Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Celios Sebut Tak Ada Urgensi Program Transmigrasi Lokal Warga Terdampak Rempang Eco City

Direktur Hukum Celios Mhd Zakiul Fikri mengkritik rencana pemerintah melaksanakan program transmigrasi lokal untuk warga terdampak Rempang Eco City.

7 April 2025 | 12.48 WIB

Usai merayakan Isra' Mikraj warga Rempang menyatakan orasi tolak PSN Rempang Eco City, 30 Januari 2025. TEMPO/Yogi Eka Sahputra
Perbesar
Usai merayakan Isra' Mikraj warga Rempang menyatakan orasi tolak PSN Rempang Eco City, 30 Januari 2025. TEMPO/Yogi Eka Sahputra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (Celios) Mhd Zakiul Fikri mengatakan tidak ada urgensi pelaksanaan program transmigrasi lokal warga terdampak proyek Rempang Eco City di Kota Batam, Kepulauan Riau.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Fikri, penggunaan istilah transmigrasi lokal juga tidak tepat. Sebab, narasi tersebut digunakan untuk memindahkan penduduk karena ada pembangunan dan investasi. Padahal, Fikri menjelaskan, perpindahan penduduk dalam suatu wilayah karena lahannya terdampak pembangunan telah mempunyai istilah sendiri dalam peraturan perundang-undangan,yakni relokasi. Aturannya terdapat dalam berbagai regulasi sektoral, seperti UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan Perpres Nomor 62 Tahun 2018 juncto Perpres Nomor 78 Tahun 2023 tentang Penangan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Kepentingan Nasional.

“Istilah transmigrasi lokal merupakan upaya mengelabuhi masyarakat,” kata Fikri kepada Tempo pada Jumat, 4 April 2025.

Fikri juga mengatakan, transmigrasi—sebagaimana ketentuan asal 1 angka 2 UU No. 15 Tahun 1997 juncto UU Nomor 29 Tahun 2009—diartikan sebagai perpindahan penduduk secara sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan. Karena itu, ia mempertanyakan bagaimana pemerintah melihat kondisi warga Pulau Rempang yang akan menjadi subjek program ini.

“Apakah warga kampung tua di Rempang saat ini hidup tidak sejahtera? Pemerintah seolah abai dengan perekonomian dan budaya yang sedang berlangsung di sana,” kata Fikri.

Menurut Fikri, warga Pulau Rempang selama ini sejahtera dengan menggantungkan hidup pada laut dan kebun. Mereka pun turut menyumbang sebagian besar sumber pangan untuk Kota Batam. Warga Rempang tidak perlu direlokasi maupun menjadi transmigrasi, sekalipun pemerintah membawa latar belakang persoalan pemerataan pembangunan.

“Justru pemindahan paksa warga kampung tua Rempang berpotensi merusak ekosistem ekonomi yang selama ini telah berjalan,” kata Fikri.

Transmigrasi lokal warga terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City digagas Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanagara. Ia mengklaim tidak ada pemaksaan bagi warga Rempang untuk ikut pogram transmigrasi. Namun, ia menjelaskan bahwa transmigrasi berbeda dengan relokasi. Transmigrasi, kata dia, bukan sekadar memindahkan penduduk tetapi mencakup program peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah pun akan membangun kawasan transmigrasi yang dilengkapi dengan tempat tinggal, ketersediaan lapangan kerja, serta adanya fasilitas pendidikan dan kesehatan. "Dan di situ ada masa depan," kata Iftitah Sulaiman saat berdialog dengan warga Kampung Pasir Panjang, Kelurahan Sembulang, Kota Batam, pada Minggu, 30 Maret 2025.

Sebelumnya, Iftitah juga menyampaikan bahwa bahwa Pulau Rempang dirancang sebagai kawasan transmigrasi karena ada potensi industri pasir silika yang bisa dibangun. Selain itu, sudah ada investor yang siap berkolaborasi, yakni Xinyi Group, dengan estimasi nilai investasi awal Rp 198 triliun. Iftitah Sulaiman mengklaim penataan Kawasan Transmigrasi Rempang akan bermanfaat untuk masyarakat lokal. Terlebih, menurut dia, ada potensi penciptaan lapangan kerja mulai dari 57 ribu hingga 85 ribu orang dari industri tersebut. Iftitah memastikan warga Rempang bisa terserap menjadi tenaga kerja. 

“Saya sudah bicara dengan perwakilan investor, dari PT MEG (Makmur Elok Graha/pengembang Rempang Eco City), mereka menjamin 100 persen. Nanti akan dilakukan pelatihan untuk mereka (warga Rempang) masuk (jadi tenaga kerja)" kata dia. Ia juga tidak mempersoalkan warga yang tetap ingin menjadi nelayan. Malah, ia berjanji akan memberi pendampingan. 

Namun hingga kini, mayoritas warga terdampak Rempang Eco City menolak program tersebut. Miswadi, warga Rempang sekaligus pengurus Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB), menyatakan warga sudah sejahtera tanpa PSN maupun transmigrasi. Alih-alih setuju dipindahkan dari kampungnya, warga menuntut pemerintah memberi legalitas kampung tua di Rempang.

“Kami sudah hampir 6 generasi di sini,” kata Miswadi kepada Tempo, Sabtu, 5 April 2025. “Tanpa Rempang Eco City, kami tetap sejahtera.”

Sebelumnya, Sani Rio—warga yang hadir dalam sesi dialog bersama Iftitah di Kampung Pasir Panjang pada Ahad, 30 Maret 2025—juga menuntut pengakuan secara hukum atas kepemilikan lahan tempat tinggal. Rio menuturkan, warga Pulau Rempang tidak ingin dipindah karena mereka sudah hidup di Pulau Rempang sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Salah satu buktinya, ia memiliki nenek berusia 105 tahun.“Kalau ada warga masuk (Rempang), silakan. Bukan kami yang harus digeser,” ucapnya.

Pilihan Editor: Turun Rp 23 Ribu, Harga Emas Antam Hari Ini Rp 1.758.000 per Gram

 

 

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus