Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ramadhan

Berita Tempo Plus

Waria Yogyakarta Melawan Stigma

Pesantren bekerja sama dengan UIN Sunan Kalijaga melakukan penelitian.

17 Mei 2019 | 00.00 WIB

Seorang waria (kanan) mengaji di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta selama Puasa Ramadan.  TEMPO/Shinta Maharani
Perbesar
Seorang waria (kanan) mengaji di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta selama Puasa Ramadan. TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pondok pesantren khusus waria Al-Fatah Kotagede, Yogyakarta, nyaris tak pernah sepi dari kegiatan. Pemimpin pesantren itu, Shinta Ratri, sibuk mengatur acara pesantren selama Ramadan dan setahun terakhir. Selain mengaji dan ibadah lainnya, pesantren ini punya pelatihan keterampilan merias untuk mengisi bulan puasa. Pesantren ini juga nyaris tak pernah sepi dari kunjungan para peneliti, akademikus, aktivis, dan ahli agama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Mereka yang datang tidak hanya berasal dari Yogyakarta, tapi juga beberapa daerah di Indonesia dan mancanegara. Pesantren khusus waria ini merupakan satu-satunya di Indonesia. Sebagian orang yang datang ke sana bahkan betah mendampingi para waria itu belajar agama. Salah satunya adalah Ardiansyah, alumnus Program Studi Interdisciplinary Islamic Studies Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lelaki asal Makassar itu telah menyelesaikan Konsentrasi Bimbingan Konseling Islam di kampusnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Ardiansyah datang ke pesantren waria sebagai peneliti, dua tahun lalu. Suatu ketika, Shinta menawarinya untuk mendampingi santri waria belajar mengaji. "Saya merasa ada panggilan dan cocok mengamalkan ilmu," kata Ardiansyah, Ahad lalu.

Selama dua tahun ini dia mengajari para santri menghafal surat-surat pendek bacaan salat, iqra, dan tajwid. Ardiansyah tidak setuju dengan beberapa kalangan yang mengecam dan melarang waria beribadah. Padahal, menurut Islam, Ardiansyah menambahkan, waria punya kedudukan yang sama dengan yang lainnya karena Allah memuliakan seluruh umat.

Waria, kata Ardiansyah, tidak boleh mengalami diskriminasi dan punya kebebasan menjalankan kegiatan sosial di ruang publik. Aktivitas itu merupakan bagian dari pengamalan nilai-nilai kebaikan.

Ustad yang mendampingi waria di Pesantren Al-Fattah, Arif Nuh Safri, menyebutkan para santri mengalami perkembangan yang bagus dalam mempelajari agama Islam. Dia juga mengecam larangan belajar agama dan ibadah yang ditujukan kepada waria oleh sekelompok orang. Arif menuturkan, belajar agama dan beribadah merupakan hak setiap orang, tidak memandang apakah dia waria ataukah bukan. Arif mendampingi waria sejak 2010.

Pesantren juga melakukan kerja sama dengan Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta selama tiga tahun ke depan. Alumnus kampus tersebut mengajari para waria mengaji dan sebagian mahasiswanya dikirim ke pesantren untuk melakukan penelitian. Sebaliknya, santri pesantren waria diperbolehkan meminjam ruangan kampus untuk kegiatan kelas gender.

Selain dengan UIN, pesantren bekerja sama dengan Universitas Kristen Duta Wacana untuk mengajari agama waria non-muslim. Sedangkan kerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta dilakukan untuk mendapatkan pendampingan dan advokasi. SHINTA MAHARANI


Memutus Diskriminasi

Direktur Setara Institute, Halili, menyebutkan komunitas waria di Yogyakarta diterima oleh sebagian masyarakat. Mereka membaur dalam berbagai kegiatan sosial. Hanya, beberapa tahun lalu, pesantren waria pernah mendapat penolakan dari kelompok intoleran.

Hasil penelitian Setara Institute melalui Indeks Kota Toleran 2018 menunjukkan Yogyakarta tergolong kota yang kurang toleran. Indeks itu digunakan untuk mengukur bagaimana suatu daerah mempraktikkan toleransi. “Yogyakarta berada di posisi tengah atau sedang dalam Indeks Kota Toleran,” kata Halili, kemarin.

Variabel Indeks Kota Toleran diukur melalui kebijakan regulasi pemerintah,regulasi sosial, tindakan pemerintah, dan demografi sosio-religius. Pemerintah, kata dia, bukan satu-satunya penentu semakin toleran atau tidaknya suatu daerah. “Faktor sosial ikut berkontribusi,” kata dia.

Kegiatan pengajian waria sempat terputus ketika belasan orangn yang mengatasnamakan Front Jihad Islam (FJI) menggeruduk ponpes ini di Dusun Celenan, Desa Jagalan, Bantul, pada 19 Februari 2016. SHINTA MAHARANI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus