Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sekolahnya di Tangerang, Gelarnya Asing

Perguruan tinggi asing mengoperasikan program kuliah di sini. Tetapi, mutu dan kurikulumnya masih dipersoalkan.

3 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dolar membubung, ambisi tidak. Krisis ekonomi ikut mengurangi minat mahasiswa Indonesia kuliah di luar negeri. Bersamaan dengan itu, semakin longgar perguruan tinggi asing beroperasi di sini. Kini lembaga pendidikan bisa menyelenggarakan program yang memintas waktu dan jarak.

School for International Training (SIT) di Jakarta, misalnya, menyatakan menggandeng 22 kampus di Australia dan satu di Amerika Serikat, yakni Western Michigan University. Lembaga tersebut menyelenggarakan program diploma bidang bisnis, dengan titel bachelor of business administration. Mahasiswa cukup belajar di kampus SIT (di Jakarta, Bung, bukan di Melbourne atau Michigan) dengan biaya Rp 28 juta.

Pada tahun kedua, si mahasiwa akan bisa langsung kuliah di kampus-kampus asing rekanan. Di sini dolar tentu saja bicara nyaring kembali. Untuk yang di Amerika, misalnya, biaya pendidikan lanjutan untuk memperoleh gelar asing itu sekitar US$ 5.000.

Jaminan otomatis diakui sebagai mahasiswa asing pun dipromosikan lembaga International Education Program (IEP). Calon mahasiswa IEP bisa memilih aneka program kuliah, mulai dari administrasi bisnis sampai sistem informasi komputer. International Education Program menyatakan diri punya koneksi dengan 176 kampus di AS.

Untuk empat semester awal, mahasiswa cukup kuliah di kampus IEP di gedung Bidakara, Jakarta. Baru pada tahun ke-3 mereka mengikuti kuliah di kampus pilihan IEP. Seperti pada SIT di atas, ini dianggap cara menghemat. Tak seluruhnya harus ditempuh dengan dolar.

Peluang sama sebenarnya sudah diambil oleh Universitas Pelita Harapan. Di kampusnya di Lippo Karawaci, Tangerang, universitas itu sudah menggalang program kuliah begitu sejak 1995. Dengan biaya pendaftaran Rp 18 juta plus SPP sekitar Rp 4 juta, kampus yang dipimpin rektor Johannes Oentoro itu mengantarkan mahasiswanya ke universitas di AS, Australia, dan Selandia Baru.

Jika ini bisa disebut panen di tengah krisis, gerengsengnya mengenai juga lembaga pendidikan yang lebih dikenal sebagai tempat kursus seperti Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta. Sejak tahun lalu, LP3I tak cuma menyelenggarakan les singkat dan pendidikan setara diploma, melainkan juga program sarjana dan master bergelar luar negeri.

Dengan uang sekitar Rp 40 juta setahun, mahasiswa yang mengikuti program kuliah asing di LP3I dijanjikan akan bisa mengantongi gelar MA, MBA, MSc atau Dipl. Ing. Direktur Utama LP3I, Syahrial Yusuf, menyatakan bahwa biaya kuliah bisa dihemat "sampai 60 persen".

Meskipun mungkin kurang dari itu, pasti usaha ini lebih murah ketimbang membayar dengan dolar seluruhnya. Dari segi ini mantan direktur American-Indonesia Exchange Foundation, A. Dahana, menganggap semaraknya program kerja sama kuliah dengan berbagai perguruan tinggi asing itu cukup bermanfaat. Hanya, yang masih jadi masalah adalah kualitasnya. "Kalau soal mutu bisa disepakati dan dijaga, program itu tak jadi masalah," tambah Dahana.

Namun, bagaimana mengukur mutu, diperlukan waktu dan bukti setelah para siswa sampai ke universitas di luar negeri. Tak ada tongkat pengukur di sini. Yang ada hanya soal izin. Bambang Soehendro, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menganggap lembaga pendidikan yang biasa menyelenggarakan kursus tak bisa menawarkan program pendidikan sarjana, bahkan dengan janji gelar luar negeri. Sebab, itu berarti mereka menjadi cabang universitas di luar negeri. "Itu melanggar aturan main," kata Bambang Soehendro.

Pemerintah memang lebih suka bicara soal peraturan?dan bukan soal mutu dan kebutuhan. Tapi pihak pemerintah mengajukan alasan bahwa peraturan itu mengacu kepada standar. Perguruan tinggi swasta di sini pun tak bisa begitu saja menjadi perpanjangan tangan perguruan tinggi asing. Sebab, menurut Bambang Soehendro, standar kurikulumnya tak sesuai dengan yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soalnya apakah standar itu diakui menurut kebutuhan belajar di luar negeri atau sekadar memberi peluang birokrasi untuk menuntut adanya izin dari meja-meja departemen. Belum ada jawab. Sebab, Bambang Soehendro mengakui, instansinya belum bisa menentukan sikap terhadap para penyelenggara gelar asing di Indonesia.

Ma?ruf Samudra dan Ahmad Fuadi

=====

BOKS

Berjuang di Negeri Orang

KULIAH di luar negeri semakin terasa berat. Bila tak kuat menyiasati biaya kebutuhan belajar, bisa-bisa harapan menggondol gelar di perguruan tinggi asing tinggal impian. Betapa tak berat bila nilai mata uang dolar terhadap rupiah terus menggila, sehingga anggaran di kocek semakin tak berarti.

Misalnya saja, di University of Western, Sydney, Australia. Biaya kuliah setahun sekitar A$ 15 ribu. Sebelum krisis moneter melanda Indonesia, biaya tersebut bernilai Rp 22,5 juta. Namun, sekarang melambung empat kali lipat, hampir Rp 90 juta.

Di Amerika Serikat lebih berat lagi. Sebutlah uang sekolah selama satu triwulan di Ohio State University adalah US$ 4.000. Bila dihitung dengan anggaran rupiah, dengan kurs Rp 10 ribu sedolar, berarti harus disediakan dana Rp 40 juta--atau setahun Rp 160 juta.

Tak aneh bila sebagian besar mahasiswa Indonesia di luar negeri kini mesti pandai-pandai mengatur pengeluaran uangnya. Kalau tidak, terpaksa mudik tanpa gelar bergengsi internasional. Karena biaya kuliah tak mungkin turun, yang bisa disiasati, ya, ongkos pengeluaran untuk makan dan belanja buku.

Yang dilakoni Ivonne, mahasiswi semester satu jurusan matematika di National University of Singapore, contohnya. Dia sudah tak bisa lagi makan berlauk sehari tiga kali seperti di Indonesia. Sudah tiga bulan ini Ivonne hanya mengonsumsi roti tawar untuk makan siangnya.

Untuk kebutuhan buku, Ivonne dan sesama mahasiswa Indonesia di sana juga membeli buku bekas di toko. Memang, di kampus, buku baru berharga sepertiga dari harga toko. Tapi, "Kami tetap tak mampu membeli buku baru," kata remaja berusia 17 tahun itu.

Ivonne dan teman-teman bukannya tak berusaha mencari pekerjaan sambilan. Mereka selalu mengupayakannya. Toh, di negeri kota Singa itu, yang juga tak luput dari krisis ekonomi, banyak perusahaan gulung tikar. Kalaupun ada lowongan pekerjaan, prioritas diberikan kepada warga Singapura. "Lupakan saja soal pekerjaan," tuturnya.

Kesulitan serupa juga dialami Rifary Arief, mahasiswa jurusan elektro di University of Western Australia, Sydney. Keadaan ekonomi di Negeri Kanguru itu tak seburuk Singapura, memang. Dus, ada saja perusahaan yang mencari tenaga kerja.

Toh, Rifary dan rekan-rekannya terkena kendala. Soalnya, lowongan kerja tak berlaku buat mahasiswa asing yang mengantongi visa belajar. Kalau ketentuan itu dilanggar, sanksinya tak ringan. Pihak imigrasi Australia bakal mendeportasi sang mahasiswa ke negeri asal.

Begitupun bukan berarti tak ada mahasiswa Indonesia yang menyiasatinya. Mereka menempuh risiko paling pahit dengan menjadi pekerja "gelap". Ada yang menjadi tukang cuci di restoran dan toko, ada pula yang bekerja sebagai petugas kebersihan di hotel. "Pokoknya, kerja kasar," cerita Rifary.

Masih ada lagi upaya yang diperjuangkan Rifary dan teman-temannya. Karena pendapatan dari pekerjaan sambilan tadi hanya A$100 sepekan, sementara kebutuhan sebulan bisa A$ 1.200, mereka pun harus memangkas biaya kamar. Kini, mereka mesti mau berbagi kamar tidur dengan teman.

Ternyata, kisah mencari pekerjaan sambilan dan menyewa kamar ramai-ramai juga terjadi pada mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat. Setidaknya, Michelle Subiyanti, mahasiswi semester akhir jurusan industrial and systems engineering di Ohio State University, Ohio, dan rekan-rekannya menjalani hal senada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus