Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sedang gonjang-ganjing.
Bank Indonesia berusaha mengatasinya dengan menawarkan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI).
Lemahnya daya saing imbal hasil SVBI membuat pemain asing enggan masuk ke pasar SVBI.
Haryo Kuncoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gonjang-ganjing nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat belakangan ini tampaknya “memaksa” Bank Indonesia (BI) mengeluarkan semua jurusnya. Jurus kebijakan moneter terbaca dari pengerekan suku bunga acuan, BI 7-Day Reverse Repo Rate, sebesar 25 basis point hingga di posisi 6 persen.
Kiat menaikkan suku bunga acuan ini bisa dipandang sebagai langkah antisipasi dan berwawasan jauh ke depan dalam memitigasi dampak ketidakpastian global. Sebagai contoh, bank sentral Amerika, The Fed, diprediksi menaikkan suku bunganya dua kali lagi hingga pengujung tahun ini.
Jika tidak dikerek, BI 7-Day Reverse Repo Rate akan sama besar dengan suku bunga The Fed. Minimnya selisih antara suku bunga Amerika dan Indonesia akan memantik pelarian modal ke Amerika. Negeri Abang Sam dianggap sebagai negara paling aman dari risiko lantaran merupakan sumber dari ketidakpastian itu sendiri.
Tidak berhenti sampai di situ, BI secara simultan juga akan merilis Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI). Ini adalah sekuritas berdenominasi valuta asing (valas) yang diterbitkan BI sebagai pengakuan utang jangka pendek. Sebelumnya, BI menerbitkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Di pasar perdana, SRBI dan SVBI hanya dapat dibeli oleh bank umum peserta operasi pasar terbuka. Di pasar sekunder, keduanya bisa dipindahtangankan oleh bank umum kepada pihak nonbank, baik warga negara Indonesia maupun asing. Masuknya pemain asing diyakini mampu mendukung pasokan valas guna menstabilkan nilai tukar rupiah.
Kendati jurus penerbitan SVBI sangat strategis, efektivitasnya masih bisa diperdebatkan. Aset rujukan penerbitan SVBI adalah surat berharga global yang dimiliki BI. Namun, sejalan dengan dedolarisasi yang dimotori Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan (BRIC), nilai surat berharga global berdenominasi dolar Amerika lambat laun akan merosot.
Karena itu, minat pemain asing untuk memegang SVBI tidak serta-merta menjelma permintaan riil. Sukses besar dalam lelang perdana SRBI tidak bisa menjadi jaminan. Kelebihan penawaran SRBI itu hanya terjadi antara perbankan dan BI, alih-alih transaksi antara perbankan dan pemain asing.
Mata rantai transaksi dari surat berharga global hingga “bermetamorfosis” menjadi SVBI yang siap jual kepada pemain asing toh selalu ada ongkosnya. “Harga” SVBI di tingkat pembeli akhir niscaya jauh lebih mahal. Konsekuensinya, prospek imbal hasil yang akan diterima pemain asing tadi juga kian tergerus.
Kalaupun persoalan ekspektasi imbal hasil bisa dituntaskan sejak dini, cerita jurus SVBI tampaknya belum berakhir. Faktor risiko menjadi pertimbangan yang amat dominan dalam menentukan keputusannya. Peranti moneter SVBI, yang akan diterbitkan mulai 21 November nanti, bertenor 1, 3, 6, 9, dan 12 bulan. Komposisi tenor SVBI itu akan langsung berhadapan muka dengan instrumen serupa yang ditawarkan negara lain. Upaya menarik masuk aliran “uang panas” dengan jangka sangat pendek itu juga ditempuh oleh negara-negara sepantar. Artinya, tingkat persaingan untuk memperebutkan modal asing itu betul-betul terbuka.
Sementara itu, perbedaan besaran suku bunga antara pasar keuangan Indonesia dan pasar berkembang lain belakangan ini terus menyempit. Perbankan, sebagai pembeli pertama SVBI, niscaya akan menuntut suku bunga diskonto tinggi. Pemain asing juga menghendaki imbal hasil yang kompatibel.
Pertanyaan besarnya, apakah imbal hasil SVBI yang diterima pemodal asing cukup material relatif terhadap berbagai risiko yang ada? Betul bahwa imbal hasil yang tinggi senantiasa diikuti dengan risiko yang tinggi pula. Namun lemahnya daya saing imbal hasil SVBI membuat pemain asing enggan masuk ke pasar SVBI.
Dengan demikian, harapan agar pemain asing mau memegang SVBI sebagai aset alternatif mensyaratkan ikhtiar ekstra. Apalagi pasar sekunder untuk memfasilitasi transaksi sekuritas belum sekuat di negara lain. Intinya, penerbitan SVBI mesti dibarengi dengan pengembangan semua perangkat yang melingkupinya.
Bagaimanapun, imbal hasil dan risiko dari transaksi SVBI selalu melibatkan lebih dari dua nilai mata uang. Untuk itu, BI perlu segera menyiapkan instrumen perlindungannya. Melalui mekanisme lindung nilai (hedging) tertentu, investor asing akan memiliki wahana untuk mengelola imbal hasil SVBI sekaligus imbal korbannya.
Andai kata sejumlah isu di ekosistem permintaan tersebut dapat diselesaikan, jurus SVBI niscaya akan dinantikan pemain asing sebagai aset alternatif di pasar valas. Pada akhirnya, ketersediaan pasokan valas, pendalaman pasar keuangan, dan stabilisasi nilai tukar rupiah akan tercapai berbarengan.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo