Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa pemuda- bercengkerama menikmati malam. Me-reka merubung satu-satunya warung lesehan di Jalan Untung Surapati, depan Hotel Bojonegoro, Jawa Timur. Kopi tubruk panas mengepul di sela keriuhan obrolan. Gayeng.
”Persik 2006” begitu tulisan yang tertera pada punggung kaus mereka. Merekalah pemain yang baru saja mengantarkan Persik Kediri menjuarai Liga Indonesia. Pada partai final, 30 Juli lalu, anak-anak kota tahu ini menekuk klub favorit, PSIS Semarang, dengan skor 1-0. Nama arek-arek pemain Persik pun langsung berkibar, antara lain Aris Indarto (bek), Sulis Budi Prasetyo (pemain sayap), dan Wahyudi (kiper utama).
Ahad pekan lalu itu tim Persik bertandang ke Bojonegoro. Kali ini mereka- menantang tuan rumah Per-sibo pada lanjutan Piala Indonesia atau Copa Dji Sam Soe. Persik kembali beraksi.
Pagi hari mereka sudah menjajal Stadion Letjen Haji Sudirman. Pemanasan, peregangan, pengenalan lapangan sudah kelar. Ngaso sepanjang siang pun sudah. Malam hari, bolehlah sejenak mengendurkan urat, menghirup angin malam.
Azan isya sudah lama berlalu. Puas bercengkerama, Aris, Sulis, dan Wahyudi menyeberangi jalan. Kembali ke Hotel Bojonegoro, tempat mereka menginap. Daniel Roekito, sang pelatih, sudah mewanti-wanti agar mereka tak begadang.
Tepat di gerbang hotel, langkah mereka terhenti. Puluhan remaja yang baru saja bubar dari pengajian di masjid sebelah hotel datang mengerubuti mereka. Takjub juga, di remang malam, di kota kecil, Aris dan kawan-kawan punya banyak penggemar. Apa boleh buat, demi penggemar, istirahat terpaksa ditunda- sejenak. Berfoto bersama dan menorehkan tanda ta-ngan di sana-sini: menu yang tak bisa dilewatkan.
Lima belas menit berlalu. Hotel kembali sepi. Aris Indarto masih berdiri di halaman hotel, berbincang dengan seorang ofisial. Tiba-tiba, sreeet, tiga sepeda motor berhenti di depan me-reka. Tamu mendadak ini rupanya adalah tiga remaja dari salah satu klub junior lokal. Segera para remaja menyorongkan spidol dan baju yang menempel di badan. ”Tanda tangan, Cak Aris,” mereka meminta.
Aris tentu sumringah. Terkenal dia, punya penggemar di sana-sini. Bagaimana rasanya? ”Ah, biasa saja. Paling cuma dimintai foto bareng dan tanda tangan,” kata Aris, yang juga pernah mengecap juara bersama Persija Jakarta di musim 2001. Predikat juara, menurut pemain 28 tahun ini, justru membuat tim lawan makin bernafsu mengalahkan mereka.
Perkiraan Aris menjadi kenyataan. Keesokan hari-nya, dalam pertandingan melawan Persibo, Persik takluk 1-2. Meskipun begitu, Persik tetap lolos ke babak delapan besar. Saat bermain di kandang beberapa pekan lalu, Aris cs sempat menghantam Persibo d-engan skor 4-2.
Pertandingan usai. Di ruang ganti, pelatih Daniel Roekito tampak tenang menerima kekalahan. Evaluasi pertandingan digelar sejenak. ”Kalian harus tampil lebih baik,” katanya kepada para pemain.
Benar, ketenangan Daniel turut membantu Persik menjadi juara di musim ini. Biasanya, dia menegur pemain yang tampil buruk secara pribadi tanpa kesan emosional. ”Saya memang ingin menjaga kekompakan dan kebersamaan tim, karena inilah modal kami,” kata bekas pelatih PSS Sleman itu. Sikap yang membuat se-mua pemain menghormati-nya.
Kekalahan dari Persibo- tak merusak keceriaan pemain Persik. Dalam perja-lanan kembali ke hotel m-ereka saling melempar canda. Kondisi lapangan yang bergelombang di sana-sini menjadi bahasan. ”Aku sengaja bawa sepatu yang paling jelek. Sayang pa-kai sepatu bagus di lapangan kayak begitu,” kata Budi Sudarsono, yang baru turun di menit ke-20.
Setiba di hotel, para pemain lagi-lagi disambut puluhan pendukung yang minta tanda tangan. Daniel Roekito tak luput dimintai tanda ta-ngan dan foto bersama. Meski lelah dan baru saja kalah, para pemain tetap melayani permintaan itu.
Hari itu juga, tim Persik kembali ke Kediri. Manajer tim Iwan Budianto kali ini mengatur rombongan. Kursi di deretan belakang bus sudah dipenuhi kardus berisi oleh-oleh, termasuk ledre, makanan ringan khas Bojonegoro.
Bus segera melaju. Macam-macam kelakuan para pemain. Ada yang tak tahan dingin dan sibuk menutupi lubang penyejuk udara de-ngan plester. Yang lainnya sibuk memprovokasi Pak To, sopir, untuk mengebut. Ada juga yang memilih duduk menyendiri. Budi Sudarsono sibuk menelepon dan me-ngirim SMS kepada istrinya. Aris Indarto bersenandung lagu cinta.
Tiga jam menempuh perjalanan, bus tiba di Kediri dan langsung berhenti di depan mess pemain, dekat Stadion Brawijaya. Para pemain kembali ke rumah mereka. Malam itu cuma satu pemain yang tidur di mess, yaitu Adi Gesang Saputra, 21 tahun, yang asli Semarang.
Mess pemain Persik ada di belakang kantor Dinas Pendapatan Daerah Kediri. Aslinya, mess ini adalah dua aula yang digabung. Sekat-sekat kayu setinggi dua meter membagi ruangan menjadi 16 kamar bercat putih buram. Tiap kamar luasnya cuma 2,5 x 2,5 meter. Katil di kamar cuma dialasi kasur busa tipis.
Kamar sempit itu makin terasa sesak karena dipenuhi perangkat elektronik seperti televisi, tape, pemutar DVD, PlayStation, kulkas, dan dispenser. Belum lagi lemari baju yang memakan tempat. Kamar mandi ada di belakang bangunan aula.
Persik memang belum sanggup menyediakan mess yang lebih baik. Maklum, tahun ini Pemerintah Kota Kediri cuma menyuntik dana kurang dari Rp 5 miliar. Bandingkan dengan Persija Jakarta yang mendapat dana Rp 25 miliar dari Pemerintah Provinsi Jakarta. Beruntung Persik mendapat suntikan dana tambahan dari Gudang Garam.
Hari libur di asrama me-rupakan saat yang membosankan bagi Adi Gesang. ”Mau pulang ke Semarang, waktunya nanggung,” kata kiper ketiga Persik itu. Di kamar, ia menghabiskan waktu dengan bermain PlayStation dan menonton film. Untung saja, malam harinya Adi tak lagi kesepian. Satu demi satu peng-huni mess berdatangan kare-na paginya mereka sudah ha-rus berlatih kembali.
Jadwal pertandingan Copa Dji Sam Soe memang cukup padat. Usai final Liga Indonesia, 30 Juli lalu, para pemain Persik masih ha-rus mengikuti arak-arak-an merayakan kemenang-an. Sejumlah pemain kunci pun jadi kelelahan. Akibatnya, pada latihan Rabu pagi itu, Budi Sudarsono, empat pemain asing (Danilo Fernando, Ebi Sukore, Marcelo Ramos, dan Christian Gonzales) tak ikut serta.
Kendati tanpa kehadiran para bintang, latihan tim berjulukan Macan Putih itu tetap menjadi tontonan meng-asyikkan. Warga sekitar stadion ikut hadir memberi semangat. Puluhan siswa SMU, yang sedang berlatih baris-berbaris menjelang peringatan 17 Agustus, juga ikut menonton latihan.
Tak ada menu latihan khusus pagi itu. Pemain dibagi menjadi dua tim dan bermain setengah lapangan. Mereka serius menyepak bola. Tendangan-tendangan keras membuat dua kiper, Wahyudi dan Adi Gesang, pontang-panting.
Latihan kali ini merupa-kan persiapan menjamu PSMS Medan di perdelapan final Copa. Tahun lalu, Persik kandas di perempat final Copa di tangan tim yang sama.
Setelah dua jam, latihan usai. Para pemain kembali ke mess yang jaraknya 100 meter dari stadion. Di sebuah aula dekat mess, mereka makan bersama. Siang harinya, hampir semua pemain mengunci diri di kamar masing-masing. Ada yang beristirahat, sebagian lagi sibuk membaca koran, kalau-kalau ada ulasan tentang tim mereka.
Lepas senja, waktu beranjak pelan. Hawa dingin mulai menyergap kota Kediri. Berdiam di kamar tanpa kegiatan membuat waktu seolah berhenti. Sebagian pemain yang tak betah di asrama keluar menembus malam mencari sedikit hiburan. Sebagian lainnya terlelap, menyusun mimpi menuju yang terbaik.
Adek Media Roza (Bojonegoro/Kediri)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo