Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampah merupakan permasalahan global, termasuk di Indonesia. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan, Indonesia menghasilkan 67,8 juta ton sampah pada 2020. Dari jumlah itu, 39,8 persen berupa sisa makanan; 17 persen sampah plastik; 14 persen kayu atau ranting; 12,02 persen sampah kertas; dan 6,94 persen jenis lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Penanganan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Novrizal Tahar, mengatakan persoalan sampah adalah multidimensi, bukan hanya persoalan teknis dan teknologi saja, tapi berbagai persoalan ada di dalamnya. "Sehingga memang pendekatannya harus dilakukan dengan berbagai pendekatan secara simultan yang kita lakukan, jadi kata kuncinya kolaborasi itu menjadi hal penting dalam menyelesaikan persoalan sampah," kata Novrizal dalam diskusi daring bertajuk Kolaborasi Multipihak Dalam Pengelolaan Sampah Untuk Mewujudkan Ekonomi Sirkular, Kamis, 8 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Novrizal menjelaskan, saat ini komposisi sampah plastik di Indonesia sudah mencapai 17 persen bahkan hampir 18 persen dibanding seluruh sampah lainnya. "Kalau kita bandingkan tahun 2010 itu masih di angka 11 persen, ini memang persoalan yang serius ya, karena mungkin terjadi pola konsumsi dan pola perubahan perilaku masyarakat sehingga komposisi sampah plastik ini meningkat dengan pesat," ujarnya.
Pemerintah pun telah berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan-persoalan termasuk sampah plastik dengan mengeluarkan Peraturan Presiden 83 tahun 2018 tentang komitmen pengurangan 70 persen sampah plastik ke laut tahun 2025. "Sebelumnya Profesor dari Amerika menyatakan Indonesia nomor dua membuang sampah plastik ke laut tetapi saat ini kita bisa nyatakan progresnya sangat baik," kata Novrizal.
Ketua Umum Indonesia Environmental Scientist Association, Yuki M.A Wardhana, mengatakan, kewenangan wajib pengelolaan sampah itu ada di pemerintah daerah. "Beberapa sumber menjelaskan bahwa kapasitas fiskal yang digunakan untuk pengolahan sampah hanya sebesar 0,7 persen, jadi kata kunci atau tantangan kita adalah bagaimana sampah ini sedikit mungkin berada di tempat pembuangan akhir," ujar Yuki.
Menurut Yuki, ekonomi sirkular memang sebagai salah satu senjata yang ampuh untuk mereduce sampah. Tapi, harus diperkuat karena ekonomi sirkular akan terbentuk dengan baik kalau ada marketnya.
"Jadi teman-teman produsen ini aktif dalam mendorong ekonomi sirkular, karena harus ada pasarnya, ada yang jual dan ada yang beli," kata dia.
Head of Sustainable Environment Unilever Indonesia Foundation, Maya Tamimi, mengatakan sebagai industri permasalahan sampah juga merupakan suatu perhatian yang luar biasa bagi pihaknya. "Karena kami ini kan, sebenarnya berbisnis berjualan produknya ya bukan kemasannya, meskipun kemasan memainkan peran penting untuk menjaga kualitas produk tetap baik bagi konsumen. Jadi kemasan yang kemudian berceceran itu merupakan sesuatu yang tidak kita inginkan, sehingga perlu dipikirkan bagaimana caranya kita bersama-sama mencegah hal tersebut, untuk tidak terjadi terus menerus," kata Maya.
Menurutnya, Unilever ingin sekali membuat dunia yang bersih dari sampah. Karena itu, pihaknya juga melakukan pendekatan ekonomi sirkular, agar ketika membuat produk kemudian dipakai lagi, sehingga tidak ada sisaan yang mengotori lingkungan.
"Ini kami lakukan dengan berbagai komitmen, karena tidak bisa jalan sendiri dan yang sangat penting itu semua dimulainya dari desain produk. Jadi bener bener dari awal banget bahkan sebelum dimasukin ke market itu sudah dipikirkan," ujarnya.
Maya menjelaskan, saat ini pihaknya juga telah mengupayakan untuk berkomitmen mengurangi penggunaan plastik dalam kemasan. "Dalam latihannya adalah kita mencoba mengimprov kemasan kami agar semakin lama semakin baik".
Kemudian, Maya melanjutkan, dari material yang digunakan, pihaknya juga mengupayakan agar sesuai dengan peraturan pemerintah yaitu dapat didaur ulang dan mudah didaur ulang. "Kami juga punya komitmen penggunaan kemasan daur ulang, jadi kalau misalkan kita tidak punya komitmen itu mungkin buat industri akan lebih mudah selalu pakai plastik atau plastik yang baru karena selalu bersih. Tapi, kita juga tahu kita tidak bisa membiarkan hal ini terus-menerus sehingga harus ada komponen daur ulang sehingga sirkular ekonomi itu terjadi," ujar Maya.
Content Creator & Architect, Astri Puji Lestari, mengatakan berbicara mengenai pengelolaan sampah tentu sama dengan kebanyakan orang. "Tapi yang pertama dilakukan adalah pikirin sebelum mengkonsumsi (produk) dan bijak dalam memakainya (penggunaannya)," kata dia.
Sebab teori 3R (Reduce, Reuse, Recycle) sudah diajarkan dalam pelajaran sekolah. Namun, kenyataannya tidak diaplikasikan dengan baik. "Cuma jadi pelajaran sekolah dan hanya jadi teori, tapi ketika sudah masalah besar (sampah) kita tidak punya bekalnya, jadi menurutku penting banget memfamiliarkan ini (3R)," ujarnya.