Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

HRWG dan LBH Pers Minta Pemerintah Tolak Usul Razia Buku Kiri

Razia buku kiri yang diusulkan Jaksa Agung dinilai melanggar hak-hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi.

25 Januari 2019 | 01.08 WIB

Komando Distrik Militer 0809 Kediri mengamankan ratusan buku tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) di sejumlah toko buku di Kediri pada Rabu, 26 Desember 2018. Sumber: Istimewa
Perbesar
Komando Distrik Militer 0809 Kediri mengamankan ratusan buku tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) di sejumlah toko buku di Kediri pada Rabu, 26 Desember 2018. Sumber: Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Human Rights Working Group (HRWG) dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) meminta pemerintah membatalkan rencananya untuk razia buku kiri besar-besaran. Mereka menilai rencana tersebut melanggar hak-hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"HRWG dan LBH Pers menyesalkan tindakan tersebut sebagai sesuatu hal yang inkonstitusional," ujar Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Hafiz dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Kamis, 24 Januari 2019. ia mengusulkan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengkaji ulang usulannya soal razia buku kiri tersebut.

Sebelumnya, Prasetyo memang mengusulkan adanya razia buku yang mengandung ajaran komunisme dan ideologi terlarang lainnya secara besar-besaran. Usulan itu dilontarkan setelah beberapa waktu belakangan terjadi penyitaan beberapa buku di sejumlah tempat. "Saya usulkan kalau mungkin ya lakukan razia besar besaran saja," ujar Prasetyo saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta Selatan, Rabu 23 Desember 2019.

Usulan tersebut kata Prasetyo karena diduga buku yang mengandung paham terlarang juga ditemukan di toko toko buku atau daerah lainnya. "Karena pemilik toko menyatakan buku ini bukan hanya di sini saja, tapi juga ada di tempat lain, ini perlu dicermati."

Hafiz menilai tindakan perampasan, penyitaan, serta pemberangusan buku-buku tersebut telah mengingkari prinsip-prinsip perlindungan kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Menurut dia, tindakan itu juga tak sejalan dengan prinsip due process of law.

"Dalam due process of law penegakan hukum tidak diperbolehkan atas dasar stigma maupun kebencian sehingga dalam kasus ini yang mana melakukan razia terhadap buku kiri merupakan tindakan yang subjektif," kata Hafiz.

Menurut Hafiz, sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi, penyitaan seyogyanya dilakukan setelah adanya proses pengujian di persidangan. Pendapatnya itu mengacu kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang melakukan uji materill terhadap UU No. 4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan suatu tindakan penyitaan buku-buku tanpa didahului proses pengujian di persidangan merupakan tindakan yang bertentangan dengan due process of law.

"Bagi kami, tidak ada alasan yang jelas untuk melarang buku terkait komunisme," tutur Hafiz. "Selain itu, pelarangan bersifat bias dan tidak ada batasan yang jelas."

Bahkan, kata Hafiz, ukuran dalam razia buku tersebut sangat subjektif dan bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia yang dijamin konstitusi dan undang-undang. Dalam konsep hak asasi manusia, ujar dia, pembatasan memang dimungkinkan, namun hal itu hanya dengan alasan yang kuat untuk ketertiban umum, kesehatan publik, dan keselamatan jiwa.

"Tidak ada alasan yang kuat untuk melarang buku-buku itu, sehingga pelarangan justru tidak konstitusional," ujar dia. Hafiz lantas menyinggung isi Pasal 28F UUD Republik Indonesia tahun 1945 yang di dalamnya memaparkan mengenai hak setiap individu dalam berkomunikasi dan akses dalam mendapatkan informasi serta penyaluran informasi tersebut. Hak kepemilikan barang pribadi juga tercantum dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 tentang perlindungan terhadap hak milik.

Atas dasar itu, Hafiz menegaskan usulan razia buku dan pemberangusan buku-buku tersebut justru menutup akses masyarakat guna mendapatkan informasi yang dibutuhkan terkait dengan apa yang ada dalam buku tersebut. "Cukup masa orde baru Indonesia ditakut-takuti dengan pembredelan buku-buku yang dianggap berbahaya," kata dia.

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus