Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUBLIK "American Dance Festival" (ADF), sekali lagi, terpukau oleh karya tari Indonesia. Journey, karya Endo Suanda, yang digubah bersama 10 penari dan 5 pemusik Amerika dipertunjukkan pada pertengahan bulan lalu. Endo menghadirkan suasana upacara sejak awal tontonannya. Ketika layar terangkat, 3 penari pria dan 7 wanita terbaring mengelompok di tengah pentas. Layar hitam terbuka di tengah membingkai onggokan penari dengan kerucut tajam di puncak. Sementara panggung yang gelap menjadi temaram dan para penari bergerak pelan, kecipak air, suara katak, dan belalang mengusik sunyi. Bunyi-bunyian ini dikembangkan lebih lanjut oleh Jefferson Dalby (penata musik) yang bersama Endo menata musik pengiring yang terdiri dari vokal, bass-flute, saluang, dan serunai Minang. Seorang pemusik memainkan air di ember untuk membuat tiruan suara ikan-ikan yang berlompatan di sungai. Endo Suanda - yang kini menempuh program PhD etnomusikologi di Universitas Washington Seattle--memanfaatkan secara kreatif keterampilannya dalam karawitan, tari, tembang, wayang, dan topeng Sunda. Endo menggarap tema perjalanan hidup manusia. Ini tersirat dalam tembang Sunda yang disusunnya Siki-siki, yang tak henti digumamkan para penari: Siki-siki ragrag ti langit diguar-guar ku beurang, digilir-gilir ku peuting. (Benih-benih datang dari langit ditaburkan siang hari, tumbuh berkembang malam hari). Siapakah yang menggerakkan benih yang bertaburan dari langit ini (yang bagi Endo diibaratkannya "wayang-wayang")? Ki dalang menggerakkannya. Tapi dalam hidup, ternyata wayang-wayang tak selalu tunduk kepada kemauan dalang. Sementara dalang dan wayang dapat saja menjadi wayang-wayang dari dalang lain yang lebih tinggi statusnya. Pesan yang cukup rumit bagi penonton Amerika. Untungnya, Endo tak berniat menjelaskannya secara naratif, tetapi lewat tatanan gerak, suara, dan wujud. Untuk itu, Endo membuat sebuah topeng putih setinggi dirinya. Topeng ini dikenakannya ketika harus mengubah bentuk, karena sebagai dalang ia justru dipermainkan dan dikubur oleh wayang-wayangnya. Sementara dalang agung keluar menyelamatkannya, para penari bertukar kostum dengan jubah putih panjang dan mengenakan topeng-topeng putih mirip topeng kematian. Di tangan dalang agung, pak dalang dan wayang-wayangnya bagaikan bangkai-bangkai yang bergerak. Dalang agung terbahak gembira, lampu padam, dan tepuk riuh penonton bergema. Tahun ini, secara terpisah, dua penata tari: Senta Driver dan Endo Suanda diundang khusus untuk mencipta karya baru bersama siswa-siswa ADF. Di Indonesia, di mana waktu dihayati secara santai, ide membuat sebuah karya dengan penari baru dalam enam minggu boleh jadi dianggap mustahil. Di Amerika, di mana waktu sangat dihargai, batasan ini dianggap tantangan yang menarik. Selama enam minggu, Endo harus mengajarkan "teknik gerak" sambil membuat karya tari baru. Itu makanya, saya kira, Endo menyebut karyanya a work in progress. "Sungguh mengasyikkan," Endo bertutur, "selama tiga minggu pertama, kita menjelajahi kemungkinan dan memperdalam penghayatan. Suatu malam, peserta workshop saya bawa ke sebuah danau di tengah hutan. Di tempat itulah saya peroleh suara-suara alam yang Anda dengar di awal tontonan. Tetapi tiga minggu terakhir, kita harus bekerja ekstra-keras. Susahnya, setiap pemain memiliki jadwal yang berbeda. Karenanya, latihan bersama seluruh anggota sulit dilakukan," cerita Endo. Kelemahan ini tertutup oleh kecerdikan Endo dalam menggarap musik dan tata rupa dengan penampilan topengtopeng putih yang dramatik dan mengundang fantasi penonton. Lagi pula, Endo sendiri memang tak suka pendekatan struktural dalam menggarap tari yang dirasanya mengungkung kebebasan penari. Baginya, koreografi adalah sebuah hasil kerja sama dari seluruh seniman yang terlibat. Mereka berbagi, bukan hanya dalam proses kreatif dalam mengungkapkan ekspresi dan mencari bentuk-bentuk yang patut, tetapi juga dalam kesulitan, penderitaan, dan kepuasan. Rasa memiliki dan tanggung jawab dari seluruh peserta, ternyata mampu menyelamatkan tontonan dalam saat-saat kritis. Hasilnya, sebuah tontonan yang cukup berbobot. Salah seorang penari, Ray Eliot Schwartz - yang tahun lalu mengikuti workshop Sardono W. Kusumo dalam forum yang sama - mengungkapkan bahwa yang menarik dari penata tari Indonesia adalah proses kreatifnya yang begitu kuat melibatkan emosi dan penghayatan penari. Ray mengaku, dalam mengikuti latihan beberapa kali, ia berada di batas trance. "Sebuah pengalaman yang tak pernah saya rasakan ketika menarikan koreografi penata tari Amerika," tegas Ray. "Biasanya dalam proses, beberapa penari drop-out karena tak kunjung menemukan struktur yang biasa menjadi pedoman mereka. Dalam yang terakhir ini Endo lebih mudah dipahami daripada Sardono," ujar Ray. Indonesia memang cukup dikenal di ADF, forum akbar tari modern Amerika yang diselenggarakan sejak tahun 1934. Ketika masih di Connecticut College (1957), tiga orang penari muda Indonesia (Bagong Kussudiardjo, Wisnu Wardhana, dan Setiarti Kailola) mengambil bagian. Sejak 1978 ADF bermukim di Duke University, Durham, North Carolina. Tahun ketiga di Durham, (1980), Wiwiek Sipala kembali membuka pintu ADF. Tahun 1984 Indonesia tampil di ADF dengan meyakinkan. Dengan 20 penari dan pemusik, grup tari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menyuguhkan dua nomor tari dari Sumatera (Minangkabau dan Aceh). Yang menarik, karena kedua karya yang ditampilkan Awan Bailau (Deddy Luthan dan Tom Ibnur) dan Huuuu.... (Nurdin dan Marzuki) dipilih sendiri oleh Charles Reinhardt, Direktur ADF. Penampilan IKJ ini menyadarkan publik Amerika bahwa di luar Jawa dan Bali masih banyak tradisi Indonesia yang menarik. Sejak itu, hampir setiap tahun Indonesia mendapat kehormatan tampil di panggung.Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo