Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Patgulipat Uang

Penipuan dengan kedok bisnis menggandakan uang kembali terbongkar di Medan dan Surabaya. Kenapa tidak sejak dini dilarang?

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahwa ada orang yang datang berduyun-duyun melipatgandakan uangnya di sebuah perusahaan di Medan, Surabaya, Jakarta—dan mungkin kota lain lagi yang belum diketahui—memang sulit dipahami. Apalagi kalau antrean sudah dimulai dari dini hari dan uang yang disetor miliaran rupiah. Tanpa jaminan pula, kecuali secarik kertas yang disebut sertifikat. Penyetor uang, dalam tempo hanya 21 hari, sudah menerima bunga sampai 80 persen dari modal yang disetor. Bisnis macam apa ini? Tak ada pelajarannya di fakultas ekonomi atau sekolah manajemen. Bank pemerintah serta bank swasta tak akan bisa menandingi para ”peternak uang” ini. Apalagi, suku bunga deposito saat ini sudah turun di bawah 25 persen setahun, dan bunga tabungan sudah pula melorot di bawah 20 persen setahun. Mukjizat dari negeri mana ada bunga 80 persen selama tiga pekan? Taruhlah Anda punya uang Rp 1 miliar dari jerih payah menabung bertahun-tahun. Semestinya Anda sudah tergolong sukses. Orang sukses seperti Anda itu sepatutnya juga (maaf) waras. Lalu, pada suatu hari yang cerah, Anda diiming-imingi untuk menggandakan uang Anda itu, dan dalam tempo 21 hari uang Anda bertambah Rp 800 juta. Apa sikap Anda? Dibutuhkan akal sehat. Jika Anda memilih untuk tidak tergiur dengan Rp 800 juta, Anda bisa berteriak, ”No way, ini pasti penipuan.” Tapi, jika Anda tertarik, belum tentu kena tipu, itu soal ”nasib” pada urutan keberapa Anda tercatat sebagai ”nasabah”. Kalau di nomor-nomor awal, itu keberuntungan. Asal, setelah itu akal sehat digunakan kembali. Berhenti beternak uang. Ini yang sulit, sekali akal sehat tak dipakai, seterusnya sulit untuk dipakai. Begitulah ”dewa judi”, kemenangan tak bisa menghentikan permainan. Pokoknya, uang berlipat terus, dan itu yang membuat banyak orang kembali menyetor uangnya. Kalau mental judi dan ingin ”kaya mendadak tanpa kerja” ini sudah mewabah, sang cukong tinggal menghitung hari: kapan saatnya kabur. Kasus PT BMA di Medan dan Surabaya bukanlah kasus pertama di Indonesia, dan boleh jadi bukan pula kasus yang terakhir. Kalau suatu saat sudah dilupakan, akan muncul pelipat uang versi baru, apakah bernama yayasan, PT, arisan, koperasi, apa saja. Yang perlu ditanya, apakah pemerintah juga punya akal sehat. Ada Undang-Undang Perbankan untuk membidiknya secara hukum. Ada aparat yang semestinya mudah memantau kegiatan ”bisnis” ini sejak dini. Kenapa selalu tindakan terlambat? Kepolisian baru menutup usaha seperti itu, ketika nasabahnya mencapai ribuan dan uang yang dibawa kabur sang cukong mencapai triliunan rupiah. Celakanya, keterlambatan ini membawa dampak ganda: di satu pihak uang nasabah yang dibawa kabur semakin banyak, di lain pihak para nasabah itu justru menyalahkan pemerintah. Sebagian dari nasabah yakin betul, kalau perusahaan itu tidak ditutup, pemberian bunga tinggi ini lancar-lancar saja. Memang, dibutuhkan akal sehat, untuk semua pihak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus