Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Berita Tempo Plus

Kolonialisme hitam-putih

Pekan film indonesia-belanda mengetangahkan film-film kolonialisme belanda di indonesia.

30 Januari 1993 | 00.00 WIB

Kolonialisme hitam-putih
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGALANYA dimulai dengan warna. ''Mereka'' berwarna putih kekuning-kuningan dan biasa disebut ''kulit mentega''. Sedangkan ''saya'' berwarna cokelat dan sering disebut ''kacang tanah''. Marion Bloem tumbuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang perbedaan antara dirinya dan lingkungannya. Ia bukan orang Indonesia, tapi Belanda. Namun ia tak sepenuhnya menerima sebagai bagian dari Belanda. Tepatnya, ia seorang indo. Tapi apa arti di balik kata itu? Apa ia hanya menjelaskan bahwa ia adalah bayi yang sedang dikandung ibunya ketika orang tuanya terengah-engah harus lari ke Belanda? Atau indo adalah sekelompok inlander yang mendompleng dan menyusahkan orang Belanda? Ataukah indo adalah ''anjing-anjing Belanda'' yang oportunis? Ini salah satu pertanyaan yang dilontarkan film dokumenter And Never the Twain shall Meet. Film ini diputar pada Pekan Film Indonesia-Belanda di Balai Erasmus, sejak pekan lalu. Dengan gaya polos dan sederhana, Marion Bloem, seorang gadis indo yang orang tuanya juga peranakan Indo-Belanda, menjelajahi asal-usulnya dengan mengadakan wawancara dengan orang tua dan neneknya, menghadiri reuni orang-orang indo, mempelajari tari Bali. Sebagai generasi indo yang tumbuh di negara Barat, Marion tentu saja menjadi anak yang jauh lebih kritis dan lebih mempersoalkan posisi orang tuanya. Misalnya, ia mempertanyakan kenapa ayahnya, yang selalu mengakui mencintai Indonesia, toh memihak KNIL pada masa perang. ''Kami tak pernah dianggap bagian dari masyarakat Indonesia,'' kata ayahnya. Sebutan ''anjing Belanda'', terlepas apakah mereka memihak tentara Indonesia atau Belanda, adalah cap yang melekat bagi orang-orang indo di Indonesia. Persoalan identitas ini juga menjadi salah satu tema film My Blue Heaven karya Laurens Geel dan Dick Maas. Keluarga Charles Benoit terpaksa pergi ke Belanda ketika pemerintahan Bung Karno pada tahun 1961 membersihkan orang-orang Belanda dari Indonesia. Keluarga peranakan indo yang sudah merasa sebagai orang Indonesia ini harus kaget hidup di Amsterdam yang dingin, di mana mereka hanya boleh mandi sekali seminggu, dan kehidupan yang penuh kecurigaan rasisme. Dengan adegan-adegan sederhana dan penyuntingan gambar yang rapi, Geel dan Maas berhasil menyuguhkan kisah keluarga Benoit yang mencoba membangun sebuah restoran Indonesia yang diberi nama My Blue Heaven dan harus bertahan menghadapi cercaan kawan-kawan dan tetangganya, hanya karena mereka ''berwarna kacang tanah''. Tapi, di mata Geel dan Maas, tidak semua orang Belanda jahat. Memang ada tiga kawanan ''orang putih'' yang digambarkan sebagai stereotip orang Eropa yang jahat: pemabuk dan bersikap rasis. Tapi ada juga seorang pemuda Belanda yang jatuh cinta pada Brenda, anak sulung keluarga Benoit. Bagian inilah yang menarik dari beberapa film Belanda yang diputar dalam pekan film yang masih berlangsung hingga pekan ini. Sutradara Belanda generasi pascakolonialisme bahkan kini ikut mengutuk kolonialisme yang menjadi sebuah bagian yang memalukan dalam sejarah mereka. Tapi para sineas Belanda juga merasa perlu mengajukan tokoh-tokoh Belanda yang menunjukkan bahwa tidak semua orang Belanda jahat, rasis, dan bermental kolonial. Bahkan kalau perlu tokoh Max Havelaar, yang sebenarnya adalah sekrup dari mesin kolonialisme itu, maju sebagai pembela keadilan. Max Havelaar karya Fons Rademakers, yang juga diputar, sesungguhnya membentangkan sebagian dari sejarah penindasan umat manusia. Penindasan itu, di mata Rademakers, tidak hanya terjadi antara dua bangsa. Ada penindasan Belanda terhadap rakyat Indonesia dan ada penindasan seorang bupati pribumi terhadap rakyatnya sendiri. Havelaar (Peter Faber) memang seorang asisten residen yang mencoba menjadi adil. Tapi Rademaker juga memperlihatkan bahwa Havelaar juga seorang aparat kolonialis ''normal'', yang sesungguhnya berambisi ingin menjadi gubernur jenderal dan menggunakan Lebak sebagai batu ujian kariernya. Film Indonesia yang diputar adalah Doea Tanda Mata (Teguh Karya), Tjoet Nya' Dhien (Eros Djarot), Pagar Kawat Berduri (Asrul Sani). Pada karya Teguh dan Eros, mau tak mau orang-orang Belanda digambarkan sebagai sekumpulan penindas yang kejam dan laknat. Pada karya Asrul Sani, orang-orang Belanda memang sengaja menjadi latar belakang, sementara orang-orang Indonesia yang saling bergumul -- antarkawan dan lawan -- menjadi peran utama film-film tersebut. Konsentrasi para sineas pada perjuangan orang-orang Indonesia ini agaknya tidak memudahkan mereka untuk mengeksplorasi watak orang-orang Belanda yang -- meskipun penjajah -- seharusnya cukup heterogen. Kita hanya melihat perkecualian dalam Pagar Kawat Berduri. Tokoh Sersan Koenen yang berwatak kompleks adalah orang Belanda yang bersimpati pada pribumi dan menentang kekerasan. Tapi toh ia seorang aparat kolonialis Belanda yang rajin mengatakan ''tentu kalian bisa merdeka, tapi harus tunggu waktu''. Penyajian persoalan -- apalagi dengan tema kolonialisme -- yang tidak hitam-putih biasanya akan membuat penonton berpikir lebih jauh tentang misi film itu, yang pasti bukan sekadar ingin memunculkan seorang pahlawan Indonesia. Dan inilah yang agaknya harus dipikirkan oleh para sineas Indonesia. Rademaker dan Asrul Sani adalah dua sutradara yang berhasil menggambarkan kompleksnya persoalan kolonialisme. Jika film-film semacam ini dibuat lebih banyak, niscaya kita tidak hanya belajar mengenal ''mereka, sang penjajah yang berkulit kuning mentega'', tapi juga mempelajari diri sendiri. Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus