Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Seekor kerbau mati dikeroyok

Untuk menghormati orang yang meninggal, suku bangsa dayak kenyah dan benuaq melakukan upacara kwangkai, yakni membunuh kerbau lewat perkelahian dengan manusia. (ils)

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANAH lapang di pusat desa dipenuhi penonton. Laki-laki perempuan, tua muda, dengan sabar menanti tontonan seru yang tak selalu ditemui tiap tahun. Di tengah lapangan, ada sebuah tonggak kokoh menancap di tanah. Di tonggak itu, terpancang sebuah tali yang menghubungkan leher seekor kerbau yang tambun dan kekar tubuhnya. Ratusan manusia telah melingkari dan memandang sang kerbau. Tidak berapa lama, tiga atau empat orang laki-laki masuk di tengah lingkaran manusia itu sambil membawa tombak. Dengan ucapan mantera-mantera, mulailah pelagaan dipersaksikan. Tali dilepas dan kerbau yang cuma bersenjatakan tanduk dan keganasan, harus melawan tiga atau empat manusia yang bersenjata tombak berikut nyali besar untuk menghabisi nyawa si kerbau. Tentu saja perkelahian tak seimbang ini diakhiri dengan robohnya si kerbau. Puluhan hunjaman tombak telah melukai tubuhnya. Juga karena darah banyak keluar, mempercepat ambruknya tubuh yang tambun itu. Bangkai Manusia Perkelahian kerbau dan manusia ini adalah salah satu dari rangkaian upacara puncak untuk menghormati yang meninggal bagi suku-bangsa Dayak Kenyah dan Benuaq di pedalaman Kalimantan Timur. Upacara kematian yang disebut blontang ini belum rampung. Karena begitu tubuh kerbau mulai mendingin, datanglah serombongan gadis-gadis yang berkulit kuning langsat. Dengan sigap dan pisau di tangan, wanita-wanita muda ini menguliti kerbau yang telah sekarat itu. Dagingnya, mereka bagikan kepada para penonton. Meninggalkan dunia yang fana bagi suku-bangsa Dayak Kenyah dan Benuaq (demikian juga sub suku-bangsa Dayak lainnya) adalah suatu rangkaian upacara yang menelan waktu sampai berminggu-minggu. Biaya yang besar dan menyangkut pula gengsi dari keluarga almarhum. Membunuh kerbau lewat perkelahian satu lawan keroyokan, mereka sebut kwangkai. Artinya, membuang bangkai manusia. Karena almarhum yang diupacarai itu bukan lagi berupa mayat, tapi telah jadi bangkai. Artinya, dia telah meninggal sebulan, seminggu dan mungkin tahunan. Tinggal jazadnya, tulang-tulang. Upacara kwangkai biasanya berlangsung sampai 10 hari 10 malam. Sebelum jazad si almarhum dikuburkan dan setelah pembagian daging kerbau selesai, dilakukanlah stanggih wara, yaitu puja-puji untuk nenek moyang. Serombongan gadis kemudian masuk ke lapangan dan mengadakan tarian massal sambil kakinya melangkahi helu -- alu, alat penumbuk padi -- beberapa puluh kali. Tarian ini namanya ngerangkau, artinya mengantarkan almarhum ke gunung lumut, sebagai tempat terakhir peristirahatan almarhum. Tulang belulang itu dikubur terlebih dahulu. Nanti, pada suatu waktu kalau ada uang, kuburan dibongkar kembali. Sekali lagi dilakukan kwangkai. Apabila seorang Dayak meninggal, sanak keluarganya beramai-ramai pergi ke hutan membuat lungun, yaitu semacam peti mati. Ini bisa makan waktu 3 sampai 4 hari. Semakin tinggi derajat si almarhum, pembuatan lungun akan semakin lama. Karena peti perlu diukir dengan puluhan ukiran binatang. Kayu untuk lungun harus dipilih dari jenis bengkeris atau palie. Kayu juga tak boleh pecah atau rengat sedikitpun. Ke Alo Malau Bagi mereka yang tidak mampu, almarhum cukup dibuatkan semacam gubang sederhana saja. Yaitu perahu yang dipotong. Mayat kemudian diletakkan di dalam lungun atau gubang tadi. Rempah-rempah yang sulit diketahui oleh umum kemudian ditaburkan di atas tubuh dan tempat seputar tubuh si mati. Ini untuk mencegah agar bau bangkai tidak tercium keluar. Disertakan pula barang-barang kegemaran si mati, bahkan ada pula yang membekali ringgit emas dan perhiasan. Setelah perlengkapan si mati dirasa komplit, lungun kemudian diletakkan di suatu tempat yang dianggap aman dari ancaman binatang buas. Orang Kenyah dan Benuaq percaya, bahwa si mati saat itu sedang mengadakan pengembaraan ke Alo Mala, yaitu sorga berair bening dan sejuk. Pemandangan di danau konon sangat indah. Tempatnya tenang, jauh dari hiruk pikuk dunia. Di danau itulah, si mati hilir mudik dengan lungunnya, bersenang-senang tanpa batas. Dia juga boleh saja memakai perhiasan kesenangannya, toh tidak ada rampok atau tukang jambret. Karena itu pembuatan lungun tidak boleh dari kayu yang retak atau bocor. Salah-salah nanti si mati tenggelam di danau Alo Malau. Pada jangka waktu yang hanya diketahui keluarga almarhum, si mati pulang kembali. Dan pada waktu kembali itulah, dilakukan upacara perang kerbau lawan manusia, blontang -- biasanya diadakan seusai panen, karena biayanya cukup besar. Sebelum itu, pihak keluarga almarhum telah mufakat, tentang biaya pemakaman, kampung mana yang sepatutnya diundang. Hingga kini, kwangkai dan serangkaian upacara adat kematian lainnya tetap diadakan. Hanya almarhum tidak lagi dibekali ringgit emas atau perhiasan lainnya. Maklum hutan mereka kini telah diusik oleh penebang kayu yang mempergunakan gergaji listrik. Dan sejak itulah, perhiasan yang berupa emas sungguhan sering hilang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus