Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Terobosan Actors Unlimited

Kelompok Actors Unlimited menerobos batas konvensi dalam pementasannya akhir bulan lalu di Bandung. Mereka rela keluar dari kebiasaan "teater sutradara".

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Ruang itu berwarna hitam dengan suasana menekan. Saat memasuki ruang pertunjukan dan duduk, kita akan dihadapi moncong panggung yang runcing menyudutkan. Ada pesawat televisi yang besar dan sebuah patung dekor yang berbentuk seperti manusia terbelah dan tegak dengan kedua tangan terentang bagai tersalib. Sejak awal, terdengar bunyi kor dengan warna liturgi Kristiani yang terus saja melayang-layang lirih, mengisyaratkan suasana transendental yang aneh. Seting panggung bergaya kontemporer macam ini seperti menyarankan akan tampilnya sebuah pertunjukan yang tidak terlampau konvensional. Maklumlah, kita sedang berhadapan dengan produk dari Actors Unlimited—kelompok teater terkemuka di Bandung—yang sering dianggap identik dengan induk cikal-bakalnya, yaitu Studiklub Teater Bandung (STB), yang dikenal dengan realisme dan pola-pola klasiknya. Apalagi mereka menyuguhkan karya dramawan Belanda, Manuel van Loggem, berjudul Suara-Suara Mati, di Pusat Kebudayaan Prancis Bandung, akhir Maret silam (dan masih akan dipertunjukkan lagi, karena penonton yang membludak).

Tiba-tiba keempat pemain telah hadir di panggung, masing-masing duduk di kursinya dan mulailah satu demi satu menjalankan perannya bergantian. Kian jelas kemudian bahwa ada perkembangan signifikan pada kelompok teater ini dalam beberapa hal. Alur cerita yang diusung sebenarnya sederhana: seorang suami tua dan lumpuh hendak membongkar perselingkuhan istrinya dengan sahabatnya, dengan menciptakan teror mental bagi keduanya. Caranya, ia membuat surat-surat seolah dari sang kekasih yang ditujukan pada istrinya, bercerita terus-menerus tentang bayi yang lahir dan mati. Surat-surat itu membuat sang istri mengalami halusinasi, serasa selalu mendengar tangis anaknya yang mati itu dan membuatnya senantiasa dihantui rasa bersalah, hingga hampir gila. Akhir kisah, rahasia terbuka: si suami sebenarnya tidak lumpuh. Semua itu hanya akal-akalannya untuk membongkar dan melampiaskan kemarahan terhadap perselingkuhan itu.

Yang menarik, bagaimana sang sutradara menyiasati dan menampilkan naskah itu. Mereka memilih kerja kelompok sehingga peran sutradara—Fathul A. Husein—sengaja tidak menjadi dominan. Ini sebuah kebijakan simpatik dan progresif. Tak banyak kelompok yang rela keluar dari pola "teater sutradara" semacam itu.

Di sisi lain, tak sepenuhnya pula mereka terjebak ke dalam berbagai pola penghayatan peran kontemporer, baik yang intelektualistis-verbal Brechtian atawa sensasionalistis-fisik Artaudian. Sebagai pola dasar, mereka tetap menggunakan model penghayatan-dalam ala Stanislavsky, yang untuk jenis naskah psikologis macam itu sangatlah tepat. Hasilnya adalah permainan dengan proporsi kematangan yang mantap dan tidak berlebihan. Pola gerak memang distilisasi tapi tidak jatuh menjadi grotesque. Percakapan memang tetap pada alur realisme tapi tidak jatuh menjadi banal.

Peran "istri" (Rian E. Mifelsa) sesungguhnya akan mudah membuatnya termakan emosi berlebihan, dengan bahaya kehilangan kontrol atas tempo. Namun, ternyata tidak. Ia mampu memainkan emosi dan tempo dengan kontrol yang bagus dan mengesankan. Mohamad Sunjaya, pemain kawakan sekaligus motor utama kelompok ini, peran utamanya sebagai "suami" lumpuh dan tua, serta kekuatan permainannya yang selalu menggelegak, secara otentik dari dalam mudah menggilas pemain lainnya. Tapi nyatanya juga tidak. Ia kuat pada posisinya yang wajar. Samalah halnya dengan Uep U. Mulyana, yang kendati perannya sebagai "sahabat" meletakkan dirinya sebagai penderita yang terjepit antara suami dan istri, toh tidak lantas keteteran tak berdaya. Ia pun pas efektif dalam ruang perannya yang terbatas. Yang sesungguhnya mencengangkan adalah bagaimana peran sang "pembantu" diletakkan dalam cerita itu. Sang pembantu yang sebenarnya hanya muncul sesekali itu tiba-tiba bisa menjadi begitu kuat dan penting, efeknya bagi suasana misterius keseluruhan. Gaya pemeranan Cep Kohar sebagai "Pembantu" itu, yang stilisasinya mungkin paling berlebihan—yaitu dingin, sangar, dan misterius—justru berefek ganda. Di satu sisi ia membulatkan atmosfer eksternal keseluruhan sebagai penuh misteri, di sisi lain ia tiba-tiba juga seolah mewakili hati nurani internal yang diam-diam sebenarnya menyaksikan dan memahami segala kebusukan sekelilingnya meski tanpa cukup berdaya. Pembantu ini pula yang akhirnya menutup layar hitam, mengakhiri semua, dengan arif.

Dan setelah semua itu, menjadi jelas bahwa Actors Unlimited makin menunjukkan pencaharian barunya dan mengatasi "limit-limit" yang pernah mengekangnya. Dan sejauh ia masih mampu menjaga sikap proporsionalnya yang matang, artinya berjalan perlahan antara kearifan masa lalu dan rangsangan ke depan dengan segala kemungkinan baru, niscaya ia akan menjadi kelompok yang makin tangguh dan berwibawa.

I. Bambang Sugiharto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus