Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pers

Bagian I: Pendahuluan

A. Latar Belakang

Negara Indonesia menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan rasa aman, termasuk dari kekerasan dan kekerasan seksual. Hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Negara juga menjamin hak setiap orang atas pekerjaan yang layak sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dan hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui segala jenis saluran yang tersedia sebagaimana termaktub dalam Pasal 28F UUD 1945. Segenap hak tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan pemenuhan satu hak akan saling bergantung pada pemenuhan hak-hak lainnya, sebagaimana prinsip hak asasi manusia yaitu antara lain indivisibility (tak terbagi), interdependent (saling bergantung), dan interrelated (saling terkait).

Salah satu perwujudan kerja layak bagi wartawan sebagai pihak yang melaksanakan tugas jurnalistik adalah situasi yang aman dalam bekerja, termasuk bebas dari kekerasan seksual. Hal ini selaras dengan komitmen negara Indonesia yang mendukung dan menyetujui penetapan Konvensi ILO 190 tentang Konvensi Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dan Rekomendasi ILO 206 Tahun 2019 tentang Kekerasan dan Pelecehan pada 8 Juni 2019 dalam Sidang ILO di Jenewa. Konvensi ini menegaskan bahwa setiap orang di dunia kerja tidak boleh mendapatkan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.

Selain itu, Negara Indonesia telah memiliki sejumlah regulasi untuk menghapuskan kekerasan seksual. Pada 2022, Indonesia telah mengundangkan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Undang-Undang ini merupakan dasar hukum bagi setiap orang, lembaga, dan korporasi untuk mengambil langkah konkret pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Adapun terkait dengan kekerasan seksual di tempat kerja, pada 2023 Kementerian Tenaga Kerja RI telah menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.

Berbagai riset, peliputan media, dan pengalaman korban baik yang terdokumentasikan oleh lembaga penyedia layanan maupun oleh pers menunjukkan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Pelaku juga beragam, tak terkecuali di kalangan pers. Pelaku dapat merupakan rekan kerja, atasan baik di struktur redaksi maupun manajemen, narasumber, mitra kerja, atau pihak lain yang terkait dengan tempat kerja selama wartawan menjalankan tugas jurnalistik.

Perusahaan Pers, Organisasi Pers dan Dewan Pers mengemban tanggung jawab untuk menciptakan suasana yang aman bagi wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik, termasuk aman dari kekerasan seksual di tempat kerja. Oleh karena itu, Perusahaan Pers, Organisasi Pers dan Dewan Pers perlu memiliki pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

B. Tujuan

Pembentukan pedoman ini bertujuan:

  1. mencegah kekerasan seksual terhadap wartawan dan pekerja pers di tempat kerja, baik di dalam perusahaan pers dan organisasi pers maupun di luar perusahaan pers dan organisasi pers;
  2. sebagai acuan bagi perusahaan pers dan organisasi pers dalam melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap wartawan dan pekerja pers;
  3. sebagai acuan bagi wartawan dan pekerja pers untuk mendapatkan pelindungan dari kekerasan seksual;
  4. menciptakan ruang aman dan nyaman bagi setiap orang, baik di dalam perusahaan pers maupun di luar perusahaan pers;

C. Sasaran

Sasaran pedoman ini adalah:

  1. Perusahaan Pers.
  2. Organisasi Pers, meliputi organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
  3. Setiap orang dalam perusahaan pers dan di luar perusahaan pers yang terkait dengan kerja jurnalistik. Setiap orang dalam perusahaan pers meliputi pendiri, pengawas, pemegang saham, serta karyawan, tanpa membedakan status karyawan tetap, kontrak, magang, freelancer, telah mengundurkan diri, sedang melamar kerja, atau telah pensiun, baik dalam struktur redaksi maupun manajemen. Adapun setiap orang yang terlibat dengan perusahaan pers antara lain narasumber, penyedia informasi, penyedia barang dan jasa, dan pihak-pihak lain yang berinteraksi dengan wartawan selama menjalankan tugas jurnalistik.

Bagian II: Definisi Operasional

Dalam Pedoman ini, yang dimaksud dengan:

  1. Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan.
  2. Pers yang selanjutnya disebut Pedoman adalah petunjuk tertulis bagi perusahaan pers dan organisasi pers untuk membangun langkah konkret pencegahan kekerasan seksual dan menyediakan mekanisme penanganan kekerasan seksual di lingkungan pers.
  3. Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan Undang-Undang TPKS dan Undang-Undang lainnya.
  4. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
  5. Pekerja pers adalah orang yang bekerja di perusahaan pers atau organisasi pers.
  6. Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan Tindak Pidana Kekerasan Seksual, tanpa membedakan status karyawan tetap, kontrak, magang, freelancer, telah mengundurkan diri, sedang melamar kerja, atau telah pensiun.
  7. Pelaku adalah setiap orang yang melakukan kekerasan seksual di tempat kerja, tanpa membedakan status karyawan tetap, kontrak, magang, freelancer, telah mengundurkan diri, sedang melamar kerja, atau telah pensiun.
  8. Tempat Kerja adalah setiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, di mana wartawan dan pekerja pers bekerja, atau yang dimasuki wartawan dan pekerja pers untuk keperluan melaksanakan tugas jurnalistik atau mendukung pelaksanaan tugas jurnalistik, termasuk selama perjalanan, pelatihan, atau kegiatan terkait tugas jurnalistik, atau ruang komunikasi terkait pekerjaan termasuk komunikasi menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
  9. Pendamping adalah orang yang dipercaya dan memiliki kompetensi mendampingi Korban dalam mengakses hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan.
  10. Pencegahan adalah segala tindakan atau usaha yang dilakukan untuk menghilangkan berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan keberulangan Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
  11. Hak Korban adalah hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh Korban.
  12. Penanganan adalah tindakan perusahaan pers kepada korban terdiri dari penerimaan pelaporan/pengaduan, pendampingan korban pada lembaga penyedia layanan dan/atau Unit PPA Kepolisian, serta pemberian dukungan pemulihan korban.
  13. Organisasi Pers adalah organisasi perusahaan pers dan organisasi wartawan.

Selain definisi operasional tersebut, Pedoman ini mengidentifikasi perbuatan kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang dapat merupakan bentuk kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) sebagaimana dimaksud dalam UU TPKS. KBGO antara lain berupa:

  1. Pelanggaran privasi dengan cakupan mengakses, menggunakan, memanipulasi dan menyebarkan data pribadi, foto atau video, dan informasi dan konten pribadi tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan serta menggali dan menyebarkan informasi pribadi seseorang (doxing), kadang-kadang dengan maksud untuk memberikan akses untuk tujuan jahat lainnya, misal pelecehan atau intimidasi di dunia nyata.
  2. Pengawasan dan pemantauan dengan cakupan memantau, melacak dan mengawasi kegiatan daring atau luring; menggunakan spyware atau teknologi lainnya tanpa persetujuan; menggunakan GPS atau geo-locator lainnya untuk melacak pergerakan target; serta menguntit (stalking).
  3. Perusakan reputasi atau kredibilitas dengan cakupan membuat dan berbagi data pribadi yang salah (misalnya akun media sosial) dengan tujuan merusak reputasi pengguna; memanipulasi atau membuat konten palsu; mencuri identitas dan impersonasi (mis. berpura-pura menjadi orang tersebut dan membuat gambar atau postingan yang berpotensi merusak reputasi orangnya dan membagikannya secara publik); menyebarluaskan informasi pribadi untuk merusak reputasi seseorang; serta membuat komentar atau postingan yang bernada menyerang, meremehkan, atau lainnya yang palsu dengan maksud mencoreng reputasi seseorang (termasuk pencemaran nama baik).
  4. Pelecehan (yang dapat disertai dengan pelecehan luring) dengan cakupan online harassment, pelecehan berulang-ulang melalui pesan, perhatian, dan/atau kontak yang tidak diinginkan; ancaman langsung kekerasan seksual atau fisik; komentar kasar; ujaran kebencian, hinaan, dan/atau postingan di media sosial dengan target pada gender atau seksualitas tertentu; penghasutan terhadap kekerasan fisik atau menimbulkan permusuhan; konten online yang menggambarkan seseorang sebagai objek seksual; penggunaan gambar tidak senonoh untuk merendahkan; serta menyalahgunakan, mempermalukan seseorang karena mengekspresikan pandangan yang tidak normatif.
  5. Ancaman dan kekerasan langsung dengan cakupan perdagangan orang melalui penggunaan teknologi, termasuk pemilihan dan persiapan korban (kekerasan seksual terencana); pemerasan seksual; pencurian identitas, uang, atau properti; serta peniruan atau impersonasi yang mengakibatkan serangan fisik.
  6. Serangan yang ditargetkan ke komunitas tertentu dengan cakupan meretas situs, media sosial, atau email organisasi dan komunitas dengan niat jahat; pengawasan dan pemantauan kegiatan anggota komunitas/organisasi; ancaman langsung kekerasan terhadap anggota komunitas/organisasi; pengepungan (mobbing), khususnya ketika memilih target untuk intimidasi atau pelecehan oleh sekelompok orang, daripada individu; serta pengungkapan informasi yang sudah dianonimkan, seperti alamat tempat penampungan.

Bagian III: Pencegahan Kekerasan Seksual

A. Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Perusahaan Pers:

Dalam menyelenggarakan Pencegahan Kekerasan Seksual, Perusahaan Pers:

  1. Memberikan sosialisasi tentang penghapusan Kekerasan Seksual kepada seluruh karyawan dan jajaran direksi/pimpinan perusahaan pers.
  2. Menyelenggarakan program pelatihan mengenai penghapusan Kekerasan Seksual, meliputi antara lain pengetahuan tentang kekerasan berbasis gender, hak dan kesehatan seksual dan reproduksi, dan kesetaraan gender bagi seluruh karyawan dan jajaran direksi/pimpinan perusahaan pers. Program pelatihan ini dapat diselenggarakan secara mandiri oleh Perusahaan Pers atau melalui kerja sama dengan pihak lain.
  3. Mewajibkan setiap karyawan dan jajaran direksi/pimpinan perusahaan pers mengikuti program pelatihan di awal perekrutan atau memperbaharui pengetahuan kesetaraan gender secara berkala setelah bergabung dalam Perusahaan Pers.
  4. Mewajibkan setiap karyawan dan jajaran direksi/pimpinan Perusahaan Pers menandatangani pakta integritas penghapusan Kekerasan Seksual.
  5. Mengintegrasikan nilai-nilai penghapusan Kekerasan Seksual ke dalam peraturan dan budaya perusahaan pers.
  6. Meratifikasi Pedoman ini atau membentuk regulasi internal mengenai pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual.
  7. Menunjuk penanggungjawab pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual.
  8. Menyediakan dukungan terhadap upaya penghapusan Kekerasan Seksual di lingkungan kerja, meliputi antara lain sarana dan prasarana, infrastruktur, dan/atau sumber daya organisasi lainnya untuk menghapuskan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.
  9. Berpartisipasi dalam kampanye dan membangun jejaring penghapusan Kekerasan Seksual.

B. Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Organisasi Pers

Bahwa selain Perusahaan Pers, Wartawan dan Pekerja Pers juga berinteraksi dengan Organisasi Pers dalam pelaksanaan tugas jurnalistik atau penyediaan dukungan dalam pelaksanaan tugas jurnalistik. Oleh karena itu, Organisasi Pers juga mengemban tanggung jawab untuk menyelenggarakan Pencegahan Kekerasan Seksual.

Dalam menyelenggarakan pencegahan Kekerasan Seksual, Organisasi Pers:

  1. Mengintegrasikan nilai-nilai penghapusan Kekerasan Seksual ke dalam peraturan dan budaya organisasi.
  2. Meratifikasi Pedoman ini atau membentuk regulasi internal mengenai pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual.
  3. Menunjuk penanggungjawab pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual.
  4. Bagi organisasi wartawan memastikan setiap anggota mengikuti program sosialisasi dan pelatihan di awal perekrutan atau memperbaharui pengetahuan kesetaraan gender secara berkala setelah bergabung dalam organisasi; dan bagi organisasi Perusahaan Pers menyediakan program pelatihan mengenai penghapusan Kekerasan Seksual.
  5. Menyediakan dukungan terhadap upaya penghapusan Kekerasan Seksual di lingkungan organisasi, meliputi antara lain sarana dan prasarana, infrastruktur, dan/atau sumber daya organisasi lainnya.
  6. Berpartisipasi dalam kampanye dan membangun jejaring penghapusan Kekerasan Seksual.

C. Pencegahan Kekerasan Seksual oleh Dewan Pers:

Bahwa Dewan Pers sebagai lembaga yang dibentuk untuk menegakkan kemerdekaan pers dan mengembangkan kehidupan pers nasional, perlu mendukung Perusahaan Pers dan Organisasi Pers dalam menyelenggarakan Pencegahan Kekerasan Seksual.

Dalam pemberian dukungan kepada Perusahaan Pers dan Organisasi Pers untuk penyelenggaraan Pencegahan Kekerasan Seksual, Dewan Pers:

  1. Memfasilitasi Organisasi Pers dan Perusahaan Pers untuk memperoleh peningkatan pengetahuan mengenai penghapusan Kekerasan Seksual.
  2. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Pencegahan Kekerasan Seksual di lingkungan pers.

Bagian IV: Penanganan Kekerasan Seksual

A. Pengantar

Perusahaan Pers dalam menyelenggarakan Penanganan Kekerasan Seksual, menyediakan pembentukan saluran pengaduan atau laporan; pengelolaan pengaduan atau laporan; dan penindakan terhadap Pelaku.

Organisasi Pers dan Dewan Pers dapat melakukan Pengawasan Berjenjang untuk mendukung upaya Korban mengakses Penanganan yang efektif.

Penyediaan saluran pengaduan atau laporan di lingkungan Perusahaan Pers tidak menghalangi upaya Korban untuk mengakses layanan pengaduan atau laporan yang tersedia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan.

B. Pembentukan Saluran Pengaduan atau Laporan

  1. Perusahaan pers menyediakan saluran pengaduan atau laporan Kekerasan Seksual di tempat kerja, baik secara tertulis maupun lisan.
  2. Perusahaan pers membentuk tim pengelola pengaduan atau laporan, dengan ketentuan:
    1. terdiri dari pihak internal yang telah mendapatkan pelatihan terkait pendampingan korban;
    2. dalam hal perusahaan pers belum memiliki sumber daya manusia yang terlatih sebagaimana dimaksud pada huruf a, tim penerima pengaduan atau laporan dapat ditugaskan kepada personel yang menangani bidang sumber daya manusia, hukum, dan bidang lainnya;
    3. dalam hal perusahaan pers dengan jumlah sumber daya manusia kurang dari 10 (sepuluh) orang, tim penerima pengaduan atau laporan ditetapkan bersama oleh personel dalam perusahaan pers, dengan catatan wajib mengikuti pelatihan tentang penerimaan pengaduan/laporan;
    4. selain pihak internal sebagaimana dimaksud pada huruf a, tim juga dapat melibatkan pihak eksternal yang berasal dari pendamping atau lembaga penyedia layanan bagi korban kekerasan.
  3. Perusahaan Pers menyediakan dukungan yang diperlukan korban dalam hal terjadi Kekerasan Seksual dan sekaligus merupakan kewajiban Perusahaan Pers terkait ketenagakerjaan, meliputi:
    1. asuransi kesehatan; dan
    2. asuransi ketenagakerjaan.

C. Pengelolaan Pengaduan atau Laporan

  1. Tim pengelola pengaduan atau laporan di lingkungan Perusahaan Pers melakukan pendokumentasian atas setiap pengaduan atau laporan yang masuk, dengan ketentuan:
    1. pengaduan atau laporan dapat berasal dari Korban, atau dari pelapor antara lain pendamping, keluarga, rekan kerja, atasan, pihak yang dipercaya korban atau pihak lainnya;
    2. pendokumentasian dilakukan dengan didasari pemahaman bahwa tidak mudah bagi Korban untuk menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya, termasuk apabila pelapor tidak menyebutkan nama korban atau bersifat anonim;
    3. pendokumentasian disimpan hanya untuk kepentingan tim pengelola pengaduan atau laporan, tidak untuk dipublikasikan;
    4. pendokumentasian disimpan dengan prinsip kehati-hatian dengan memastikan bahwa keamanan data terjamin.
  2. Tim pengelola pengaduan atau laporan menindaklanjuti pengaduan atau laporan, dengan ketentuan:
    1. melakukan asesmen kebutuhan korban saat menerima pengaduan atau laporan atau dalam jangka waktu paling lama 1x24 jam;
    2. dalam hal pelapor menyampaikan pengaduan atau laporan untuk korban, dan korban tidak bersedia untuk menyampaikan pengaduan atau laporan secara langsung, asesmen kebutuhan korban didasarkan pada pengaduan atau laporan dari pelapor, kecuali dalam hal korban bersedia untuk dilakukan asesmen;
    3. dalam hal korban membutuhkan layanan bantuan hukum, rumah aman, tempat tinggal sementara, layanan pemulihan fisik dan psikis seperti pemulihan psikologis, perawatan kesehatan, dan/atau pendampingan untuk pelaporan ke aparatur penegak hukum, dan/atau layanan lainnya, tim merujuk korban ke UPTD PPA atau lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat;
    4. dalam hal korban membutuhkan layanan yang disediakan oleh pihak ketiga, tim dapat merujuk korban ke pihak ketiga yang disetujui korban;
    5. melakukan pemantauan atas rujukan yang dilakukan.
  3. Dalam merujuk Korban, tim pengelola pengaduan atau laporan:
    1. menyampaikan informasi mengenai identitas Korban hanya untuk kepentingan rujukan;
    2. memastikan Korban tidak mengalami pemeriksaan berulang oleh pihak penerima rujukan atas informasi yang telah disampaikan Korban.

D. Pengawasan Berjenjang

  1. Korban dalam hal tidak memperoleh tanggapan yang memadai atas pengaduan atau laporan kepada Perusahaan Pers, berhak menyampaikan pengaduan kepada:
    1. organisasi Perusahaan Pers yang menaungi Perusahaan Pers; atau
    2. organisasi wartawan yang menaungi Pelaku yang bersangkutan; atau
    3. Dewan Pers.
  2. Berdasarkan pengaduan Korban sebagaimana dimaksud pada angka 1, organisasi Perusahaan Pers, organisasi wartawan, dan/atau Dewan Pers melakukan pengawasan. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dapat dilakukan secara bersama-sama berdasarkan koordinasi dengan masing-masing pihak.

E. Penanganan oleh Dewan Pers

Dalam mendukung Penanganan sebagaimana dimaksud dalam pedoman ini, Dewan Pers:

  1. Melakukan pengawasan atas pelaksaan Pedoman ini.
  2. Berdasarkan rekomendasi Korban, Perusahaan Pers, Organisasi Pers, dan/atau lembaga uji kompetensi wartawan, Dewan Pers dapat:
    1. mencabut sertifikasi kompetensi wartawan Pelaku; dan/atau
    2. mengevaluasi pendataan Perusahaan Pers.

Bagian V: Penutup

Pedoman ini disusun oleh Dewan Pers bersama Organisasi Pers untuk menjadi acuan dan diratifikasi oleh Perusahaan Pers dan Organisasi Pers dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan pers.