Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuh dalam foto itu terlihat membelakangi kamera dengan posisi miring. Salah satu tangannya menyangga badan, satu lagi seperti memeluk lukisan. Tangan perempuan itu terlihat menjulur lebih panjang. Pada foto lain terlihat tubuh seperti tengah berdiri di belakang sebuah lukisan. Kedua kakinya merentang panjang, kiri-kanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua karya tersebut merupakan bagian dari enam karya kolaborasi Ines Katamso dan Sharon Angelia dalam seri foto berjudul As a Part as a Whole I-VI. Karya ini menggabungkan seni rupa dan fotografi dengan medium lukisan dan foto. Kedua seniman mengedepankan gagasan ideal tentang distorsi tubuh dengan menciptakan imaji yang seolah-olah mempunyai anggota tubuh (tangan, kaki, kepala) lebih panjang atau lebih banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya Ines-Sharon berjajar di dinding ruang CAN’S Gallery bersama 12 karya perempuan perupa dalam pameran bersama bertajuk "I… Therefore I Am". Para perupa lain yang mengikuti pameran adalah Ajeng Martia Saputri, Cecilia Patricia Untario, Citra Sasmita, Erika Ernawan, Maharani Mancanagara, Meliantha Muliawan, Puri Fidhini, Rega Ayundya Putri, Ruth Marbun, Sekar Puti, dan Sinta Tantra. Pameran ini berlangsung pada 20 Juli-20 Agustus 2019, dengan pengantar kurasi oleh Alia Swastika.
Karya lain yang dipamerkan adalah milik Ajeng Martia Saputri. Kali ini dia menggunakan material resin. Dua karyanya berjudul Immortalize the Ephemeral #2 dan Immortalize the Ephemeral #3. Immortalize the Ephemeral #2 menyerupai rok anak kecil yang dibentuk dengan bunga. Adapun Immortalize the Ephemeral #3 berbentuk lingkaran yang hampir dua pertiganya dipenuhi bunga resin. Kedua karya berwarna merah darah segar.
"Karya saya benang merahnya selalu dari pengalaman pribadi, apa yang mengganggu pikiran. Saat ini tentang ketidakabadian," ujar Ajeng kepada Tempo, Selasa lalu.
Ia menjelaskan bahwa semua makhluk tidak abadi. Nah, setelah kematian, apa yang membuat orang mengenang seseorang. Karena itu, ia terus berkarya untuk membuat orang mengingatnya. Material resin dikenal untuk mengawetkan sesuatu, sehingga Ajeng memakainya sebagai simbol keabadian. Namun, dalam Immortalize the Ephemeral, dia membuat resin ini seperti meleleh. Tak abadi. Ajeng mengatakan warna merah darah mencerminkan apa yang mengisi tubuh kita, sementara bentuk baju anak-anak untuk menunjukkan bahwa masa lalu pun masih bisa dihadirkan lagi.
Sementara material yang digunakan Ajeng cenderung keras, bersifat industri, dan maskulin, Ruth Marbun hadir dengan karya berbahan kain dalam Pada Lantai Paham Berpadu dan Amuba Mencari Sekutu. Ia membuat jahitan kain-kain hingga tebal dan membubuhkan lukisan-lukisan figuratif hampir menyerupai sebuah bed cover.
Immortalize the Ephemeral karya Ajeng Martia Saputri.
Perupa lain, Cecilia, memamerkan karya instalasi kaca berbentuk seperti phallus yang beragam. Sebelumnya, karya berjudul Silent #3 itu pernah dipamerkan di Galeri Nasional. Lewat karya itu, ia ingin menunjukkan pembicaraan tentang seks yang masih tabu. Dalam pengantar kurasinya, Alia menjelaskan bahwa sang perupa ingin mendobrak hal itu sekaligus menggugat maskulinitas dan dominasi budaya patriarki.
Persoalan proyeksi identitas diri menjadi hal pokok yang dimunculkan oleh Rega Ayundya dan Puri Fidhini. Mereka menyelidiki diri mereka. Puri melakukannya lewat instalasi cermin, sedangkan Rega dengan lukisan seperti lanskap, tapi sebenarnya ia melukis permukaan sel kulitnya yang diperbesar dengan mikroskop. Ia menempatkan diri pada posisi ketika identitas diri seseorang kini menyeruak melalui dunia maya, tapi ia mengeksplorasi dunia nyatanya.
Sementara itu, Erika dan Citra Sasmita mengeksplorasi pandangan dan tubuh sebagai ruang untuk membicarakan perempuan dalam konteks berbeda. Karya Citra dengan lukisan perempuan telanjang membaca ulang tubuh perempuan dalam konteks budaya patriarki. "Melukiskan tubuh perempuan telanjang menjadi cara untuk memasuki pertarungan pemahaman dan kuasa itu sendiri, bersamaan dengan menggugat represi sosial pada tubuh itu," ujar Alia.
Potrait of the Other karya Citra Sasmita.
Adapun karya Erika dengan boks neon merah menyala menolak konstruksi bagaimana tubuh dipandang sebagai obyek. Telapak tangan, wajah, dan beberapa bagian tubuh lain dalam karya Body as a Form Motion #1-2 muncul sebagai kejutan dalam bidang karyanya.
Para perupa melakukan eksplorasi aneka gagasan. Sinta Tantra mengelaborasi warna dalam bidang desain di kanvas, Meliantha menjadikan sobekan kalender sebagai bahan utama karyanya, dan Sekar Puti berkreasi dengan keramiknya.
Pameran ini memang secara khusus menampilkan karya perempuan seniman, meski tak ada tema khusus yang membatasi atau memberi kerangka pada pilihan seniman. Namun, Alia menggarisbawahi, pameran ini tidak dimaksudkan sebagai pameran feminis. Menurut dia, gagasan tentang menjadi perempuan dalam masyarakat semakin kompleks, sebagaimana yang hidup sekarang, telah berkembang sedemikian rupa.
Para perempuan seniman ini pun tidak secara langsung membicarakan identitas keperempuanannya atau makna menjadi perempuan, tapi melebur dalam filosofi hidup atau material yang menjadi medium berkarya.
DIAN YULIASTUTI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo