Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Meski sudah terpapar dengan musik reggae sejak dini dari keluarganya, Danniella Dee mulai menggandrungi musik asal Jamaika itu ketika ia berusia 21 tahun. Ia mulai aktif mengulik pelbagai rilisan fisik warisan dari ayahnya yang juga sebagai selektor untuk sound system bernama Jah Baddis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Joyland Festival Jakarta 2024, Danniella Dee tampil dengan format DJ set yang membawakan lagu-lagu lawas hingga terbaru bergenre reggae, dub, hingga ska. Dalam aksi panggungnya yang hanya sekitar tiga meter melingkar serta meja untuk DJ controller, ia tak henti memutarkan lagu-lagu selama 1 jam 30 menit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia juga kerap kali melontarkan kata-kata di sela-sela set lagu yang diputarnya, berisi muatan yang menyoroti konflik sosial di Afrika, kesetaraan gender, hingga perdamaian.
“If Africa is not free, nobody is free!” seru Danniella Dee sembari jemarinya berjibaku di atas DJ controller. Tiga jam sebelum ia menyerukan kata-kata itu dan seruan lainnya, wartawan Tempo, Bagus Pribadi, berbincang dengannya mengenai latar belakang musiknya.
Dee menuturkan perihal metodenya memilih musik reggae saat tampil sebagai DJ set, nilai dan pengaruh reggae di tengah kehidupan sosial, hingga proses kreatifnya dalam berkarya. Saat ini ia telah merilis satu mini album bertajuk Reflections pada tahun lalu yang berisi lima lagu bernuansa soul dan R&B.
Materi-materi dalam Reflections mengekspresikan kesetaraan gender, perenungan diri, hasrat romantis, hubungan platonis, hingga tujuan dan cara orang menjalani hidup.
Halo, selamat datang di Indonesia. Bagaimana perasaan Anda sejauh ini?
Saya merasa sangat-sangat diterima orang Indonesia sejauh ini, sangat ramah dan penuh perhatian dan saya sangat bersyukur atas cuaca yang hangat karena di Inggris saat ini dingin sekali. Saya menikmati setiap momen di sini.
Komentar Anda di salah satu unggahan di Instagram Joyland, bahwa ini pertama kalinya bermain di Indonesia dan bersemangat. Bagaimana persiapan Anda untuk tampil di acara ini, apakah ada persiapan khusus?
Karena ini pertama kalinya bagi saya dan saya seorang DJ, saya memilih lagu-lagu yang menjadi favorit saya dan paling dekat di hati saya. Lagu-lagu yang terbaik dari yang terbaik. Jadi saya ingin memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang datang ke Joyland dan juga beberapa hal baru, beberapa lagu baru.
Bagaimana cara Anda memilih dan memetakan musik-musik reggae yang ingin dimainkan setiap kali hendak tampil?
Musik reggae yang saya mainkan, kebanyakan gaya tradisional, gaya lama, tetapi juga ada yang gaya baru. Jadi saya suka menyiapkan remix musik dan mengajak orang-orang mengeksplorasi dan berkelana ke wahana masa lalu dan masa kini. Saya ingin memberi orang-orang rasa dan gaya yang berbeda. Jadi, ya, saya punya remix yang bagus dan saya pikir orang-orang akan sangat menikmatinya.
Anda baru saja merilis mini album bertajuk Reflections. Dapatkah Anda ceritakan bagaimana proses kreatifnya hingga bisa mendapatkan warna musik seperti itu?
Jadi memang saya juga membuat musik sekaligus menjadi DJ, dan musik yang saya buat lebih seperti soul atau R&B. Jadi saya menulis dan memproduksinya sendiri. Saya tidak tahu, tapi setiap lagu yang saya tulis pola dan caranya berbeda-beda. Semacam panggilan ilahi dari Tuhan. Jadi, ya, saya merilis mini album ini tahun lalu dan saya telah memperoleh banyak dukungan dari orang-orang Indonesia juga. Jadi saya sangat senang berada di sini dan akhirnya berbagi momen spesial dengan mereka melalui musik.
Apakah Anda berniat membuat album atau lagu reggae?
Hahaha, iya, saya melakukannya. Jadi, saya akan membocorkan sedikit rahasia. Saya sudah punya lagu reggae, sedang dalam proses pembuatan. Kemudian tahun depan saya akan merilis album pertama saya. Jadi, saat saya kembali nanti, saya akan membawa beberapa rekaman untuk dijual kepada orang-orang.
Nanti apakah kamu akan merilis single dulu atau langsung album penuh?
Single dulu kemudian album pasti menyusul.
Sebagai seorang selektor, bagaimana Anda akhirnya memainkan lagu-lagu reggae, dub, dan sejenisnya?
Itu karena pengaruh keluarga. Keluarga saya jelas-jelas tempat saya memulainya. Ayah saya, dia adalah seorang selektor. Dia dulu mengelola sound system pada tahun 70-an yang disebut Jah Baddis, ini sound system reggae pertama di Coventry, yang merupakan kota asal saya di Inggris. Ayah saya waktu itu melakukan tur keliling dunia, menjadi DJ dengan berbagai band. Saya tumbuh besar menyaksikan dia memainkan reggae.
Awalnya saya tak berniat berkarier di jalan itu. Tapi ketika saya berusia sekitar 21 atau 22 tahun, saya mulai mengeksplorasi dan mendengarkan berbagai sound system. Itu benar-benar sebuah pengalaman, tidak hanya mendengarkan musik, tetapi Anda merasakannya di seluruh tubuh Anda. Dan itu sangat membangkitkan semangat Anda. Jadi, saya ingin menjadi bagian dari itu. Saya punya banyak koleksi rilisan fisik dari warisan ayah, jadi saya pikir, mengapa tidak.
Reggae salah satu musik yang erat hubungannya dengan agenda pembebasan dan perdamaian. Lirik-liriknya kerap kali berbicara soal konflik sosial dan lainnya…
Iya, menurut saya berasal dari Jamaika dan orang-orang di sana, jika kita tilik sedikit tentang sejarahnya, mereka menghadapi banyak persekusi dan perjuangan karena perbudakan. Jadi, musik reggae adalah cara untuk mengekspresikan rasa sakit dan nyeri itu, sekaligus menyerukan kemerdekaan, menyerukan pembebasan. Itu juga cara bagi orang-orang untuk terhubung dengan spiritualitas mereka, spiritualitas sejati mereka.
Menurut saya musik reggae di zaman sekarang ini sangat hebat dan sangat penting bagi seluruh dunia, khususnya bagi Afrika. Karena Afrika adalah rumah bagi peradaban manusia, dan jika Afrika tidak merdeka dan terbebaskan, seluruh dunia tidak akan bebas.
Jadi itu sangat penting, dan pesan yang dibawa oleh musik reggae mempromosikan pembebasan dan kebebasan Afrika.
Saya lihat Anda sangat menggemari album Africa Must Be Free (1983) milik Hugh Mundell?
Itu salah satu album reggae favorit saya, karena Hugh Mundell, masih sangat muda, usianya 14 tahun waktu itu. Dia terinspirasi oleh ajaran dan pesan Rastafari, yang bukan agama, tetapi lebih kepada cara hidup. Rastafari berasal dari Jamaika untuk menghubungkan orang Jamaika dengan warisan dan spiritualitas Afrika mereka. Dan sejak usia muda, ia menggunakan prinsip-prinsip ini untuk menginspirasi musiknya. Album ini sangat inspiratif dan personal bagi saya, pesannya sangat kuat.
Bagaimana rasanya memainkan musik reggae yang secara harfiah berasal dari Jamaika dan erat dengan Afrika, namun ada memulainya dari Coventry, Inggris?
Coventry juga punya sejarah musik yang kaya. Ada band-band di Coventry yang memadukan musik orang kulit hitam dan kulit putih secara bersamaan. Anda tahu, kami memiliki banyak keberagaman dalam masyarakat.
Jadi musik reggae sangat dihargai, dan datang dari kota kecil, saya pikir itu penting. Itu memberi saya kekuatan karena semua orang berpikir ketika Anda datang ke luar negeri, “oh, Anda dari Inggris, oke, London, London.” Tidak, saya dari Coventry! Jadi itu memberi saya kesempatan untuk mempromosikan kota saya, Coventry, dan mengatakan inilah yang kami semua lakukan. Kami menyukai musik reggae, ami memiliki sejarah yang hebat, dan saya bagian dari itu.
Jadi di Coventry, kami memiliki gerakan musik besar di tahun 70-an dan 80-an seperti misalnya label rekaman Two Tone. Ada juga band-band seperti The Specials, The Selector, dan juga English Beats. Mereka memadukan musik punk Inggris dengan ska sekaligus reggae Jamaika, dan menghasilkan suara yang benar-benar baru dan unik di Coventry. Tujuannya untuk menyatukan orang kulit putih dan orang kulit hitam. Itu juga membantu menyembuhkan rasisme dan ketegangan rasial yang diderita Inggris sejak tahun 70-an.
Jadi musik berperan dalam banyak hal baik untuk dunia, dan dapat melakukan banyak hal baik untuk menyatukan orang jika Anda memasukkan pesan yang tepat dalam musik.