Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Perkara Ekspor Benih Lobster

Kerja sama antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI belum lama ini berhasil mengungkap penyelundupan benih lobster ke luar negeri, yang angkanya mencapai Rp 900 miliar per tahun.

19 Desember 2019 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kerja sama antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI belum lama ini berhasil mengungkap penyelundupan benih lobster ke luar negeri, yang angkanya mencapai Rp 900 miliar per tahun. Bahkan angka riilnya bisa saja jauh lebih daripada itu. Dana tersebut digunakan untuk mendanai pembelian benih lobster di dalam negeri oleh pengepul dari tangan nelayan lokal. Menurut PPATK, penyelundupan benih lobster ke luar negeri melibatkan sindikat internasional. Dananya bersumber dari bandar di luar negeri yang kemudian dialirkan ke berbagai pengepul di Indonesia. Dana tersebut dialirkan via usaha valuta asing atau jasa penukaran uang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam perspektif pajak, penyelundupan benih lobster ke luar negeri tentu saja akan merugikan keuangan negara karena akan mengurangi penerimaan negara. Pertimbangan tersebut agaknya dijadikan justifikasi utama oleh Menteri Kelautan Edhy Prabowo untuk mempertimbangkan revisi atau mungkin pencabutan aturan lama tentang pelarangan ekspor benih lobster. Aturan tersebut ditetapkan pada 23 Desember 2016 dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/Permen-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia yang diteken Menteri Kelautan saat itu, Susi Pudjiastuti.

Bahkan, ketika itu, dikabarkan aturan tersebut dicap sebagai "permen pahit" oleh ribuan nelayan di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, karena Susi dianggap hanya bisa melarang tapi tak memberikan solusi untuk mengantisipasi terhentinya aktivitas ekonomi nelayan benih lobster. Alasan yang dikedepankan kala itu lebih dominan pada sisi lingkungan (keberlanjutan benih lobster), sehingga sisi ekonominya tampak terpinggirkan. Walhasil, selama Susi menjabat, belum terlihat ada kebijakan Kementerian Kelautan yang menjadi rencana strategis lanjutan dari peraturan itu. Misalnya, peta jalan pembudidayaan lobster untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah komoditas tersebut.

Jika bersandar pada justifikasi peningkatan ketahanan ekonomi dengan perbaikan daya saing dan nilai tambah komoditas lobster, langkah Susi melarang ekspor benih sudah ada di jalur yang benar. Kalaupun ada kelemahan, itu terletak pada absennya upaya strategis Susi dalam melanjutkan kebijakan tersebut ke level yang lebih strategis, yakni menghadirkan kebijakan budi daya lobster dari hulu sampai ke hilir agar menghasilkan komoditas lobster ekspor berdaya saing dan bernilai tambah mumpuni.

Tapi, jika Menteri Edhy mencabut larangan ekspor benih lobster, ia tidak memberikan solusi, tapi sekadar mengembalikan keadaan ke waktu sebelum adanya peraturan tersebut. Padahal, yang menjadi persoalan, di satu sisi kita memiliki anugerah keberlimpahan benih lobster, tapi di sisi lain kita juga belum memiliki teknologi dan sistem budi daya yang baik untuk mengembangkannya.

Jika Edhy membatalkan peraturan tersebut, visinya mengenai komoditas lobster jauh lebih buruk ketimbang Susi. Dalam jangka panjang, pencabutan larangan ekspor benih lobster itu bisa "membunuh" komoditas lobster nasional. Jika suatu saat nanti kebutuhan nasional akan lobster dewasa meningkat tajam tapi kapasitas produksi domestik tak sanggup memenuhinya, mengimpor lobster dewasa akan menjadi keputusan yang merugikan karena disparitas harga yang tajam antara benih lobster dan lobster dewasa. Pada titik inilah kita akan kalah telak alias "terjajah".

Pembanding yang mudah dipahami adalah komoditas tambang. Sekitar dua tahun lalu, di Cina, harga ore bauksit (mentah) kualitas tinggi hanya sekitar US$ 50 per ton. Jika diolah, ia akan menghasilkan 650 kilogram alumina dengan harga sekitar US$ 208 atau 5,2 kali lebih tinggi dibanding bauksit. Apabila alumina diolah kembali, ia akan menghasilkan 325 kilogram aluminium dengan harga sekitar US$ 546 atau lebih tinggi 2,6 kali dari harga alumina atau 13,6 kali dari harga bauksit.

Jika ore bauksit diekspor ke negara yang punya smelter, Cina mendapat US$ 50 per ton plus lapangan kerja untuk penambangan. Tapi negara tujuan ekspor tersebut mendapat US$ 546 per ton plus lapangan kerja pengolahan dengan level keterampilan menengah ke atas. Dengan alasan ini, Mahkamah Konstitusi akhirnya melarang ekspor sumber daya alam mentah, seperti ore bauksit, bijih nikel, dan kondensat, serta mewajibkan penambang membangun smelter.

Bagaimana dengan benih lobster? Benih lobster dijual oleh nelayan hanya sekitar Rp 30-50 ribu per kilogram. Benih tersebut diekspor ke Vietnam dan dibudidayakan di sana. Setelah layak panen, lobster dijual dengan harga sekitar Rp 1,4 juta per kilogram. Bahkan, dari cuitan Susi, harga satu lobster mutiara dewasa seberat 800 gram bisa mencapai Rp 4 juta. Bisa dibayangkan berapa peluang keuntungan yang diambil dari Indonesia oleh negara importir benih lobster hanya karena mereka mampu membudidayakannya.

Saya kira, dalam kacamata ketahanan ekonomi, tugas strategis Menteri Kelautan adalah membangun nilai tambah dan daya saing produk perikanan domestik, termasuk lobster. Itulah yang diharapkan dari menteri yang baru. Jika hanya mencabut aturan atau revisi, itu bukan pekerjaan visioner dan strategis. Sebab, siapa pun menterinya, pasti bisa melakukannya.

Jika menteri yang baru dapat menawarkan peta jalan budi daya lobster agar menjadi komoditas perikanan ekspor berdaya saing, bernilai tambah, berprospek melebarkan lapangan kerja di sektor yang sama, lalu berjuang mewujudkan dengan keberpihakan fiskal yang jelas dan program-program pembudidayaan yang terukur, itu baru bisa disebut sebagai "kebijakan pembeda" dan layak disebut pekerjaan besar.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus