BARAT belanga, Konperensi Hukum Laut PBB III itu mengumpulkan
baik bangsa yang di gunung, maupun yang ada di tepi laut. Pekan
lalu di Jamaika, rembukan yang sudah berlangsung sejak 1973 itu
sampai pada upacara penandatanganan sebuah Konvensi Hukum Laut
yang baru - yang akan menggantikan kedudukan Konvensi-konvensi
ukum Laut Jenewa 1958, buah konperensi PBB yang pertama dalam
menata samudra.
Penandatanganan oleh wakil-wakil negara peserta konperensi itu
merupakan salah satu rentetan dari jajaran prosedur sehingga
suatu kesepakatan internasional berlaku secara resmi. Akan ada
proses ratifikasi, yakni pengundangan dari persetujuan tersebut
pada badan-badan perwakilan masing-masing negara. Kemudian
pengiriman dokumen ratifikasi itu pada Sekjen PBB, dan akhirnya,
dalam hal konvensi yang baru ini, penantian masa 1 bulan
setelah pendepositoan instrumen ratifikasi yang ke-60.
Kandungan konvensi sendiri, tiada lain dari materi Rancangan
Konvensi sebagaimana yang telah diterima pada sidang konperensi
yang kesebelas April lalu di New York (TEMPO, 12 Juni, Kolom).
Ia memang banyak berbeda dengan Jenewa--maklum Konperensi III
ini justru dimaksudkan untuk menampung dan meramu hasrat baru
umat manusia yang terus menggelora dan berselera terhadap
samudra. Luapan hasrat itu, tak alang, telah menerbitkan
beberapa klaim sepihak. Ada yang menyangkut zone perikanan, zone
eksklusif lain, negara nusantara, laut patrimonial, serta laut
teritorial yang lebarnya beraneka.
Bagi pengamat, sebagian besar isi konvensi 1982 ini tiada lain
dari perumusan formal perilaku bangsa-bangsa terhadap laut--baik
yang pahamnya telah terkandung dalam Jenewa dan pra-Jenewa,
maupun konsepsi yang tumbuh setelah kedua era tersebut. Kentara
bahwa konvensi memberikan perhatian yang besar terhadap
perluasan yurisdiksi nasional suatu negara pada porsi-porsi laut
tertentu--tanpa meluaskan wdayah negara tersebut.
Dengan kacamata lain konvensi tampak menurutkan angin yang
dihembuskan oleh kelompok negara-negara berkembang, walaupun
dari mereka ada yang menolak konvensi. Juga diperhatikan
negara-negara yang wilayahnya tak pernah dibasahi oleh air asin.
Konvensi, alias kesepakatan itu, adalah hukum bagi mereka yang
menjadi pihak atau peserta. Perkembangan terakhir menunjukkan
bertambahnya negara yang tidak akan menandatangani perjanjian
ini - padahal dalam sidang ke-11 yang lalu, komposisi suara
adalah 130: 17: 4, masing-masing untuk setuju, menolak dan
abstain. Toh, dihitung-hitung, konvensi ini masih akan dapat
memenuhi syarat formal bagi keberlakuannya.
***
Boleh dibilang, konsepsi laut teritorial (territorial seas)
adalah pengisi halaman pertama album hukum laut--setelah
sebelumnya orang dengan santai memperlakukan laut hanya
kebebasan. Terbisiklah hasrat bangsa-bangsa waktu itu: mengapa
negara hanya bcdaulat di wilayah darat saja, ya berikanlah
sedikit bagian lau sehingga kami menjadi amir-al-bahr alias
penguasanya. Setlah melalui berbagai perdebatan, akhirnya
sarjana Bartohls ambil pena: "perairan pantai yang membasahi
suatu negala adalah bagian dari negara itu."
Konvensi 1982, seperti halnya Jenewa dan pemikiran jauh sebelum
masa itu, sepaham dengan pandangan tersebut. Hanya seperti telah
diketahui konvensi sekarang telah berani menetapkan batas laut
teritorial sampai dengan 12 milwalaupun penetapan ini tidak
terasa lagi sebagai sesuatu yang spektakuler.
Biarpun laut teritorial itu wilayah negara pantai, ia harus
tetap terbuka bagi pelintasan pelayaran internasional. Seperti
pada Jenewa, istilahnya sama: lintas damai (innocent passage).
Hanya pada Jenewa, yang disebut damai ini tak jelas selain bahwa
pelintasan tersebut tak boleh membahayakan "perdarnaian,
ketertiban umum atau keamanan" negara pantai. Apa itu?
SEKARANG konvensi menjabarkan gangguan terhadap tiga unsur
tersebut sebagai perbuatan-perbuatan yang dilakukan kapal yang
melintas yang berhubungan dengan: + ancaman atau penggunaan
kekuatan yang diarahkan terhadap kedaulatan, integritas wilayah
atau kemerdekaan politis negara pantai + penggunaan senjata
dari jenis apa pun + peluncuran dan pendaratan pesawat di
kapal + pelaksanaan riset dan survei dan + pencemaran serius.
Negara pantai dengan alasan apa pun tak boleh menghalang-halangi
pelintasan tersebut. Di lain pihak para kapal asing itu harus
mematuhi segala ketentuan yang dikeluarkan negara pantai. Tak
salah, bila orang mengatakan hukum tentang lintas damai ini
sebagai kompromi antara kepentingan ncgara pantai dan pelayaran
internasional.
***
Konvensi tak melupakan selat "yang dipergunakan oleh pelayaran
internasional" sebagaimana termaktub dalam Bagian III. Jadi
memang bukan sembarang selat.
Ambil misal Selat Malaka. Karena Malaysia dan Indonesia
menyatakan lebar laut teritorial masing-masing 12 mil, praktis
bagian terbesar dari jalur laut itu jatuh sebagai wilayah
mereka. Padahal ketergantungan masyarakat bangsa-bangsa
terhadapnya bukan kepalang. Dari tempo dulu, masa Hang Tua, dan
era supertanker sekarang, ia selalu padat dan sekaligus telah
jadi bonanza Singapura.
Untuk selat semacam ini, pelintasan kapal asing (dan pesawat
terbang) dijamin. Lintas transit (transit passage) gelarnya.
Walau dengan tujuan yang sama, lintas transit terasa lebih
longgar ketimbang lintas damai. Bukankah pelintasan itu
dikatakan konvensi sebagai "pelaksanaan kebebasan pelayaran dan
penerbangan" untuk kepentingan transit yang tidak terputus-putus
dan cepat? Soalnya memang jenis selat padanya.
***
Beruntung Indonesia, dan negara bergeografi sama, karena
konsepsi negara nusantara (arc hipelagic State) terang-terangan
ditampilkan berdasarkan praktek yang telah dilakukan negara
itu--bahkan ditempatkan di lembaran yang agak di depan (Babian
IV). Dari sekian pasal tentang itu, terbaca definisi
archipelagic State dan archipelago sendiri diartikan sebagai
"segugusan pulau (atau bagian pulau), perairan yang
menghubungkan mereka dan bangunan alamiah lain, yang berhubungan
erat satu sama lain, sehingga pulau-pulau itu beserta perairan
dan bangunan alamiah tersebut membentuk suatu kesatuan
geografis, ekonomis dan politis yang intrinsik, atau yang secara
historis dapat diperhitungkan demikian."
MASIH ada syarat-syarat lain, yang tampak mendetail dan juga
ketil. Mungkin harus begitu. Sebab kesatuan perairan dan daratan
ini adalah wilayah negara nusantara, dan pada tanah air itu
terhunjam kedaulatannya. Misalnya soal perbandingan luas
perairan dan daratan yang harus berkisar pada 1: 1 dan 9: 1.
Rasio perairan dan daratan Indonesia, menurut ahli, adalah 1« : 1
- jadi bisa pas.
Perairan dan daratan ini dipagari oleh garis-garis pangkal lurus
yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau pada
bagian yang paling pinggir pula. Perairan di dalam garis-garis
lurus ini disebut sebagai perairan nusantara (archipelagic
waters). Ke arah luar selebar 12 mil adalah laut teritorial dari
negara itu. Kalau ia hendak mengklaim zone-zone lain seperti
diatur konvensi ini maka garis-garis pangkal tadi merupakan
dasar beranjak (TEMPO, 6 Maret, Kolom).
Pelayaran, dan penerbangan, dijamin di perairan nusantara
tersebut--jadi ada hak lintas damai seperti tersebut di atas.
Sementara itu, kalau mau, negara pantai dapat menetapkn alur
lintas nusantara (archipelagic sealanes passage) dan sistem
pemisahan lalulintas (traffic separation scheme)--yang berguna
bukan saja bagi keamanan pelayaran, tapi bagi kemudahan
pengontrolan oleh negara nusantara itu sendiri.
Singkat kata, memang sepantasnya Menlu Mochtar puas dengan
klausa-klausa tentang rumusan yang antara lain menyangkut
tentang negara yang diwakilinya.
***
Manusia tanpa ikan, tentu bagaikan tanaman tanpa air. Dan ikan
itu liar adanya. Tiada kenal batas wilayah. Maka kalau nelayan
sudah siap dengan pukat di areal 12 mil negaranya, dan tiba-tiba
ikan itu lari, apa daya?
Menurut Konvensi Jenewa, negara pantai terdekat memang
diprioritaskan untuk menggarap sumber daya alam (SDA) ini.
Konvensi 1982 ingin memasukkan unsur-unsur lain: pokoknya
pengusahaan ekonomis segala macam SDA di kolom air, dasar laut
dan tanah di bawahnya--serta mengeksklusifkannya bagi negara
pantai pada jarak 200 mil dari pantai.
Untuk memanfaatkan anugerah tersebut negara pantai mempunyai hak
untuk mendirikan instalasi dan bangunan lain di zone tersebut,
asalkan perbuatan itu tidak bertabrakan dengan kepentingan
pelayaran, dan hak-hak negara lain untuk melaksanakan asas
kebebasan di laut lepas. Jadi kentara, ZEE hanya merupakan
pertambahan areal potensi
SDA bagi negara pantai, sama sekali bukan perluasan wilayah Tapi
mengelola SDA pada areal yang amat luas ini agaknya tidak
semudah yang dihitung-hitung secara yuridis saja.
Banyak langkah yang harus dibuat oleh negara pantai:
menginventarisasi SDA, menentukan kuota penangkapan ikan,
mengukur kemampuan tangkap, mengatur akses bagi pihak lain atas
surplus ikan, dan, yang penting, mensejajarkan kesempatan
mengusahakan sumber dan mengkonservasikannya.
Ketidakpuasan atas pengaturan landas kontinen (continental
shelf) merupakan salah satu pendorong diterbitkannya konvensi
yang sekarang. Seperti tersebut pada Jenewa, negara pantai
berhak mengusahakan SDA yang terdapat di dasar dan tanah bawah
laut sampai dengan kedalaman 200 meter. Apa arti ukuran
kedalaman itu bagi AS, Belgia, Jepang, bahkan Uni Soviet sekali.
Nun di pedalaman ribuan mil pun mereka dapat bergiat.
Tapi sebetulnya hukum cukup cendekia waktu itu. Dalam Konvensi
Jenewa terbaca batasan alternatif: hak negara pantai itu dapat
diteruskan pada kedalaman lebih dari 200 meter, asalkan masih
mungkin tereksploitasinya SDA. Tapi ini dirasa tidak memberi
kepastian bisa anarki nanti, yang kuat tambah kuat, tanpa yang
lemah ikut terangkat.
Sekarang yang namanya landas kontinen, oleh konvensi disebutkan
sebagai kepanjangan alamiah dari wilayah darat sampai ke pinggir
terluar dari tepian kontinen (the outer edge of the continental
margin). Tapi ini pun bisa tak adil. Beberapa negara Amerika
Latin bisa menggerutu. Konvensi punya resep lain, sebagaimana
tercantum dalam Bagian VI: dalam hal pinggir terluar dari tepian
kontinen itu kurang dari 200 mil, si negara pantai dapat
meneruskan klaimnya sampai ke ukuran tersebut. Masih ada
pembatasan lagi: klaim terhadap landas kontinen ini tidak boleh
lebih dari jarak 350 mil dari pantai.
Apa yang boleh dilakukan di landas kontinen ini, telah
diketahui. Namun perhatian: kalau Tuan berhasil mengeruk SDA di
luar batas 200 mil, sumbangkan sekian persen bagi masyarakat
internasional. International Seabed Authority akan
menyalurkannya kemudian dengan memperhatikan kepentingan
negeri-negeri berkembang.
***
Sekarang tinggal porsi samudra di luar peta kapling-kapling di
atas. Mau diapakan, dan oleh siapa serta bagaimana? Ini perkara
hangat dan tambah besar karena Bagian XI Konvensi inilah yang
ditolak AS, setidaknya oleh pemerintahan Reagan sekarang. Dan
karena itu ia tidak bersedia menandatangani konvensi.
KALAU sedikit diulang cerita maka duduk perkaranya sederhana:
satu pihak menganggap karena daerah tersebut berada di luar
yurisdiksi nasional, maka siapa yang duluan, dan bisa menggaruk
SDA di situ, dia yang mendapat. Kelompok lain tak sepaham:
daerah tersebut dan SDA-nya adalah warisan bersama umat manusia,
karena itu hanls ada aturan main pengelolaannya. Isu itu timbul
berkat adanya pengetahuan akan kekayaan alam yang berlimpah. Dan
irli pun, tentu, berkat ketekunan penelitian dan upaya yang
dilakukan lama oleh sekelompok negara maju.
Dan konvensi tampak menganut paham yang kedua. Ditetapkannya
daerah itu, yang disebut Area, sebagai wadsan bersama umat
manusia. Dibentuk International Seabed Authority yang mewakili
umat ini. Ini diikuti dengan serentetan prinsip-prinsip
pengusahaan, antaranya demi mencapai pola perekonomian dunia
yang sehat dan pola perdagangan yang seimbang.
Ketentuan-ketentuan pengusahaan SDA di Area bertubi-tubi
tercantum dalam Bagian XI, dan beberapa Annex. Misalnya tentang:
proses perizinan, pembatasan produksi, alih teknologi, kedudukan
ISA dan organ-organnya, dan seterusnya.
Inti pengaturan konvensi adalah pada perlunya kendala teriladap
pengurasan kekayaan yang bersifat liberal demi kepentingan umat
manusia, dan tersertakannya ISA melalui badan usahanya yang
bernama Enterprise dalam proses penambangan serta sekaligus
bermaksud memindahkan teknologi dari bangsa yang maju ke bangsa
yang sedang berkembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini