BUDI, bukan nama sebenarnya, memeluk erat ayahnya sambil sesenggukan menangis. Ayah dan ibunya juga tak tahan membendung jatuhnya air kepedihan. Mereka baru saja menerima surat bersampul biru. Isinya, Budi dikeluarkan dari SMA Negeri 19 Bandung. Pelajar lulusan SMP BPP (Balai Perguruan Putri) Bandung itu hanya sempat dua minggu masuk SMAN 19. Ia salah satu korban sindikat penyulap Nilai Ebtanas Murni (NEM), yang melibatkan beberapa guru dan karyawan Kantor Departemen P dan K Bandung. Mereka menawarkan iming-iming bisa membantu siswa dengan NEM rendah masuk sekolah favorit. Tawaran itulah yang kemudian menyeret Purwoto, sebut saja begitu nama ayah Budi. Lewat sindikat itu, Budi bisa masuk SMAN 19 Bandung. Padahal, anak Purwoto cuma punya NEM 29 atau rata-rata 4,8. Artinya, ia tak mungkin merebut bangku salah satu SMA beken di Bandung, yang mensyaratkan NEM terendah 36,4. Dengan membayar Rp 250 ribu, nilai dikatrol menjadi 39. Sindikat itu ternyata sudah memasang tarif Rp 250.000 sampai Rp 600.000. Mereka beroperasi di Kantor Departemen P dan K Bandung, tempat mengolah semua nilai calon siswa SMA kota itu. Dengan cara mengatrol nilai ujian, lulusan SMP yang ditanggung sindikat tersebut dengan mulus bisa masuk ke SMA pilihan. Bau busuk tercium setelah beberapa anak usil mempersoalkan Budi, yang tak terlalu pintar bisa masuk SMA 19. Beberapa orangtua yang anaknya gagal masuk SMA favorit lantas protes ke Kantor Departemen P dan K Bandung. Inilah awal terkuaknya komplotan penyulap nilai lulusan SMP di Bandung. "Sekarang masih terus dilacak. Kalau terbukti ada pegawai yang terlibat, akan ditindak," kata Achmad Rusman, Kepala Bidang Penerangan Kantor Wilayah P dan K Jawa Barat. Dari pemeriksaan sementara, 21 siswa yang dikatrol nilainya dipecat. Mereka 19 orang dari SMA 14 dan 2 siswa dari SMA 19, salah satunya Budi tadi. "Saya tak menduga nilai anak saya palsu. Saya kira, mereka cuma menawarkan membantu masuk lewat pintu belakang seperti biasanya," kata Purwoto, pegawai IPTN. Menurut Sumber TEMPO di Kantor Wilayah P dan K Jawa Barat, kasus NEM yang diragukan keasliannya melanda hampir semua SMA negeri Bandung. "Sekarang beberapa siswa masih terus diselidiki," kata sumber TEMPO. Lain dengan Surabaya. Empat orang yang diduga terlibat permainan nilai ditahan di markas polisi Jawa Timur. Sebuah sindikat dituduh telah mengubah angka nilai tujuh siswa yang masuk SMA St. Louis I. Kasus itu terbongkar ketika SMA swasta di Surabaya itu melihat ada kejanggalan pada formulir nilai calon siswanya. "Warna cetakannya agak pucat. Itulah yang mencurigakan," kata J.B. Soemardi, wakil kepala sekolahnya. Karena kecurigaan itu, SMA St. Louis melapor ke Polda Jawa Timur. Polisi pun segera melacak dan menggulung sindikatnya pertengahan Juli lalu. Dua orang di antaranya adalah guru sebuah SMA di Surabaya. Salah seorang siswa SMA St. Louis yang ketahuan menggunakan nilai palsu, sebut saja namanya Elsa, mengaku membayar Rp 1 juta. Padahal, nilai bekas siswi SMP YPPI Surabaya ini tak terlalu jelek, yakni 43. Sayang, nilai itu belum cukup baginya untuk bisa masuk SMA St. Louis, yang mensyaratkan nilai terendah 45. Ada banyak sebab pemalsuan nilai tadi. Menurut sumber TEMPO, beberapa kepala sekolah sengaja menaikkan nilai siswanya agar gengsi sekolahnya naik. Tapi tak sedikit katabelece dari pejabat yang minta agar nilai anaknya dikatrol. "Pemalsuan terjadi karena petugas di lapangan tak bertanggung jawab." kata Winarno Hami Seno, Direktur Pendidikan Menengah Umum Departemen P dan K. Jika terbukti ada sekolah yang memalsu nilai, pemerintah siap menjatuhkan hukuman. Misalnya, kata Winarno, akreditasi sekolah diturunkan atau kepala sekolahnya dicopot. GT dan Achmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini