Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewan Perwakilan Rakyat masa bakti 2019-2024, yang dikukuhkan pada awal Oktober lalu, mewarisi Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 yang sangat menantang. Sejumlah indikator ekonomi makro yang menjadi dasar penghitungan APBN terus menghadirkan ketidakpastian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketidakpastian bagi keberlakuan sejumlah asumsi APBN membuka peluang bagi DPR untuk mengaktifkan klausul bahwa, apabila terjadi deviasi 10 persen terhadap asumsi dasar ekonomi makro, pemerintah wajib mengubah APBN. Kewajiban itu sesuai dengan Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
Meski telah tertuang dalam UU MD3, klausul ini tidak pernah dimasukkan dalam Undang-Undang APBN. Secara konseptual, mengakomodasi deviasi asumsi ekonomi makro ke dalam perubahan APBN sangat masuk akal. Draf APBN disusun berdasarkan sejumlah asumsi. Besaran asumsi ini, kendati belum tentu terjadi, tetap diperlukan sebagai landasan berpijak dalam mengembangkan skenario turunannya.
Dengan model penyusunan semacam ini, konstruksi APBN dengan sendirinya amat rapuh. Penerimaan dan belanja APBN menjadi sangat sensitif terhadap setiap penyimpangan asumsi ekonomi makro. Karena itu, perubahan APBN pada tahun berjalan akan menjadi keniscayaan di setiap tahunnya.
Dengan logika ini, aktivasi klausul deviasi asumsi APBN bisa dimaknai sebagai sikap kehati-hatian DPR agar APBN tetap realistis menyesuaikan dengan kondisi mutakhir. Fleksibilitas APBN adalah karakteristik lain yang hendak diraih lewat aktivasi klausul deviasi asumsi ekonomi makro.
Di sisi lain, mayoritas asumsi ekonomi makro berada di luar jangkauan pemerintah. Sebagai negara dengan perekonomian kecil yang terbuka, Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk mempengaruhi arah perubahannya. Artinya, variabel ekonomi makro tersebut tipikal bersifat eksogen yang tidak bisa dikontrol.
Dengan kendala eksogenitas ini, pemerintah terus bekerja keras agar kinerja APBN bisa dipertahankan demi merawat kredibilitas APBN. Dalam pandangan pemerintah, kredibilitas APBN menjadi prasyarat primer agar "roh" APBN bisa optimal dalam menjalankan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
Walhasil, membangun exit strategy dalam menyikapi melesetnya asumsi ekonomi makro menjadi jauh lebih relevan. Artinya, ikhtiar awal semestinya dilakukan lebih dulu sebelum mengubah asumsi dasarnya. Mengubah asumsi APBN tidak akan produktif jika tidak dibarengi dengan langkah konkretnya.
Misalnya, pemerintah pada APBN 2020 menyisihkan dana cadangan (fiscal buffer) Rp 10 triliun untuk menyerap potensi risiko fiskal. Risiko fiskal yang bisa diperkirakan sebelumnya dapat ditutup dari dana cadangan. Dana cadangan ini juga bisa digunakan untuk menambah alokasi subsidi bahan bakar minyak apabila terjadi lonjakan harga minyak.
Namun dana cadangan ini agaknya tidak cukup kuat untuk mengatasi risiko penyimpangan asumsi dan risiko terhadap peristiwa dadakan yang berada di luar kemampuan, seperti krisis keuangan dan turbulensi ekonomi global. Beban kontingensi yang melampaui kemampuan fiskal niscaya akan mengubah APBN ketimbang, misalnya, memotong pos-pos belanja yang substansial.
Sampai pada titik ini, cara pandang yang berbeda memberikan implikasi yang berbeda pula. Logika fleksibilitas beranjak dari dinamika asumsi untuk mengubah APBN. Sementara itu, argumen kredibilitas memandang kondisi darurat yang mendorong perubahan APBN. Walhasil, menyatukan kedua pandangan tersebut agaknya sulit.
Pokok persoalannya adalah seberapa besar toleransi diberikan kepada deviasi asumsi. Asumsi yang terlalu longgar guna mengejar fleksibilitas menyebabkan APBN kehilangan kredibilitas. Sebaliknya, terlalu ketat menentukan rambu pembatas asumsi APBN akan mengurangi kadar fleksibilitas.
Maka, asuransi risiko 10 persen deviasi asumsi ekonomi makro menjadi solusi kompromistis untuk mengakomodasi aspek fleksibilitas dan kredibilitas. Melalui pembayaran sejumlah premi tertentu, pemerintah bisa menggeser beban risiko penyimpangan asumsi ekonomi makro ke pihak ketiga.
Besaran nilai pembayaran premi per tahunnya bisa jadi jauh lebih ringan ketimbang secara frontal mengubah APBN. Langkah semacam ini secara parsial sebenarnya sudah diinisiasi. Sejumlah barang milik negara mulai diasuransikan tahun ini dengan seperangkat ketentuan dan untuk daerah dengan kriteria tertentu.
Dengan cara ini pula, melesetnya asumsi APBN bisa dikelola dalam taraf yang "aman". Lembaga asuransi pun niscaya punya angka baseline atas variabel ekonomi makro yang akan dihitung sensitivitasnya. Karena itu, klaim uang pertanggungan yang akan dibayarkannya pun masih terukur dalam berbagai model perhitungan aktuaria.
Lindung nilai (hedging) atas asumsi APBN membuka peluang kredibilitas APBN tanpa kehilangan fleksibilitas. Asumsi APBN senantiasa terpenuhi sehingga anggaran penerimaan dan belanja akan sepenuhnya terealisasi. Efek positifnya, APBN mampu merawat kepercayaan publik untuk mendukung arah kebijakan pemerintah.