TANAH lapang di pusat desa dipenuhi penonton. Laki-laki
perempuan, tua muda, dengan sabar menanti tontonan seru yang tak
selalu ditemui tiap tahun. Di tengah lapangan, ada sebuah
tonggak kokoh menancap di tanah. Di tonggak itu, terpancang
sebuah tali yang menghubungkan leher seekor kerbau yang tambun
dan kekar tubuhnya.
Ratusan manusia telah melingkari dan memandang sang kerbau.
Tidak berapa lama, tiga atau empat orang laki-laki masuk di
tengah lingkaran manusia itu sambil membawa tombak. Dengan
ucapan mantera-mantera, mulailah pelagaan dipersaksikan. Tali
dilepas dan kerbau yang cuma bersenjatakan tanduk dan keganasan,
harus melawan tiga atau empat manusia yang bersenjata tombak
berikut nyali besar untuk menghabisi nyawa si kerbau. Tentu saja
perkelahian tak seimbang ini diakhiri dengan robohnya si kerbau.
Puluhan hunjaman tombak telah melukai tubuhnya. Juga karena
darah banyak keluar, mempercepat ambruknya tubuh yang tambun
itu.
Bangkai Manusia
Perkelahian kerbau dan manusia ini adalah salah satu dari
rangkaian upacara puncak untuk menghormati yang meninggal bagi
suku-bangsa Dayak Kenyah dan Benuaq di pedalaman Kalimantan
Timur.
Upacara kematian yang disebut blontang ini belum rampung. Karena
begitu tubuh kerbau mulai mendingin, datanglah serombongan
gadis-gadis yang berkulit kuning langsat. Dengan sigap dan pisau
di tangan, wanita-wanita muda ini menguliti kerbau yang telah
sekarat itu. Dagingnya, mereka bagikan kepada para penonton.
Meninggalkan dunia yang fana bagi suku-bangsa Dayak Kenyah dan
Benuaq (demikian juga sub suku-bangsa Dayak lainnya) adalah
suatu rangkaian upacara yang menelan waktu sampai
berminggu-minggu. Biaya yang besar dan menyangkut pula gengsi
dari keluarga almarhum.
Membunuh kerbau lewat perkelahian satu lawan keroyokan, mereka
sebut kwangkai. Artinya, membuang bangkai manusia. Karena
almarhum yang diupacarai itu bukan lagi berupa mayat, tapi telah
jadi bangkai. Artinya, dia telah meninggal sebulan, seminggu dan
mungkin tahunan. Tinggal jazadnya, tulang-tulang.
Upacara kwangkai biasanya berlangsung sampai 10 hari 10 malam.
Sebelum jazad si almarhum dikuburkan dan setelah pembagian
daging kerbau selesai, dilakukanlah stanggih wara, yaitu
puja-puji untuk nenek moyang. Serombongan gadis kemudian masuk
ke lapangan dan mengadakan tarian massal sambil kakinya
melangkahi helu -- alu, alat penumbuk padi -- beberapa puluh
kali. Tarian ini namanya ngerangkau, artinya mengantarkan
almarhum ke gunung lumut, sebagai tempat terakhir peristirahatan
almarhum. Tulang belulang itu dikubur terlebih dahulu. Nanti,
pada suatu waktu kalau ada uang, kuburan dibongkar kembali.
Sekali lagi dilakukan kwangkai.
Apabila seorang Dayak meninggal, sanak keluarganya beramai-ramai
pergi ke hutan membuat lungun, yaitu semacam peti mati. Ini bisa
makan waktu 3 sampai 4 hari. Semakin tinggi derajat si almarhum,
pembuatan lungun akan semakin lama. Karena peti perlu diukir
dengan puluhan ukiran binatang. Kayu untuk lungun harus dipilih
dari jenis bengkeris atau palie. Kayu juga tak boleh pecah atau
rengat sedikitpun.
Ke Alo Malau
Bagi mereka yang tidak mampu, almarhum cukup dibuatkan semacam
gubang sederhana saja. Yaitu perahu yang dipotong. Mayat
kemudian diletakkan di dalam lungun atau gubang tadi.
Rempah-rempah yang sulit diketahui oleh umum kemudian ditaburkan
di atas tubuh dan tempat seputar tubuh si mati. Ini untuk
mencegah agar bau bangkai tidak tercium keluar. Disertakan pula
barang-barang kegemaran si mati, bahkan ada pula yang membekali
ringgit emas dan perhiasan. Setelah perlengkapan si mati dirasa
komplit, lungun kemudian diletakkan di suatu tempat yang
dianggap aman dari ancaman binatang buas.
Orang Kenyah dan Benuaq percaya, bahwa si mati saat itu sedang
mengadakan pengembaraan ke Alo Mala, yaitu sorga berair bening
dan sejuk. Pemandangan di danau konon sangat indah. Tempatnya
tenang, jauh dari hiruk pikuk dunia. Di danau itulah, si mati
hilir mudik dengan lungunnya, bersenang-senang tanpa batas. Dia
juga boleh saja memakai perhiasan kesenangannya, toh tidak ada
rampok atau tukang jambret.
Karena itu pembuatan lungun tidak boleh dari kayu yang retak
atau bocor. Salah-salah nanti si mati tenggelam di danau Alo
Malau. Pada jangka waktu yang hanya diketahui keluarga almarhum,
si mati pulang kembali. Dan pada waktu kembali itulah, dilakukan
upacara perang kerbau lawan manusia, blontang -- biasanya
diadakan seusai panen, karena biayanya cukup besar. Sebelum itu,
pihak keluarga almarhum telah mufakat, tentang biaya pemakaman,
kampung mana yang sepatutnya diundang.
Hingga kini, kwangkai dan serangkaian upacara adat kematian
lainnya tetap diadakan. Hanya almarhum tidak lagi dibekali
ringgit emas atau perhiasan lainnya. Maklum hutan mereka kini
telah diusik oleh penebang kayu yang mempergunakan gergaji
listrik. Dan sejak itulah, perhiasan yang berupa emas sungguhan
sering hilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini