu tampak berjejer di sepanjang sungai di Desa Sungsang di Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin. Sebagian besar masyarakat disana bergantung hidup dari hasil laut berupa ikan dan udang. TEMPO/Parliza Hendrawan
Ikan tersebut di antaranya senangin berukuran 5 kg, sembilang, belut laut sepanjang hampir 1 meter, nior, utik. Sementara itu Yus, pengepul udang petak memperlihatkan puluhan udang petak, yang dihargai mulai dari Rp50.000-90.000 per ekor dengan panjang maksimal 25,5 cm. PARLIZA HENDRAWAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini