Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL – Bocor Alus Politik berkolaborasi dengan Greenpeace mengundang para kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden untuk mengetahui pendapat mereka terkait isu lingkungan. Para kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden itu diminta mengutarakan visi misi dan komitmen soal lingkungan hidup melalui kanal YouTube Tempo.co, beberapa waktu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Acara yang dipandu Jurnalis Tempo Hussein Abri Dongoran dan Raymundus Rikang ini menghadirkan pembicara terdiri dari Khalisah Khalid dari Koordinator Politik Working Group Greenpeace Indonesia; Irvan Pulungan juru bicara Anis-Muhaimin; Maman Abdurrahman, Wakil Ketua Komisi 7 DPR RI dari Golkar juru bicara TKN Prabowo Gibran; dan Sonny Keraf, Menteri Lingkungan Hidup Tahun 1999-2001 sebagai juru bicara TKN Ganjar-Mahfud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dalam konteks krisis iklim, kita punya tantangan yang berat terhadap dua sektor yang memiliki kontribusi besar bagi emisi global,” kata Khalisah, yang kerap disapa Alin. Pertama, kata dia, terkait deforestasi dan alih fungsi lahan, kedua terkait energi.
Dalam catatannya, deforestasi menyumbang 40 persen terhadap emisi global, sementara sektor energi kerap menunjukkan tren peningkatan dari emisi dan polusi. “Kita belum melihat ada perubahan fundamental, kita melihatnya emisi masih tinggi.”
Kehadiran Presiden Joko Widodo dalam perhelatan Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP 28) pun dikritisi Greenpeace, terutama terkait dua pidato presiden dalam forum internasional itu. “Pertama dalam pidato disampaikan soal bagaimana komitmen Indonesia untuk sampai net zero emission pada tahun 2060 dan komitmennya bisa lebih awal. Kedua komitmen untuk perbaikan pada tata kelola di antaranya di sektor deforestasi dan alih fungsi lahan,” kata Alin.
Dia menilai, komitmen yang disampaikan presiden kontradiktif dengan kebijakan nasional. “Kebijakan nasional kita jauh panggang dari api, bertentangan dengan komitmen iklim global yang disampaikan,” kata dia. Alin mencontohkan kebijakan UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang pandangan Indonesia dan banyak organisasi lingkungan menilai dua kebijakan itu akan melanggengkan deforestasi, memperparah krisis iklim.
Sementara di sektor energi, dia melihat batu bara masih menjadi primadona. “Bahkan di bauran energi Indonesia, kebijakan energi kita itu bauran dari batu bara dan sumber batu bara itu masih mendominasi.” Artinya, lanjut Alin, terdapat pertentangan antara komitmen iklim global nya dengan kebijakan di dalam negeri.
Alin juga menyoroti tata kelola listrik. “Itu yang menjadi catatan penting.” Kemudian, lanjut dia, upaya-upaya yang coba dilakukan oleh banyak pihak untuk mendorong energi terbarukan juga mentok. “Ada PR di tata kelola,” ucapnya.
Alin menyebut hal itulah yang membuat komitmen Indonesia terhadap iklim global dengan kebijakan di dalam negeri menjadi bertentangan. Alin juga menilai pidato presiden terkait upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah menurutnya sebagian adalah solusi palsu.
“Dua hal yang disampaikan oleh presiden dalam forum pangan di COP itu menunjukkan bahwa presiden gagal dalam melihat problem mendasar kita di sektor pangan dan juga di iklim. Tentu saja justru solusi-solusi palsu itu semakin memperparah krisis iklim."
Menurut Greenpeace, solusi terkait energi adalah demokratisasi energi dengan mendorong komunitas-komunitas masyarakat yang memiliki sumber-sumber energi bersih untuk bisa difasilitasi. Tujuan dari demokratisasi energi adalah dimana masyarakat bisa berdaulat untuk bisa memenuhi sumber energinya. Dia mencontohkan solar panel sebagai contoh kasus bagaimana regulasi menjadi penghambat masyarakat beralih ke energi terbarukan.
Maman Abdurrahman, juru bicara TKN Prabowo Gibran, menekankan bahwa komitmen negara terhadap isu lingkungan menempatkan Indonesia sebagai nomor satu dibandingkan negara lain di dunia. Indonesia, lanjut dia, telah memasukkan komitmen terhadap lingkungan menjadi bagian dari hak asasi manusia di dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28h.
Kedua, dia menghargai hadirnya teman-teman seperti Greenpeace di dalam negara Indonesia dalam konteks balancing power dan kontrol dalan setiap aktivitas mengelola energi, lingkungan dan pangan.
“Ketiga, kita harus lihat dulu bahwa kalau kita bicara energi, bicara lingkungan ini nggak bisa hanya sekedar dilihat dari perspektif lingkungannya saja tapi harus melihat bahwa energi menjadi salah satu tulang punggung pendapatan negara kita."
Menurutnya sektor energi penyumbang ratusan triliun devisa negara yang masuk dalam penerimaan negara bukan pajak. “Jika membicarakan dengan adanya net zero emission batu bara tidak boleh dipakai, lalu pertanyaannya siapa yang mengganti salah satu sumber pemasukan energi kita,” tanya Maman. Kita, lanjut dia, harus berjalan seiringan dalam transisi energi ini.
Tantangan pemerintah saat ini adalah bagaimana bisa mengelola menjadi jembatan penengah antara kepentingan isu lingkungan hidup dengan mengamankan kepentingan pemasukan pendapatan negara dari sektor energi. Dia pun mencontohkan tidak semua langsung bergeser ke renewable energy, perlu ada adaptasi dan tahapan.
“PLN kita sebagian besar menggunakan energi batu bara kalau kita setop penggunaannya, siapa yang bisa mengamankan pasokan listrik nasional kita. Kedua misalnya kita setop penggunaan batu bara, kembali lagi tadi berpengaruh kepada pendapatan negara artinya apa perlu ada sebuah kebijakan, politic will yang didorong untuk menjembatani antara kepentingan lingkungan hidup dengan kepentingan pendapatan negara dari sektor energi. Apa itu? injeksi teknologi,” tuturnya.
Ke depan, lanjut dia, seluruh pembangkit listrik, perusahaan dan produsen batu bara, harus sudah mulai memasukkan teknologi untuk menekan kadar karbon di dalam batu bara itu. Sementara RUU tentang Energi Baru Terbarukan, kata dia, sedang dituntaskan di Komisi VII DPR RI.
Kehadiran pemerintahan, kata dia, berhak melindungi siapapun untuk berinvestas. “Jadi jangan serta merta kita seakan-akan alergi terhadap pengusaha batu bara, nggak fair juga. Di satu sisi kita membutuhkan kehadiran mereka tapi di sisi lain kita mendeskreditkan mereka, saya nggak mau masuk dalam perdebatan itu.”
Terpenting, kata Maman, political will yang dilakukan pemerintah nanti ke depan. Bagaimana pemerintahan Prabowo dan Gibran bisa mendorong percepatan injeksi teknologi, pemanfaatan teknologi dalam produksi batu bara.
Dia meminta untuk tidak khawatir tentang isu lingkungan. Hal ini dikarenakam ketiga pasangan capres dan calon wapres sesungguhnya punya pemahaman yang sama. Saat ini tinggal bagaimana melihat sudut pandang penyelesaian masalah. Indonesia, katanya memiliki kompleksitas yang banyak, maka diperlukan titik kompromi dalam penyelesaian sebuah masalah.
“Contoh kalau loe tanya tentang hari ini, itu negara-negara Barat nggak ada yang komit tentang climate change. Gue nggak terima orang Indonesia kok dijadikan sebagai bamper ataupun tukang cuci piring dari penyelesaian isu global,” kata dia.
Berapa kali ganti gubernur, lanjut Maman, tidak ada yang bisa mengurai masalah kemacetan dan kesemerawutan Kota Jakarta. Tidak ada solusi permanen. “Artinya apa solusi yang permanen adalah pemindahan ibukota negara? Beban ibukota kita sudah cukup berat menampung semua problematika di Indonesia yang terkumpul ibukota negara kita, DKI Jakarta.”
Kedua, lanjut dia, tidak sekedar pemindahan ibukota, Kalimantan Timur beserta dengan provinsi-provinsi penyangganya akan semakin berkembang dan maju. “Ketiga kita mau ada semangat bahwa proses pemindahan ibukota tetap harus memperhatikan lingkungan. Isu lingkungan ini komitmen bersama kita semua. Tetapi apakah ada pendistribusian keadilan di negara kita, ini yang harus kita jawab juga bukan hanya sekedar masalah isu lingkungan. Bagaimana caranya political will kita semua untuk mendukung ke arah sana.”
Menurutnya, jangan sampai ambil suara di Jakarta, suara banyak, lalu mengabaikan prinsip keadilan masyarakat yang ada di Kalimantan. “Kita berkepentingan agar melalui IKN kita bisa mendapatkan kemanfaatan perkembangan kemajuan pembangunan tanpa menyampingkan aspek-aspek kajian.”
Sonny Keraf, juru bicara TKN Ganjar-Mahfud menanggapi bahwa persoalan lingkungan hidup merupakan kepentingan bangsa dan umat manusia, bukan urusan masa depan. “Lingkungan hidup urusan hari ini bukan urusan masa depan, itu menyangkut keselamatan kita sebagai manusia.” Dia menambahkan, “Saya harus mengakui Jokowi hebat memaparkan komitmen kita di tingkat global, tentang negosiasi perubahan iklim.”
Menurutnya, yang menjadi permasalahan adalah Indonesia tidak serius mengerjakan pekerjaan rumah. “Transisi energi kita itu bagaikan tarian Poco-poco. Selangkah maju selangkah mundur, kita punya komitmen yang bagus tapi pekerjaan dalam rumah tidak serius kita kerjakan.”
Indonesia tidak mungkin dalam semalam menghentikan semua PLTU Batubara. Tapi menurutnya banyak investor yang sudah siap untuk energi terbarukan. “Harus dibuka dong. Kita harus mencari terobosan-terobosan, bahwa krisis mengenai iklim ini serius dan kami serius tentang itu.”
Dalam Pilpres, katanya, tak hanya gagasan program visi misi, namun yang paling penting juga konstelasi integritas untuk serius melaksanakan semua janji itu. “Karena itu kita harus share integritas dari pemimpin itu harus kita uji betul mereka mau melaksanakan.”
Kubu Ganjar-Mahfud, kata Sonny, juga berjanji akan menghentikan deforestasi. Mereka akan menggunakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Alam, lanjut dia, tidak boleh dikasih izin lebih dari daya dukung dan daya tampung. Bagaimana caranya ada KLHS.
“Bukan berarti kita tidak mau membagun perhutanan. Bukan kita tidak mau memberi izin pertambangan, kita butuh kok. Tetapi dengan KLHS, kita bisa mengontrol itu sehingga pembangunan bisa jalan terus tetapi dalam kendali lingkungan hidup,” tuturnya.
Sebagai Ketua Panja UU Mineral Batu Bara. Sonny mengatakan perlunya memiliki Cadangan mineral dan batu bara. Menurutnya hal itu perlu belajar dari minyak bumi yang sebelumnya net eksportir menjadi net importir.
“Saya khawatir suatu saat kita akan juga sama dengan batu bara. Padahal ke depan batu bara dengan kemajuan teknologi riset dan inovasi akan bisa menghasilkan produk-produk yang jauh lebih punya nilai tambah dibandingkan kemudian kita eksploitasi habis-habisan sekarang,” ujar dia. Menurutnya, komitmen mengenai kemajuan economy sustainability, ecological sustainability, itu harus seiring sejalan. Mereka pun akan melakukan terobosan-terobosan dalam hal transisi energi.
Terkait pemindahan ibu kota, Sonny sepakat bahwa ibukota negara harus dipindahkan. “Prinsipnya tidak mungkin kita pertahankan ibukota Jakarta dari sisi lingkungan. Kita pindahkan episentrum pembangunan untuk pemerataan ke luar Jawa, dimana akan dibangun ibukota yang ramah lingkungan.
Irvan Pulungan, juru bicara Anis-Muhaimin mengatakan, dalam hal tata kelola lingkungan tak hanya KLHS namun juga ada Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Nasional. “Jadi kita perlu melakukan semacam audit lingkungan terhadap izin-izin dan project nasional yang sudah dikeluarkan, dan itu harus dilakukan dengan dingin harus dengan berbasiskan ilmu dan berbasiskan fakta.” Hal itu kata dia untuk mengembalikan kepada tata kelola yang lebih baik.
Terkait para pengusaha, dia mengingatkan bahwa pengusaha juga bagian dari masyarakat Indonesia. Satu isu yang selalu menjadi masalah dan tidak pernah diselesaikan di tingkat global dalam dalam negosiasi perubahan iklim adalah menempatkan para pengusaha dan bisnis sektor di meja yang sama.
“Yang harus dilakukan adalah bagaimana menempatkan seluruh stakeholder di meja yang sama, mendiskusikan apakah kemudian bisnisnya itu bisa menjadi lebih hijau.” Menurutnya, perlu ada kepemimpinan nasional yang dapat berkolaborasi di semua sektor untuk memperbaikinya.
Dalam konteks demokratisasi energi, Irvan sepakat dengan Greenpeace. “Intinya mendemokratisasi itu kan ada beberapa cara yang sudah baku. Akses informasi, partisipasi, dan keadilan perlu diberikan.
Dalam perumusan undang-undang EBTKE itu perlu dimasukkan konteks tersebut.”
Perbaikan tata kelola, memberikan akses keadilan bagi masyarakat untuk bisa terlibat dan mendapatkan informasi yang lebih, serta membangun struktur finansial yang alternatif menjadi sarannya untuk dilakukan ke depan nanti.
Terkait Ibu Kota Negara (IKN), Irvan menyarankan untuk dilakukan audit lingkungan dan menemukan apakah pemindahan itu environmenttaly sound atau tidak, “baru kita melanjutkan apa tidak,” ujar dia.
Visi misi AMIN, kata dia, upaya untuk mengembangkan 14 Kota Baru di seluruh Indonesia. “Tentunya itu lahir dari kajian tim substantif yang menyatakan pengembangan pembangunan 14 Kota Baru dalam konteks persebaran ekonomi yang lebih merata itu jauh lebih efisien pendanaannya daripada membangun IKN.”
Menurutnya, hal ini bukan masalah isu elektoral atau tidak. Namun apakah Jakarta masih bisa diselamatkan dan itu dibuktikan dengan riset yang dilakukan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama 2017 sampai 2022. “Kedua tidak ada urusan elektoral, urusannya adalah mengembangkan titik-titik baru ekonomi yang dapat bisa mengembangkan tidak hanya di satu wilayah tapi di seluruh wilayah Republik Indonesia.” (*)