Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bawaslu Catat 3 Daerah Ini Paling Banyak Kasus ASN Tak Netral

Bawaslu mencatat ada 500 kasus pelanggaran netralitas ASN pada penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018.

26 Juni 2018 | 08.14 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat ada 500 kasus pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah atau Pilkada Serentak 2018. Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo menjelaskan, ada tiga daerah dengan kasus ASN tidak netral terbanyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketiga daerah tersebut adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Utara. "Untuk Sultra, 251 yang sudah dipanggil untuk mengklarifikasi, sementara 106 sudah ditindaklanjuti di Komite ASN," ujar Ratna Dewi kepada Tempo pada Senin malam, 25 Juni 2018.

Baca: Strategi KPPOD Jaga Netralitas ASN dalam Pilkada 2018

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara itu, Ratna menambahkan, di Sulawesi Selatan terdapat 32 kasus dan di Sumatera Utara terdapat 31 kasus. "Itu data daerah yang tertinggi penanganannya," ujar Ratna. Sisanya, tersebar di 171 daerah yang akan menggelar pilkada serentak besok.

Data tersebut, ujar Ratna, memang berbeda dengan yang dimiliki Komite ASN ataupun Kementerian Dalam Negeri. Baru-baru ini Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri mengumumkan ada 1.000 ASN yang diduga tidak netral dalam Pilkada 2018. "Memang ada beberapa perbedaan data, karena ada beberapa yang langsung ke ASN. Jadi yang diinput adalah yang masuk ke Bawaslu saja," ujar Ratna.

Ratna menjelaskan, jenis-jenis pelanggaran ASN tidak netral yang seringkali ditemukan adalah terlibat dalam deklarasi pasangan calon kepala daerah, hadir dalam kampanye memakai atribut serta memfasilitasi kampanye paslon.

Baca: Periksa ASN Tanpa Seizin Plt Bupati, 3 Pejabat Lumajang Dicopot

Belakangan, kata Ratna, tren pelanggaran pilkada yang meningkat bukan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), melainkan kasus keterlibatan kepala desa dan pejabat dengan kegiatan yang menguntungkan kepentingan politik tertentu. "Mungkin ini karena peserta inkumben yang tinggi. Sekitar 300-an inkumben yang maju dalam pilkada kali ini," ujar Ratna.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus