Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ilmu Tasawuf di Ruang Kuliah

Ada jurusan baru di IAIN Sunan Gunung Djati, yaitu psikoterapi tasawuf. Lulusannya mampu mengobati penyakit kejiwaan dengan cara tasawuf.

18 Juli 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DAN Jalaluddin Rumi pernah berkata: hati adalah cermin. Ia perlu digosok tiada henti hing- ga akhirnya terlihat refleksi cahaya Tuhan. "Penggosokan" itu bisa dilakukan dengan berzikir sehingga akan menambahkan kenikmatan merasakan atau melihat Tuhan. Ini suatu gagasan yang dianut di kalangan sufi beberapa abad silam. Pada abad ke-20, adalah Nursomad Kamba, salah seorang pengajar di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, yang membuat sebuah terobosan: kenikmatan sufistis itu bisa menjadi upaya sebuah penyembuhan. Ia membuat jurusan psikoterapi tasawuf. Karena IAIN tidak memiliki jurusan modern, lahirlah ide untuk memadukan ilmu tasawuf, salah satu jurusan di Fakultas Ushuluddin, dengan psikoterapi. "Tidak ada masalah mental yang bisa dilepaskan dari agama," tutur Nursomad, yang sudah belajar ilmu tasawuf selama 13 tahun dan kini menjabat Ketua Jurusan Psikoterapi Tasawuf. Apa pula jurusan ini? Menurut ahli tasawuf IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Dr. Simuh, psikoterapi yang menggunakan tasawuf adalah upaya penyembuhan dengan melakukan ritual tertentu. Salah satu ritual itu adalah zikir, yang bisa mendekatkan diri dan "berkomunikasi" dengan Tuhan (ma'rifat). Konsentrasi zikir itulah yang kemudian akan menimbulkan semacam kekuatan gaib yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan psikoterapi. Perkawinan antara psikoterapi dan tasawuf sebetulnya sangat wajar karena keduanya memiliki bidang konsentrasi pada penyakit kejiwaan. Penekanan rasionalitas pada psikoterapi sebagai ilmu modern akan diperkaya oleh tasawuf karena masalah kejiwaan terdiri dari unsur yang tidak empiris seperti kecemasan, rasa putus asa, dan ketakutan. Tujuan mendirikan jurusan semacam ini tentu saja untuk melahirkan sarjana-sarjana yang mampu melakukan terapi penyakit kejiwaan dengan menggunakan ilmu tasawuf. "Dengan masyarakat yang semakin modern, penyakit psikosomatik (penyakit yang disebabkan oleh kombinasi faktor organik dan psikologis—Red) semakin banyak berkembang," ujar Dadang Kahmad, Dekan Fakultas Ushuluddin. Itulah sebabnya, penyembuhan yang diperlukan bukan hanya dengan terapi medis seperti yang sudah lama dikenal baik di negara-negara Barat maupun di Indonesia, melainkan juga terapi keagamaan. "Semua penyakit itu kuncinya ada di hati karena hati cenderung jujur," tutur Nursomad. Tentu saja penyembuhan jiwa dengan tasawuf ini bukan sesuatu yang baru. Sebagian kiai di Pesantren Suralaya juga menggunakan cara keagamaan untuk menyembuhkan ketergantungan pada narkotik. Bahkan, beberapa tahun terakhir, penenangan jiwa dengan cara tasawuf sudah menjadi "gaya hidup" masyarakat kota besar. Kelompok-kelompok pengajian yang banyak memberikan isi permenungan, seperti Yayasan Paramadina dan Yayasan Tazkiya Sejati di Jakarta, memiliki beberapa kelas yang mengajar anggotanya untuk mencari ketenangan jiwa dengan jalan tasawuf, seperti zikir dan meditasi. Pendeknya, seperti diutarakan Dr. Simuh, "Guna tasawuf dalam psikoterapi adalah untuk memperoleh kekuatan 'gaib' yang selanjutnya dimanfaatkan untuk terapi." Tetapi, bagaimana psikoterapi tasawuf bisa masuk ke ruang-ruang kuliah? Menarik. Salah satu materi kurikulum ini—dari sekian puluh kurikulumnya selama empat tahun—sangat unik. Sementara berbagai kuliah pengantar dan teologi disampaikan seperti perkuliahan biasa, mata kuliah Psikosufisme mengajarkan mahasiswa untuk bersemedi di ruangan yang gelap dan hening, berkonsentrasi untuk mencoba berhubungan dengan Allah. Peminat jurusan ini ternyata cukup banyak karena sebelumnya IAIN telah menerima mahasiswa PMDK (penelusuran minat dan kemampuan) pada tahun ajaran 1998/1999. Kini jurusan itu juga terbuka lebih luas lagi untuk peserta sipenmaru. Padahal, mahasiswa yang belajar di urusan penyembuhan melalui tasawuf ini butuh waktu empat tahun untuk menjadi sarjana. Judul gelarnya juga gres: ST Si (sarjana tasawuf psikologi), meski jika mereka sungguh orang yang bertasawuf, tentu gelar bukan sesuatu yang penting lagi. Bukankah bagi Rumi dan para sufi lainnya, gelar, benda, dan lain-lainnya itu adalah persoalan duniawi? Bina Bektiati, Rinny Srihartini (Bandung), R. Fadjri (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus