Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemilu

Tembus 200, Permohonan Sengketa Pilkada 2024 di Mahkamah Konstitusi

Gugatan sengketa Pilkada 2024 paling banyak terdaftar untuk pemilihan bupati, yaitu sebanyak 170 permohonan.

10 Desember 2024 | 16.57 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, JakartaMahkamah Konstitusi atau MK membuka kesempatan bagi pasangan calon untuk mengajukan permohonan gugatan sengketa pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan situs mkri.id yang diakses pada Selasa, 10 Desember 2024 pukul 14.55 WIB, tercatat sudah ada 211 permohonan gugatan sengketa, baik dari pemilihan gubernur, bupati, maupun wali kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gugatan sengketa Pilkada 2024 paling banyak terdaftar untuk pemilihan bupati, yaitu sebanyak 170 permohonan. Sementara permohonan gugatan sengketa untuk pemilihan wali kota tercatat ada 39 dan dua permohonan lainnya berasal dari pemilihan gubernur.

Dua permohonan gugatan sengketa pemilihan gubernur atau pilgub yang sudah masuk ke sistem pelaporan MK berasal dari Provinsi Papua Selatan.

Permohonan gugatan sengketa Pilgub Papua Selatan pertama kali didaftarkan oleh pemohon bernama M. Andrean Saefudin secara daring pada Senin, 9 Desember 2024.

Gugatan kedua menyusul sehari setelahnya yang diajukan oleh Ir Saparuddin. Kedua pemohon menggugat Komisi Pemilihan Umum atau KPU Papua Selatan atas perselisihan hasil Pilkada.

Juru Bicara Hakim MK Enny Nurbaningsih mengatakan, instansinya bakal menggelar sidang sengketa perselisihan hasil Pilkada serentak pada awal Januari 2025. Namun, MK belum memastikan tanggal persis pelaksanaan sidang sengketa pilkada tersebut.

"(Sidang) dimulai awal Januari," kata Enny saat dihubungi, Selasa, 10 Desember 2024. 

Enny mengatakan, seluruh permohonan yang teregister akan dibawa ke dalam Rapat Permusyawaratan Hakim atau RPH. Forum itu untuk menentukan hakim panel di setiap perkara yang diproses.

MK, lanjut Enny, mempertimbangkan sejumlah hal untuk memastikan pembagian hakim panel di setiap perkara tidak menimbulkan konflik kepentingan, di antaranya ialah independensi dan imparsialitas sesuai kode etik hakim mahkamah.

"Misalnya daerah, seperti saya tidak mengadili perkara yang diajukan dari wilayah Jogja," kata lulusan S3 Ilmu Hukum Program Pascasarjana UGM ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus