Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Berjuang di Negeri Orang

3 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KULIAH di luar negeri semakin terasa berat. Bila tak kuat menyiasati biaya kebutuhan belajar, bisa-bisa harapan menggondol gelar di perguruan tinggi asing tinggal impian. Betapa tak berat bila nilai mata uang dolar terhadap rupiah terus menggila, sehingga anggaran di kocek semakin tak berarti. Misalnya saja, di University of Western, Sydney, Australia. Biaya kuliah setahun sekitar A$ 15 ribu. Sebelum krisis moneter melanda Indonesia, biaya tersebut bernilai Rp 22,5 juta. Namun, sekarang melambung empat kali lipat, hampir Rp 90 juta. Di Amerika Serikat lebih berat lagi. Sebutlah uang sekolah selama satu triwulan di Ohio State University adalah US$ 4.000. Bila dihitung dengan anggaran rupiah, dengan kurs Rp 10 ribu sedolar, berarti harus disediakan dana Rp 40 juta--atau setahun Rp 160 juta. Tak aneh bila sebagian besar mahasiswa Indonesia di luar negeri kini mesti pandai-pandai mengatur pengeluaran uangnya. Kalau tidak, terpaksa mudik tanpa gelar bergengsi internasional. Karena biaya kuliah tak mungkin turun, yang bisa disiasati, ya, ongkos pengeluaran untuk makan dan belanja buku. Yang dilakoni Ivonne, mahasiswi semester satu jurusan matematika di National University of Singapore, contohnya. Dia sudah tak bisa lagi makan berlauk sehari tiga kali seperti di Indonesia. Sudah tiga bulan ini Ivonne hanya mengonsumsi roti tawar untuk makan siangnya. Untuk kebutuhan buku, Ivonne dan sesama mahasiswa Indonesia di sana juga membeli buku bekas di toko. Memang, di kampus, buku baru berharga sepertiga dari harga toko. Tapi, "Kami tetap tak mampu membeli buku baru," kata remaja berusia 17 tahun itu. Ivonne dan teman-teman bukannya tak berusaha mencari pekerjaan sambilan. Mereka selalu mengupayakannya. Toh, di negeri kota Singa itu, yang juga tak luput dari krisis ekonomi, banyak perusahaan gulung tikar. Kalaupun ada lowongan pekerjaan, prioritas diberikan kepada warga Singapura. "Lupakan saja soal pekerjaan," tuturnya. Kesulitan serupa juga dialami Rifary Arief, mahasiswa jurusan elektro di University of Western Australia, Sydney. Keadaan ekonomi di Negeri Kanguru itu tak seburuk Singapura, memang. Dus, ada saja perusahaan yang mencari tenaga kerja. Toh, Rifary dan rekan-rekannya terkena kendala. Soalnya, lowongan kerja tak berlaku buat mahasiswa asing yang mengantongi visa belajar. Kalau ketentuan itu dilanggar, sanksinya tak ringan. Pihak imigrasi Australia bakal mendeportasi sang mahasiswa ke negeri asal. Begitupun bukan berarti tak ada mahasiswa Indonesia yang menyiasatinya. Mereka menempuh risiko paling pahit dengan menjadi pekerja "gelap". Ada yang menjadi tukang cuci di restoran dan toko, ada pula yang bekerja sebagai petugas kebersihan di hotel. "Pokoknya, kerja kasar," cerita Rifary. Masih ada lagi upaya yang diperjuangkan Rifary dan teman-temannya. Karena pendapatan dari pekerjaan sambilan tadi hanya A$100 sepekan, sementara kebutuhan sebulan bisa A$ 1.200, mereka pun harus memangkas biaya kamar. Kini, mereka mesti mau berbagi kamar tidur dengan teman. Ternyata, kisah mencari pekerjaan sambilan dan menyewa kamar ramai-ramai juga terjadi pada mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat. Setidaknya, Michelle Subiyanti, mahasiswi semester akhir jurusan industrial and systems engineering di Ohio State University, Ohio, dan rekan-rekannya menjalani hal senada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus