Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Selisik Biodata Sebelum Wawancara

BKN melibatkan BIN dan BNPT untuk menelusuri rekam jejak pribadi setiap pegawai KPK.

28 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • BKN melibatkan BIN dan BNPT untuk menelusuri rekam jejak pribadi setiap pegawai KPK.

  • Hasil penelusuran rekam jejak pribadi atau profil oleh BIN dan BNPT menjadi bahan pertanyaan kepada pegawai KPK dalam wawancara.

  • Tim asesor sempat menanyakan kebenaran adanya kelompok Taliban di lingkup internal KPK.

JAKARTA – Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengakui bahwa pihaknya lebih dulu menelusuri profil setiap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi saat melakukan tes wawasan kebangsaan. Penelusuran biodata atau rekam jejak pribadi setiap pegawai KPK itu dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) atas permintaan BKN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kami punya screenshot dari profiling masing-masing. Juga ada rekaman audio dan video wawancara lengkap dari masing-masing peserta tes wawasan kebangsaan KPK," kata Kepala BKN, Bima Haria Wibisana, kepada Tempo, kemarin. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menjelaskan, tes wawasan kebangsaan ini memakai metode tes tertulis dan wawancara. Tes tertulis itu menggunakan multimetode dan multiasesor untuk menjamin validitas hasil ujian. Bima mengklaim bahwa lembaganya menggunakan elemen serupa yang dipakai oleh Tentara Nasional Indonesia saat merekrut anggota baru. 

Lalu BKN menelusuri rekam jejak pribadi atau profil pegawai KPK dengan meminta bantuan BNPT dan BIN. Hasil penelusuran rekam jejak pribadi dan 68 elemen dari TNI itu menjadi bahan pertanyaan kepada pegawai KPK saat wawancara. 

Dalam wawancara, kata Bima, tim asesor menggali pengalaman dan ideologi setiap pegawai KPK. Dengan demikian, pertanyaan asesor bersifat menggali proyeksi kecenderungan setiap pegawai. "Apakah mereka moderat atau sangat liberal atau sangat radikal, itu yang digali," ujarnya. 

Ia mencontohkan bentuk pertanyaan tim asesor kepada pegawai KPK saat wawancara. Bentuk pertanyaan itu seperti, apakah Anda memberi salam pada perayaan agama lain?, apakah Anda melakukan qunut saat salat?, serta apakah Anda sudah menikah?. Bima mengatakan pertanyaan itu akan diikuti pertanyaan lanjutan ketika pegawai sudah memberi jawaban. Model pertanyaan ikutan, misalnya, akan menanyakan alasan mereka memberi salam atau tidak memberi salam pada perayaan agama lain. 

“Jadi, tidak bisa melihat pertanyaan itu apa adanya, tapi apa yang dituju asesor itu, ingin menggali seperti apa,” kata Bima.

Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana (kiri) dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di gedung KPK, Jakarta, 4 September 2018. TEMPO/Muhammad Hidayat

Sesuai dengan hasil tes wawasan kebangsaan terhadap 1.351 pegawai KPK, sebanyak 75 orang dinyatakan tidak memenuhi syarat. Pegawai KPK yang lolos tes ini akan dilantik menjadi aparat sipil negara pada 1 Juni mendatang. Lalu, dari 75 pegawai yang tak lulus itu, sebanyak 51 orang di antaranya dinyatakan tidak bisa dibina karena memiliki keyakinan yang bertolak belakang dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta pemerintahan yang sah (PUNP). 

Tes wawasan kebangsaan ini merupakan imbas dari revisi kedua Undang-Undang KPK pada 2019. Revisi undang-undang ini mewajibkan pegawai beralih status menjadi ASN. Lalu pemimpin KPK menindaklanjuti UU itu dengan menerbitkan peraturan kPK tentang alih status pegawai KPK menjadi aparat sipil negara. Peraturan ini mengharuskan adanya tes wawasan kebangsaan. 

Berbagai pihak menuding tes wawasan kebangsaan ini hanyalah kedok pimpinan KPK untuk menyingkirkan pegawai lembaganya yang berintegritas tinggi dalam pemberantasan korupsi. Para pegawai itu seperti Novel Baswedan, Ambarita Damanik, Yudi Purnomo Harahap, Harun Al Rasyid, Rieswin Rachwel, Rizka Anungnata, Budi Agung Nugroho, Andre Nainggolan, Budi Sukmo, Aulia Posteria, M. Praswad Nugraha, Afief Julian Miftah, Iguh Sipurba, Marc Falentino, Giri Suprapdiono, Sujarnako, dan Hery Muryanto. 

Seorang pegawai KPK yang lulus asesmen tes wawasan kebangsaan mengungkapkan kejanggalan-kejanggalan yang dialaminya saat proses wawancara. Ia mengatakan datang terlambat karena sibuk dengan urusan rumah tangganya. Tapi ia hanya diwawancara dengan pertanyaan ringan sekitar 20 menit. Setelah itu, tim asesor memberi ucapan selamat bergabung menjadi ASN. 

“Selamat bergabung sebagai ASN, entah sebagai PNS atau P3K,” kata pegawai itu, yang menirukan ucapan tim penguji. 

Pegawai itu memulai sesi wawancara pada pukul 15.10 WIB. Lalu seorang asesor yang menunggunya di ruangan mengatakan bahwa dirinya akan berbincang ringan saja karena integritas pegawai KPK tak perlu diragukan lagi. 

Pertanyaan tim asesor itu dimulai dengan latar belakang pegawai bersangkutan, lalu menanyakan pendapatnya ihwal revisi Undang-Undang KPK dan keharusan beralih status menjadi ASN. 

“Pihak asesor juga meminta konfirmasi soal kebenaran adanya pegawai KPK yang disinyalir tergabung dalam komunitas Taliban,” ujarnya. 

Pegawai lain yang lulus asesmen merasa bahwa tim asesor telah melakukan profiling terhadap dirinya. Sebab, kata dia, selama wawancara, asesor menanyakan mengenai urusan keluarganya. Padahal informasi itu tidak dia cantumkan dalam tes tertulis yang dilaksanakan sebelum wawancara. “Saya menduga sudah dilakukan profiling terkait dengan keluarga. Ada beberapa yang dikonfirmasi,” ujarnya. 

Seorang pegawai KPK lainnya yang tak lulus asesmen bercerita, ada orang yang mengaku dari Kementerian Dalam Negeri mendatangi rumahnya yang beralamat sesuai dengan KTP. Mereka datang membawa ketua rukun tetangga dan petugas keamanan. “Mereka bertanya ke ibu saya soal saya,” katanya.

Penyidik Senior KPK Novel Baswedan di Kantor Komnas HAM, Jakarta, 24 Mei 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat

Penyidik senior KPK, Novel Baswedan, mengatakan akan menolak seluruh hasil tes wawasan kebangsaan meski dirinya masuk daftar 24 pegawai yang dianggap masih bisa dibina. Novel menilai kedua klasifikasi yang dibuat pemimpin KPK bersama BKN itu sama-sama bentuk penghinaan. Sebab, proses tes wawasan kebangsaan tidak memiliki standar yang jelas dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada pegawai tidak relevan. 

“Apabila orang distigma seolah-olah tidak Pancasilais dan segala macam itu, kan menghina,” kata Novel. 

Kepala BNPT, Boy Rafli Amar, mengakui lembaganya diminta BKN membantu menelusuri rekam jejak pribadi pegawai KPK. Ia mengatakan pelibatan BNPT disebabkan oleh jumlah pegawai KPK yang mengikuti alih status mencapai lebih dari seribu orang. 

Jenderal polisi bintang tiga ini mengatakan BNPT telah menugaskan salah satu unit kerja di institusinya untuk melakukan profiling tersebut. "Personel kami yang bergabung di bawah koordinasi BKN sebagai asesor," kata Boy. 

ROSSENO AJI NUGROHO | MAYA AYU PUSPITASARI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus