Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Gaya Koboi Kapten Kaya

Dengan mobil Mercy, seorang perwira TNI menembak sembarangan. Anak anggota Dewan yang tinggal di Menteng.

14 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jumat malam bukan hari libur untuk Dadang Sunandar. Lelaki 21 tahun yang baru beberapa bulan merantau ke Jakarta itu harus mengepak pelbagai barang di tempatnya bekerja, PT Fajar Intra Nusantara Logistics, hingga matahari tak tampak lagi. Begitu juga Jumat 21 Juli lalu. Di terminal kargo Bandara Soe-karno-Hatta, ia larut dalam kesibukan membungkus barang di perusahaan ekspedisi itu.

Hari sudah gelap. Tapi pekerjaan Dadang belum tuntas. Ia harus mengepak barang di kantornya di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat. Dua rekannya, Eko Kurniawan dan Dede Priyadi, menjemputnya dengan mobil Daihatsu Espass. ”Ada barang klien perusahaan yang mesti diantar malam itu juga,” kata Eko.

Mobil melaju di jalan tol Prof Sedyatmo. Tak bisa ngebut karena jalan padat dengan kendaraan. Saat melintasi jembatan Kapuk, terdengar derit rem dari mobil di belakang mereka. Eko melirik spion, sebuah Mercedes merah hampir menempel di buntut mobilnya. Si merah meliuk-liuk untuk minta jalan, pengemudinya berkali-kali membu-nyikan klakson dan mengedim.

Eko menepi ke bahu jalan. Mercedes jenis A 140 itu terus memepetnya. Kaca pintu diturunkan dan terlontarlah berbagai umpatan dari sopirnya. Eko membalasnya.

Perjalanan berlanjut. Espass dan -Mer-cy saling mendahului dan meme-pet. Sa-at itulah Eko dan kawan-kawan mende-ngar letusan. Ia tidak sadar apa yang se-benarnya terjadi sampai di-de-ngar-nya Dadang, yang duduk di atas pe-ti kosong di bagian belakang mobil tanpa jok kursi, mengeluh perutnya di-ngin dan mulas. Ia lalu mengerang sam-bil memegangi perutnya yang berlumur-an dar-ah. Kepalanya terkulai ke jok de-pan.

Eko panik. Ia lalu melambatkan la-ju mo-bil. Pemilik Mercy merah rupa-nya belum puas. Espass dihalangi. Si pe-nge-mudi Mercy keluar sambil menenteng pistol. ”Mau minta mampus, lu?” har-diknya sebagaimana diceritakan Eko. Moncong senjata lalu ditempelkan di -jidat Eko.

Lutut Eko gemetar. Mulutnya komat-kamit meminta ampun. Eko sempat melihat si penodongnya melirik ke dalam mo-bil. Setelah itu, dia buru-buru masuk mobilnya dan kabur.

De-de, rekan Eko yang berada di dalam Espass, sempat mencatat nomor polisi Mercy tadi: B 1501 RI. Kondisi Dadang agak mengkhawatirkan, darah terus mengucur. Rupanya sebutir peluru telah menembus pintu tengah Espass, melesak ke pinggang Dadang hingga tembus membentur pintu kiri.

Saat itu juga Eko mengontak pos se-kuriti FIN Logistics. Dia juga memberi tahu ciri-ciri si penembak yang be-ram-but cepak, berkulit bersih. ”Ting-gi-nya setelinga saya,” kata pria berting-gi 1,72 meter ini. Dadang dilarikan ke Rumah Sakit Pluit. Tapi karena -ruang gawat darurat penuh, Dadang dialih-kan ke Rumah Sakit Metropolitan Medical Center, Kuningan, Jakarta Selatan. La-lu mereka melapor ke Kepolisian Sektor Penjaringan.

Malam itu, petugas Polsek Penja-ringan sibuk bukan main. Berbekal nomor po-lisi pemberian Dede, mereka menca-ri pemilik mobil. Dari Samsat- Dan Mogot, diperoleh keterangan pemi-liknya Ma-ria-na Suparman berala-mat di Bintaro Sektor II, Jakarta Selatan.

Hanya beberapa jam setelah ke-jadi-an, reserse Polsek Penjaringan bersama po-lisi dari Polda Metro Jaya menuju -lokasi. Tak ada yang menyangka me-reka rom-bongan polisi. Sebagian bercelana pendek dan bersandal jepit, bahkan ada yang sarungan dan berambut gondrong.

Sekitar pukul 01.00 WIB, Sabtu 22 Ju-li, petugas mendekati alamat. Sebelum menyergap, seorang polisi menumpang ojek menyisir lokasi. Dia memberi ko-de tanda aman. Berjarak seratus me-ter dari lokasi, empat mobil petugas berhenti.

Polisi turun dengan gesit, lalu menyebar. Seorang saksi mata bercerita ia melihat salah satu di antaranya naik pohon jambu di seberang rumah intaian. Ada yang tiarap dekat pagar, yang lain me-loncat ke halaman tetangga.

Sayang, sergapan malam itu gagal. Ternyata rumah itu kosong. Yang tinggal hanya sebuah papan pengumuman rumah akan dijual atau disewakan. Seorang polisi mengontak nomor telepon yang tertera di papan itu. Pemilik-nya yang sudah pindah ke Bekasi meng-akui mobil Mercy itu semula memang ia yang punya. Tiga hari kemudian, si pemilik Mercy datang ke Polres Ja-karta Utara untuk memberi keterangan.

”Dia bilang mobilnya telah dijual ke sebuah dealer di Kemayoran,” kata Komisaris Andry Wibowo, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Utara, kepada Reza M. dari Tempo. ”Jadi dia bukan pelakunya.”

Dari dealer Kemayoran didapat data, pe-milik Mercy berikutnya adalah Etha Bulo, seorang anggota Dewan Perwa-kilan Rakyat asal Papua dari Fraksi Partai Bintang Pelopor Demokrasi. Etha dan suaminya, pengusaha berna-ma Alex Mapaliey, adalah keluarga berada. Mereka kini bermukim di kawasan elite Jalan Sumatera, Menteng, Jakarta Pusat.

Dari beberapa informasi yang dida-pat, polisi menduga pelakunya adalah se-o-rang tentara. ”Karena itu, kami melim-pahkan ke Pomdam (Polisi Militer Komando Daerah Militer) Jaya,” ka-ta Andry.

Maka, penyelidikan pun beralih ta-ngan. Dalam sekejap diketahui tersangka bernama Batara Alex Bulo, perwira berpangkat kapten yang bertugas se-ba-gai Perwira Seksi I/Intel di Batalion Infanteri (Yonif) 500 /Raider Komando Daerah Militer V/Brawijaya.

Pria kelahiran Toraja, 28 Desember 1974, itu diketahui sedang di Jakarta ka-re-na ikut kursus Study in Austra-lia Pre-paration di Pusat Pendidikan dan Pela-tih-an Bahasa Departemen Perta-han-an, Pondok Labu, Jakarta Selatan. Ba-ta-ra, putra kedua Etha Bulo, hendak me-lanjutkan pendidikan militer di Ing-gris.

Batara dibesarkan di Jakarta. Pendi-di-k-an dasarnya dilalui di SD St. Fransiscus Asisi, Tebet, Jakarta Selatan. Lulus pada 1987, lalu ia masuk SMP Dewi Sar-tika, masih di kawasan Tebet. Sebagai anak orang berada, ia kemudian menimba ilmu di SMU John Wesley North High School California, Amerika Serikat, yang diselesaikan pada 1993. Kembali ke Indonesia, ia harus ikut ujian pers-amaan di SMA Katolik Cende-rawasih Makassar pada 1994. Lelaki ini memilih jadi tentara. Akademi Militer ia selesaikan pada 1998.

Penangkapan Kapten Batara dirancang pada Minggu, 30 Juli. Sejumlah petugas dikirim ke Jalan Sumatera. Sebelum sampai, seorang anggota Puspom terlebih dulu mengontak Batara. Dia bilang pimpinan satuan Batara ingin bertemu.

Batara menyanggupi. Petugas menga-takan segera meluncur ke Menteng. Be-be-rapa saat kemudian, si petugas me-ne-lepon lagi dan mengatakan sudah dekat dengan rumahnya. Tetapi, Batara menjawab, dirinya berada di Pondok Labu.

Petugas Pomdam tak begitu saja per-caya. Mereka yakin Batara berada dalam rumah. Sayang, si kapten tak bisa ditemui karena di pintu rumah, ma-ma Etha sudah menahan mereka. Dia menolak penggeledahan rumah kecuali ada surat perintah dari presiden.

Kali ini petugas mundur. Sebagian pulang ke kantor, tetapi yang lain tetap memantau. ”Mereka ada yang menyamar jadi tukang somay dan tukang bakso,” kata seorang penyidik.

Esoknya, petugas mengetahui Ba-tara ke-luar rumah. Ia dikun-tit, lalu dibekuk di Pondok Labu. Sejak itu, Batara men-dekam dalam tahanan mi-li-ter di Pomdam Jaya.

Menurut Ko-man-dan Pomdam Jaya, Ko-lonel CPM Iran Sae-pu-din, tersangka me-nyang-kal penembak-an itu. Bahkan kepa-da pe-meriksanya, Batara beralibi sa-at ke-jadian sedang berada di Pusat Pen-di-dikan dan Pelatihan Bahasa Depar-temen Pertahanan, Pondok La-bu, Jakar-ta Selatan.

Sorenya, Batara bilang tak ke mana-mana, dia pulang ke rumahnya. ”Malam pas kejadian itu, dia mengaku tidur hingga pukul 21.00 WIB,” kata Iran kepada Tempo. Dia lalu menghabiskan waktu menonton televisi dan tidur lagi. Keterangan ini dibantah seorang saksi yang melihatnya beraksi di jalan tol.

Petugas juga menanyakan mobil Mercy buatan tahun 2001 yang merupakan barang bukti. Tetapi, Batara menja-wab mobil itu telah dijual oleh orang tuanya. Petugas tak percaya. ”Siapa mau beli mobil yang suratnya di perusahaan leasing,” kata Iran.

Sayang, kapten kaya ini tak bisa di-de-kati. Iran tak mengizinkan wartawan Tem-po mewawancarainya. Kantor ibu-nya, Etha Belo, di Gedung DPR RI lan-tai 21, dalam kondisi terkunci. Dida-tangi di rumahnya di Menteng, Kamis pekan lalu, seorang wanita berbaju me-rah dan pria berkemeja krem menyambut Tempo.

Rumah ini bercat abu-abu. Dua mobil me-wah parkir di garasi. Tanpa membuka pagar, mereka tak mengizinkan masuk. ”Tak ada komentar,” kata si pria. Seekor anjing hitam tinggi sepinggang orang dewasa menyalak dengan galak. ”Anjing saya kalau lepas ngeri, lho,” si wanita menimpali.

Menurut Iran, keluarga Batara ber-kali-kali mengajak Dadang ber-damai dengan mencabut perkara. ”Mere-ka menawarinya motor, rumah, dan pekerjaan,” katanya. Tapi Dadang tak mau menerimanya.

Dadang telah meninggalkan rumah sa-kit, Rabu pekan lalu. Ususnya yang kena timah panas sudah dipotong 70 sentimeter. Untuk sementara, ia melupakan niatnya mencari penghidupan di Jakarta. Dadang memilih pulang ke kampung halamannya di Subang, Jawa Barat.

Namun tekadnya bulat. Dia ingin per-kara penembakan itu diselesaikan lewat jalur hukum. ”Saya mohon dia dihukum setimpal dengan perbuatannya,” katanya.

Nurlis E. Meuko, Ramidi, dan Fanny Febiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus