Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Transparency International Indonesia, organisasi nirlaba jaringan global antikorupsi, menerbitkan riset hasil survei ihwal memburuknya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Mereka menemukan setidaknya sepuluh masalah utama dalam pelayanan peradilan di Indonesia. Terutama tentang persepsi mayoritas publik yang menganggap semua lembaga peradilan berpeluang melakukan korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Danang Widoyoko, mengatakan permasalahan tersebut muncul ketika organisasinya menggelar survei bersama Litbang Kompas pada September-Oktober 2022. Mereka mewawancarai 1.200 responden yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. "Terdapat setidaknya sepuluh temuan penting, terutama masalah pada Mahkamah Agung sebagai puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia," ucap Danang di Jakarta, Rabu, 14 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Temuan lainnya, mayoritas responden menilai munculnya biaya peradilan di luar dari ketentuan resmi merupakan pelanggaran. Paling tidak, masalah itu dinyatakan seperempat responden yang menjadi korban praktik korupsi. Rata-rata dari mereka pernah dimintai uang, hadiah, atau gratifikasi dalam bentuk lain untuk memuluskan perkara hukum di lembaga peradilan.
Riset dan penelitian tersebut dimaksudkan untuk mengevaluasi perencanaan jangka panjang badan peradilan Indonesia yang bernama Cetak Biru Pembaruan Peradilan Indonesia 2010-2035. Program ini digagas Mahkamah Agung bersama sejumlah peranti yudikatif penegakan hukum. Tujuannya adalah mempertajam arah dan langkah pembaruan peradilan. Program Cetak Biru Pembaruan Peradilan Indonesia juga melibatkan Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Lembaga-lembaga itu tengah melakukan perombakan dan pembaruan secara simultan dalam berbagai bidang. Dari pembaruan sistem pendidikan dan pelatihan, pengawasan, keterbukaan informasi, manajemen perkara, hingga reformasi birokrasi. Mereka bahkan menggagas peradilan khusus untuk meningkatkan kualitas hakim. Target capaiannya adalah peningkatan pelayanan dan terciptanya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Menurut Danang, target reformasi tersebut tak kunjung tercapai dan justru sistem peradilan di Indonesia kian memburuk. Misalnya, ditemukan survei yang menyebutkan bahwa perempuan rentan berinteraksi dengan aktor korupsi di pengadilan. Perempuan pencari keadilan sering diasumsikan menggunakan koneksi pribadi ketika mengakses layanan publik.
Selain itu, kata Danang, persepsi pengambilan keputusan dalam proses peradilan dinilai menjadi tahapan yang paling rentan terjadi praktik korupsi. Masalah tersebut sering terjadi pada wilayah diskresi putusan hakim, administrasi perkara, penetapan anggota majelis hakim, putusan sidang, hingga eksekusi putusan. Semua tahapan itu dinilai sebagai ranah paling rentan terjadinya perilaku koruptif.
Danang merekomendasikan agar lembaga peradilan, khususnya Mahkamah Agung, memperbaiki kepercayaan publik. Salah satunya dengan meningkatkan integritas personel di semua lembaga penegak hukum. Selain itu, menguatkan peran masyarakat sipil dalam agenda reformasi peradilan.
Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Sugiyanto, mengapresiasi temuan organisasi masyarakat sipil yang berhasil memotret persepsi publik terhadap peradilan di Indonesia. Menurut dia, selama ini penegak hukum dibekali pedoman dan kode etik yang sudah dirangkum dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan Indonesia. "Mahkamah Agung juga telah melakukan penilaian risiko korupsi," ucap dia.
Sugiyanto menyebutkan temuan survei masyarakat sipil dan penilaian oleh Mahkamah Agung selaras. Dia tidak memungkiri perlunya strategi yang lebih masif dalam memberantas tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan. Karena itu, masalah ini bakal ditindaklanjuti secara serius oleh Mahkamah Agung.
Anggota Komisi Yudisial, Sukma Violetta, menceritakan bahwa lembaganya selama ini juga mengawasi perilaku etik hakim yang sedang bertugas mengadili perkara. "Praktik korupsi, seperti suap dan gratifikasi, menjadi konsentrasi bagi kami, terutama berkaitan dengan proses seleksi calon hakim agung," ucap Sukma.
Dia tak memungkiri bahwa ada beberapa persoalan potensi perilaku koruptif yang dilakukan hakim. Karena itu, biasanya Komisi Yudisial menyelidiki perilaku etik hakim. Termasuk dengan cara menguji laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Komisi Yudisial juga menelusuri rekam jejak setiap putusan yang diambil hakim.
Gedung Mahkamah Agung di Jakarta. Dok Tempo/Denny Sugiharto
Pakar hukum tata negara, Susi Dwi Harijanti, mempersoalkan perilaku koruptif yang menjadi biang hambatan pembaruan sistem peradilan di Indonesia. Dia menganjurkan Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan berfokus membenahi integritas, independensi, serta kompetensi para hakim. "Hal ini harus dilakukan oleh Mahkamah Agung," ucap Susi.
Bagi dia, temuan Transparency International Indonesia merupakan bukti persepsi masyarakat terhadap peradilan di Indonesia. Padahal pembaruan peradilan ditujukan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat. Karena itu, perlu dilakukan gerakan reformasi dengan mendorong pemberantasan korupsi.
Peneliti dari Indonesian Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, tak kaget atas persepsi publik terhadap lembaga peradilan di Indonesia yang makin buruk. Bagi dia, praktik koruptif sudah menjadi budaya dalam peradilan di Indonesia. "Bahkan ada ketimpangan dalam akses dan nir-transparansi pengadilan," kata Erwin.
Masalah ini muncul karena adanya persoalan struktural yang belum terpecahkan. Terutama pengawasan birokrasi di pengadilan yang tak beranjak. Bahkan kewenangan Komisi Yudisial juga sangat terbatas. Dia menilai masalah ini hanya dapat diselesaikan dengan merombak arah kebijakan peradilan, terutama dengan meningkatkan pengawasan dari lembaga eksternal.
Lembaga-lembaga lain yang terkait dalam pengawasan juga harus diikutsertakan, misalnya lembaga eksternal seperti organisasi advokat. Erwin juga mendorong agar reformasi peradilan dilakukan dengan cara mengesahkan Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim. Di dalamnya berisi kewajiban agar kekuasaan kehakiman perlu menjaga integritas, transparansi, kemandirian, dan profesionalisme.
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo