Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Membawa Pramuka Kembali ke Rumah

Revitalisasi gerakan pramuka dicanangkan. Semestinya, gerakan ini diperbarui sesuai dengan semangat zaman dengan lebih mengandalkan basis komunitas.

14 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tersebutlah Ratna Agustina, gadis pelajar SMA Negeri 66, Jakarta Selatan, yang bersemangat menjadi pandu yang handal. Sebuah pilihan yang aneh di zaman MTV yang serba gemerlap ini. Saat remaja lain ”menyala” dengan kegiatan band, pemandu sorak, atau basket, Ratna memilih sibuk bergabung dengan unit pramuka.

Jadwal Nona Ratna cukup ketat. Hari-hari ini dia tengah sibuk menyiap-kan program donor darah. Bersama kawan-kawannya dia juga berkejaran me-nyiapkan tim untuk Jamboree On The Air (JOTA) dan Jamboree On The Internet (JOTI), ajang kreasi melalui siaran pemancar radio dan internet. ”Peserta-nya seluruh negara di kawasan Asia,” kata Ratna, Pradana Putri (ketua pa-suk-an) Ambalan Dewa-Pramodhawar-dhani.

Sejak berdiri pada 1985, gerakan pramuka di SMA Negeri 66 terbilang cukup hidup. Aktivitasnya beragam, termasuk lomba dan jambore di sana-sini. Bermacam kegiatan yang menyedot uang hampir Rp 15 juta setiap tahun. Padahal, sekolah hanya menyediakan dana Rp 1 juta per tahun. Lalu, kekurangannya? ”Dari alumni atau sponsor lain,” kata Nurul Aini Fitri Yanti, Pembina Pramuka di SMA Ne-geri 66.

Kesungguhan Ratna dan kawan-kawan berbuah manis. Juli lalu, unit pramuka SMA Negeri 66 meraih penghargaan sebagai Gugus Depan Tergiat I Tingkat Jakarta dari Ketua Majelis Pembina Pramuka Daerah DKI Jakarta, Sutiyoso. ”Apresiasi itu jadi peng-obat kesedihan mengingat sulitnya kita mendapat anggota baru,” kata Ratna.

Harus diakui, pramuka telah lama kehilangan daya tarik. Tahun ajaran ini, misalnya, hanya delapan siswa SMA Negeri 66 yang bergabung. Ban-dingkan dengan masa kejayaan di awal 1990-an. Ketika itu, Unit Pramuka SMA Negeri 66 bisa merekrut 30 anggota baru setiap tahun.

Persoalan serupa dialami Gugus Depan SMP Negeri 14 Bandung, Jawa Barat. Pada 1990-an, ada 30-40 anggota baru yang bergabung saban t-ahun. Kini, anggota pramuka di sekolah ini tinggal belasan saja. Padahal, beberapa anggota pramuka berprestasi sampai ke tingkat internasional lahir di Gugus Depan SMP 14. ”Beberapa kali kami masuk kontingen Jawa Barat untuk ikut World Scout Jambore,” Kata Fajar Kusumajaya, pembina pramuka di sekolah itu. Jambore dunia terakhir digelar di Sattahip, Thailand, 2003.

Berkurangnya minat para siswa terhadap kegiatan pramuka menjadi pusat perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat membuka Jambore- Nasional di Jatinangor, Sumedang, Juli lalu, selaku Ketua Majelis Pem-bim-bing Nasional, Presiden meminta ge-rakan pramuka memperbarui metode ke-giatan dan pelatihan. ”Agar gerakan ini diminati lagi,” kata Presiden Yu-dho-yono. Sebagai catatan, Yudhoyono semasa remaja pernah menjadi anggota pramuka. ”Akan saya canangkan revitalisasi gerakan pramuka pada ulang tahun gerakan ini, 14 Agustus nanti,” katanya.

Agar revitalisasi pramuka berjalan mulus, Presiden Yudhoyono berjanji memperjuangkan payung hukum bagi gerakan ini dalam bentuk undang-undang. Maklum, selama ini, payung hukum gerakan itu cuma berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961 yang dikeluarkan Presiden RI Soekarno.

Ide revitalisasi pramuka juga di-de-ngungkan Menko Kesra Aburizal- -Bakrie ketika menutup acara per-ke-mahan Wirakarya Nasional di Gorontalo, pertengahan tahun lalu. Saat membuka Rakernas Pramuka, Juni 2006, Menteri Pemuda dan Olah Raga A-dhyaksa Dault pun menyatakan dukungan penuh -upaya menggolkan UU Kepramukaan.

Pencanangan program revitalisasi- rencananya bakal dilakukan di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur. Menko Aburizal malah sudah minta Kwarnas mengerahkan 100 ribu anggota pramuka untuk mengha-diri acara pencanangan itu. Dana Rp 2 mi-liar kabarnya sudah dikucurkan ke 20 kwartir cabang di Jakarta, Ban-ten, dan Jawa Barat agar mereka bisa mengerahkan anggota untuk meme-riahkan perkemahan nanti.

Di kalangan internal gerakan pramuka, antusiasme para pejabat itu sempat memunculkan pertanyaan. Kelompok yang bersikap kritis khawatir pramuka bakal jadi tunggangan politik. Kerisauan yang bisa dimaklumi. Biarpun tidak lagi mencorong, pramuka masih memiliki anggota hampir 24 juta orang yang tersebar di semua kabupaten dan kota madya di Indonesia. Apalagi para petinggi yang belakangan riuh men-dukung pramuka memiliki latar belakang partai politik yang cukup kuat.

Ada pula yang menilai dukungan itu sangat melegakan. Maklum, sejak Pre-siden Soeharto lengser, Mei 1998, sokongan dana pramuka dari APBN ikut berhenti. Pada tingkat daerah, banyak gubernur, bupati, dan wali kota tak terlalu gencar membantu kwartir dan kegiatan pramuka.

Resmi berdiri pada 14 Agustus 1961, gerakan pramuka secara nasional meng-alami puncak kejayaan di era Soeharto. Anggotanya meningkat pesat dari 500 ribu pada 1961, menjadi 14 juta jiwa pada 1985. Jumlah anggota kian membesar setelah pramuka ditetapkan se-bagai bagian dari kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Bahkan setelan cokelat pramuka pun ditetapkan sebagai salah satu seragam sekolah.

Namun, seiring dengan itu, banyak gugus depan dengan peserta didik dari pramuka siaga (7-10) sampai pandega (21-25) yang berbasis wilayah atau komunitas, seperti rukun warga, menjadi tidak aktif. Anak-anak dan remaja tersedot menjadi anggota pramuka di sekolah. Kepala sekolah diharuskan mendirikan gugus depan di sekolah. Guru-guru pun diwajibkan menjadi pembina.

Sayang, lantaran dipaksakan, kua-litas menjadi kurang diperhatikan. Kegiatan pramuka jadi monoton dan menjemukan. Napas pramuka yang mengutamakan unsur sukarela dan semangat kekeluargaan makin kendur.

Di sekolah pun kegiatan ini cuma berkembang di tingkat sekolah dasar. Siswa SMP dan SMU, terutama di kota-kota besar, tak lagi melihat pramuka sebagai kegiatan yang menarik. Pramuka secara berangsur-angsur kehilangan pamor.

Memang, masih ada sedikit gugus depan berbasis wilayah yang beruntung masih bisa bertahan. Basis wilayah—bukan sekolah—membuat pramuka menjadi milik bersama sebuah komunitas. Orang tua, pendidik, anak muda, juga pamong setempat ikut merasa memiliki gerakan ini. Ikatan sosial pun terjalin kuat. Amanat memanggil pulang gerakan pramuka untuk kembali menjadi gerakan komunitas, sukarela, dan kekeluargaan ini yang sedang didengungkan.

Gugus Depan Syailendra di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, termasuk contoh unit pramuka yang berbasis komunitas yang cukup sukses. Berdiri pada 1969, gugus depan ini dibentuk dari gerakan kepanduan para siswa, pengajar SMP Negeri 68, dan TNI Angkatan Laut.

Anggota Gugus Depan Syailendra terus bertambah. Sejumlah sekolah di kawasan itu, seperti SD dan SMP Yapenka, SD dan SMP Al-Ikhlas, menyatakan diri bergabung. Empat kepala sekolah, orang tua murid, dan komite sekolah turut serta aktif se-bagai pembina. ”Mereka sendiri dulunya pra-muka dari gugus ini juga. Seperti juga saya yang alumni pramuka SMP ini,” kata Titik Nuryanti, Pembina Satuan Penggalang SMP 68, Cipete.

Di Gugus Depan Syailendra, kegiat-an cukup beragam dan asyik. Men-daki gunung, kegiatan alam bebas, menyelam, hanyalah sebagian contoh- ke-giatan mereka. Syailendra bahkan- pernah menggelar Orkes Simfoni Pramuka pada 1996. Seabrek prestasi pun sudah dihasilkan. Salah satunya, situs mereka memenangkan Jamboree On The Internet (JOTI) Internasional pada 2004. Dua selebriti tercatat pernah menjadi anggota Gudep Syailendra, yakni penyanyi Andien dan presenter Dewi Hughes.

Syailendra juga telah lama memanfaatkan milis sebagai sarana komunikasi. Mereka memiliki wadah Ikatan Kerabat Syailendra (IKS) sebagai komunikasi antarpandu, dari tahap siaga, penegak, hingga pembina. Anggota yang aktif, baik di Jakarta maupun yang sudah berdomisili di daerah lain, tetap saling berkabar.

Tiap setahun atau enam bulan sekali, mereka masih berkumpul. ”Baik untuk memberikan kontribusi dana atau aktif dalam kegiatan,” ujar Arifin Sasongko, Kepala Majelis Bimbingan Gugus -Depan Syailendra.

Gudep ini juga tak pernah kekurang-an anggota. Tiap tahun, rata-rata me-reka melantik 40 orang anggota baru. Tak mengherankan, mereka tidak berniat melakukan kampanye penambahan anggota. ”Ukuran peminat itu bukan pada jumlah, tapi pada roh kepanduan yang mereka miliki,” kata Ari-fin yang juga anggota pertama Gudep Syailendra. Lelaki berusia 50 tahun ini masih bersemangat ikut serta memajukan Gudep Syailendra.

Menjaga spirit Pramuka memang perkara penting di Gudep Syailendra. Para pembina kerap menguji sema-ngat dan keberanian anak didik dengan mengajak kongkow di mal-mal seperti Pondok Indah atau Cilandak Town Square dengan mengenakan seragam. Ternyata banyak anggota yang belum siap. ”Mereka malu. Begitu masuk, langsung ditontonin banyak orang,” kata Arifin.

Sebagai bekas Andalan Kwarnas (Pengurus Kwarnas) 1999, Arifin sepa-kat bahwa perlu ada pembaruan dalam tubuh gerakan pramuka. Bukan sekadar soal metode dan variasi kegiatan, tapi juga format dan sejumlah aturan dalam gerakan itu. Misalnya saja, ada poin kuno—”jadul, jaman dulu,” kata anak muda—dalam syarat kecakapan umum untuk naik tingkat bagi penggalang ramu, yakni harus bisa menggunakan pesawat telepon. ”Zaman telepon serba canggih begini, syarat itu belum juga diubah,” kata Arifin. Alamak!

Widiarsi Agustina, Rana Akbariawan dan Danto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus