Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERANG selalu punya saat yang heroik, tapi juga yang absurd.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita bisa lebih tajam melihatnya dalam tragedi. Di satu adegan yang jarang diingat dalam Hamlet, karya Shakespeare, Hamlet menyaksikan pasukan Norwegia berangkat bertempur melawan pasukan Polandia. Ia bertanya kepada kapten yang memimpin barisan untuk apa mereka maju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jawab si kapten: untuk merebut sepetak tanah—yang sebenarnya tak berharga buat siapa pun. We go to gain a little patch of ground/That hath in it no profit but the name.
Sang kapten bukan tentara yang bersemangat tampaknya, tapi justru karena itu, Hamlet, pangeran Denmark yang peragu itu, takjub: ternyata orang bisa siap menghadapi bahaya dan kematian “bahkan untuk sekerat cangkang telur”. Ternyata orang bersedia “mempertengkarkan sebatang lidi, ketika kehormatan dipertaruhkan”.
Kini kulihat 20 ribu orang,
mungkin terangsang khayal atau teperdaya kemasyhuran,
berangkat buat mati, berbaris ke kubur,
seakan-akan pergi tidur,
dan berkelahi, demi sepetak bumi,
yang bahkan tak cukup luas untuk jadi makam
yang akan menyembunyikan tubuh
mereka yang terbunuh.
•
Pelbagai epos—kisah keperwiraan—sebenarnya tak cuma menceritakan heroisme, tapi juga menunjukkan absurditas itu.
Dalam perang yang dikisahkan Homeros di abad ke-6 Sebelum Masehi, penguasa Sparta mengerahkan armada Yunani buat menyerbu Troya, 637 kilometer jauhnya di wilayah Turki. Perang berlangsung sengit 10 tahun. Korban berjatuhan. Tindakan heroik terjadi berkali-kali. Tapi semua itu karena Paris, pangeran Troya, merebut hati Helena, permaisuri raja Sparta yang cantik dan tak setia. Kita tahu Troya akhirnya hancur, karena Paris tak mau memulangkan Helen kepada suaminya.
•
Dalam perang modern yang bukan fiktif, negara-negara tak berebut “sekerat cangkang telur” atau istri yang dicuri. Perang imperialisme dan Perang Dunia—juga Perang Ukraina hari-hari ini—tak sekadar “berkelahi demi sepetak bumi” yang tak berharga. Tapi mereka absurd karena digerakkan ilusi tentang ruang dan kekuasaan.
Perang Ukraina hari-hari ini bisa dilihat sebagai ledakan rasa kecewa dan curiga Putin terhadap kekuasaan Barat yang mangkir janji. Barat, 32 tahun yang lalu, berjanji untuk tak memperluas ruang kekuasaan NATO, tak “satu inci pun ke Timur”. Tapi ternyata NATO kini beranggotakan negara-negara bekas sekutu Uni Soviet. Dalam pidato Desember 2021, dengan nada tinggi Putin mengatakan, “Mereka mencurangi kita dengan sengit dan terang-terangan.”
Janji itu sebenarnya tak tertulis. Di tahun 1990 ia hanya diucapkan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat James Baker, sebagaimana ditulis M.E. Sarotte dalam Not One Inch: America, Russia, and the Making of Post-Cold War Stalemate (terbit 2021). Para pengambil keputusan di Barat tahu, perluasan NATO akan membuat Rusia merasa terancam. Presiden Prancis Jacques Chirac memperingatkan: perluasan wilayah NATO yang terlalu jauh dan terlalu cepat akan melukai Rusia. “Kita terlalu menghina mereka.”
Tapi sejarah dibangun dengan trauma dan harapan yang berlebihan. Para pemimpin Barat cemas: memperluas NATO berarti memperlakukan Rusia yang kalah dalam Perang Dingin sebagaimana Prancis memperlakukan Jerman yang kalah dalam Perang Dunia I. Jerman dilucuti, dipotong-potong, dan dihina. Tak ada sikap yang dalam kearifan Jawa disebut “menang tanpa ngasorake”—dengan akibat bangsa Jerman mendendam dan Hitler bangkit.
Tapi, di tahun 1990-an, negeri-negeri kecil di Eropa Timur belum lama lepas dari kendali Moskow. Mereka masih takut. Novelis Milan Kundera dari Cekoslovakia punya definisi tentang negara kecil: “sebuah negeri yang tahu dirinya akan lenyap kapan saja”. Dan mereka pun cepat-cepat masuk ke bawah payung NATO.
Dan NATO pun memproduksi ruang kekuasaan yang bertambah—melebihi sphere of impact Pakta Warsawa yang didesain Moskow.
Pada 1945, para pemimpin negara pemenang Perang Dunia II—Stalin, Roosevelt, dan Churchill—bertemu di Yalta, kota di Semenanjung Krimea, di tepi Laut Hitam. Di pertemuan itu mereka bagi Eropa jadi dua: Eropa Timur berada dalam “pengaruh” Rusia, Eropa Barat mempertalikan diri dengan aliansi Atlantik yang dipimpin AS.
Sejak itu, menurut sejarawan Inggris, Timothy Garton Ash, ada sebuah model ruang kekuasaan: “Yalta”.
Dalam pandangan Garton, model “Yalta” ini berbeda dengan kluster “Helsinki” yang tumbuh sejak 1975: sebuah Eropa yang terdiri atas negara-negara yang mandiri, yang bebas memilih aliansinya sendiri.
Dalam tulisannya untuk The Guardian, Garton menganggap Perang Ukraina adalah usaha Putin menegakkan “Yalta” baru, sedangkan Ukraina mempertahankan diri untuk model “Helsinki”.
Yang dilupakan Garton, hasil “Yalta”, NATO dan “Blok Timur” adalah hasil abstraksi: wilayah yang seakan-akan transparan, tak punya jebakan dan lubang-lubang rahasia.
•
Tapi di situlah ilusi berkembang.
Baik NATO maupun Rusia yang hendak kembali ditegakkan Putin diproduksi dengan “strategi” takhta yang tinggi.
Di sini saya pinjam istilah Michel de Certeau: strategi adalah tata dan sistem yang berpegangan pada peta yang dilihat dari luar. Ia dimanifestasikan kekuasaan besar yang—dan ini paradoksnya—tak bisa menangkap “taktik” yang rumit: gerak dan cara di bawah yang menyelundup ke dalam ruang, dalam fragmen-fragmen yang tak transparan, tapi suatu saat mengejutkan.
Perang Ukraina absurd, ketika negeri 43 juta orang itu dianggap tak akan ada “taktik”—sebuah antitesis diam-diam.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo