Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Didin Damanhuri telah membahas reformasi peran Bank Indonesia (Koran Tempo, 4 November 2019). Dalam pandangannya, peran BI dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan perlu diperkuat lantaran instabilitas perekonomian tidak sepenuhnya bersumber dari sektor moneter, tapi juga dari sektor riil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuntutan BI untuk terlibat lebih jauh dalam mendorong pertumbuhan ekonomi terhambat oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sesuai dengan undang-undang, mandat tunggal yang disematkan kepada BI adalah stabilisasi nilai rupiah, alih-alih mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
Berbekal dari misi stabilisasi itu, sejak 2000-dan resminya sejak 2005-BI menerapkan penargetan inflasi (inflation targeting) dengan suku bunga acuan sebagai instrumen utama. Suku bunga acuan akan dinaikkan jika inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran.
Dalam skenario BI, jika pergerakan inflasi terjaga, suku bunga acuan akan stabil sehingga nilai tukar juga "tenang". Terkendalinya inflasi dan nilai tukar secara tidak langsung menjadi prakondisi bagi pertumbuhan ekonomi.
Memberikan mandat pertumbuhan kepada BI secara yuridis memang dimungkinkan. Nuansa Undang-Undang BI dinilai lebih pro-stabilisasi karena dibuat saat perekonomian dibayangi instabilitas akibat krisis 1997/1998. Setelah Otoritas Jasa Keuangan terbentuk pada 2012, peran akselerasi BI bisa lebih terbuka.
Pengalaman krisis moneter 1997/1998 dan krisis keuangan global 2008 memberi pelajaran berharga bahwa kebijakan moneter lewat suku bunga acuan tidak mencukupi. Di satu sisi, suku bunga acuan sudah dipatok tinggi, tapi inflasi tidak terkendali, nilai tukar terdepresiasi berat, dan lembaga keuangan mengalami kesulitan finansial.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi terkoreksi sangat dalam. Karena itu, kebijakan makroprudensial diintroduksi untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Tapi Undang-Undang BI tidak menjelaskan secara eksplisit kebijakan makroprudensial. Kewenangan melaksanakan kebijakan makroprudensial justru tersurat pada Undang-Undang OJK.
Faktanya, BI mengimplementasikan bauran kebijakan lewat giro wajib minimum, uang muka kredit, rasio intermediasi makroprudensial, dana penyangga kontrasiklikal, dan penyangga likuiditas makroprudensial. Kebijakan tersebut memerlukan dasar undang-undang guna menghindari vonis "batal demi hukum".
Dengan revisi Undang-Undang BI, racikan kebijakan BI bisa lebih optimal mengarah pada peran sebagai agen pertumbuhan. Sebagai komparasi, bank sentral Amerika, The Fed, misalnya, juga memperoleh mandat untuk terlibat dalam upaya menciptakan lapangan kerja sebagai target tambahan di luar tugas utama stabilisasi harga.
Namun revisi Undang-Undang BI akan memberikan implikasi yang tidak ringan. Persoalan yang paling hakiki adalah imbal korban (trade-off) antara stabilitas dan pertumbuhan. Inflasi tekanan biaya (cost push inflation) adalah bukti stabilitas harga dan pertumbuhan tidak bisa dicapai berbarengan.
Dalam lingkup global, inflasi terimpor (imported inflation) adalah konsekuensi logis dari sifat perekonomian terbuka yang berada di luar kendali otoritas moneter. Inflasi terimpor untuk kasus Indonesia relatif "berat" karena berhubungan dengan impor migas, bahan baku, dan barang modal.
Revisi Undang-Undang BI juga menghendaki BI berwenang menentukan target pertumbuhan ekonomi. Konsekuensinya, BI harus mempunyai otoritas untuk mengambil berbagai kebijakan untuk mewujudkan target tersebut. Efek sampingnya, BI bisa menjelma menjadi superbody yang memiliki kewenangan besar.
Implikasi di atas niscaya mengubah kebiasaan yang sudah rutin berlaku. Target pertumbuhan ekonomi selama ini dipatok pemerintah lewat anggaran pendapatan dan belanja negara. Perkiraan pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah karena tekanan politik, misalnya, sering kali terlalu optimistis. Imbasnya, prediksi penerimaan pajak juga menjadi lebih tinggi.
Dalam konteks ini, BI berada pada posisi yang sulit. Kebijakan moneter pada umumnya lebih berciri pro-siklikal. Kebijakan ini yang kemudian berelaborasi dengan kebijakan fiskal yang juga pro-siklikal dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tidak berkelanjutan.
Di sisi lain, kebijakan makroprudensial lebih bertipe kontrasiklikal. Konsekuensinya, kebijakan moneter dan makroprudensial BI harus mengkalkulasi tipologi kebijakan fiskal agar efektif sampai pada sasaran yang dituju. Jika demikian halnya, independensi BI secara institusi perlahan bisa tergerus.
Kemungkinan serupa bakal terjadi di ranah finansial. Penguatan kewenangan agen pertumbuhan kepada BI di level makroprudensial bisa jadi tumpang-tindih dengan kebijakan di tingkat mikroprudensial racikan OJK. Keduanya memang bermain dengan "bola" yang berbeda, tapi tetap berada di "lapangan" yang sama.
Karena itu, penguatan mandat BI untuk berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi menuntut perbaikan ekosistem kelembagaan dan regulasi. Kegagalan mewujudkan ekosistem kelembagaan yang kuat berakibat stabilitas sistem finansial tidak tercapai, sementara pertumbuhan ekonomi tidak beranjak signifikan.