RIBUT-RIBUT soal pilot asing beberapa waktu lalu tampaknya disebabkan jumlah pilot pesawat sipil lulusan sekolah di Indonesia yang minim. Padahal permintaan tenaga yang bisa menerbangkan burung besi itu kini kian deras. Menurut perkiraan, dengan pertumbuhan perusahaan penerbangan di sini, setiap tahun dibutuhkan 360 pilot, sedangkan pendidikan penerbang yang ada hanya mampu menyediakan separuhnya. Dari mana datangnya para pilot lokal itu? Sampai saat ini ada tiga sekolah yang mendidik para calon pilot. Yakni, Pendidikan dan Latihan Penerbangan (PLP) Curug, Juanda Flying School (JFS) Surabaya, dan Deraya Flying School Jakarta. Sekolah penerbang yang paling tua dan terbesar adalah PLP Curug. Lembaga pendidikan yang terletak 19 kilometer dari Tangerang, Jawa Barat, ini sudah meluluskan 1.250 pilot sejak didirikan tahun 1958. Di lembaga milik Departemen Perhubungan inilah calon pilot -- satu dari delapan jurusan yang ada -- dididik. Setiap hari mereka mengikuti pelajaran di 30 kelas yang ada di kompleks seluas 500 hektare. Sebuah asrama dengan daya tampung 800 orang dilengkapi dengan sarana lain, seperti rumah sakit, laboratorium, hanggar, dan perumahan buat 216 instruktur. Untuk latihan terbang, PLP Curug menyediakan 18 buah pesawat jenis Piper Dakota dan Sundowner. Selama 18 bulan, siswa digembleng sejak matahari terbit hingga tengah malam. Setelah mengikuti pendidikan dengan ketat dan jadwal yang mirip militer, barulah mereka berhak mengantongi Commercial Pilot Licence (CPL), yakni lisensi untuk menerbangkan pesawat komersial. Sekolah penerbang lainnya adalah Juanda Flying School Surabaya (JFSS). Di sinilah Fierda Panggabean dan Adnan Paago -- pilot yang menerbangkan CN 235 yang barusan nahas di Garut -- dididik. Sekolah yang didirikan pada tahun 1982 ini menggunakan Pangkalan Udara Angkatan Laut Surabaya sebagai tempat pendidikan. Sampai saat ini sekitar 180 lulusannya dipekerjakan oleh perusahaan penerbangan, seperti Bouraq, Sempati, dan Merpati. Tapi, selain sekolah yang memang mendidik penerbang komersial, ada pula Sarana Flying Club. "Sekolah" penerbang di Halim, Jakarta, ini sebenarnya bukan untuk mencetak pilot komersial. "Ini lembaga tempat berkumpulnya para peminat kedirgantaraan," kata Wydia, staf Sarana. Meski begitu, seorang anggota Sarana yang sudah punya sedikitnya 60 jam terbang berhak mendapatkan sertifikat Private Pilot Licence (PPL), tanda bahwa ia sudah boleh membawa pesawat. "Dengan PPL, seseorang bisa menerbangkan pesawat apa saja, asalkan tak membawa penumpang yang membayar," kata Yayat Priatna, satu dari empat instruktur Sarana. Maka banyak yang mendaftar di klub ini setelah gagal masuk ke PLP Curug, misalnya. Sehabis punya PPL, mereka bisa mengambil CPL ke sekolah penerbang Deraya atau yang lain tanpa harus mengikuti pendidikan berat di sekolah pilot. Di Juanda Flying School siswa diberi pelajaran teori, yang lazim disebut ground training, selama tiga bulan atau setara dengan 139 jam training, dilanjutkan dengan flight training atau belajar terbang. Setelah siswa mengantongi 94 jam terbang, barulah Direktur Jenderal Perhubungan Udara memberikan sertifikat PPL. Selama pendidikan, calon pilot memang dididik dengan ketat. Menurut Caroline, 19 tahun, siswi di JFSS, kegiatan dimulai pukul 05.00 dengan berolah raga selama satu jam. Pukul 7 mereka masuk kelas. Dengan beberapa waktu jeda, kegiatan mereka berhenti pada pukul 21.00. Sistem pendidikan yang ketat itu, menurut Caroline, wajar-wajar saja. "Karena tugas kami nanti memang berat," katanya. Kelangkaan penyediaan pilot berhulu pada syarat yang ketat, seperti tes masuk dan biaya pendidikan yang mahal. Seorang siswa yang ingin masuk PLP Curug, misalnya, harus lulus seleksi yang meliputi tes tertulis pengetahuan umum, fisika, matematika, dan bahasa Inggris. Setelah itu wawancara untuk kepribadian. Selain harus memiliki tinggi badan minimal 165 cm, calon juga harus lulus tes kesehatan. Setelah lulus seleksi dan mengikuti pelajaran umum selama 3 bulan, mereka disaring lagi lewat tes bakat terbang (Flight Aptitude Test). Dalam tes ini calon siswa dijajal kemampuan mereka dalam kepilotan. "Dari yang mengikuti pendidikan, rata-rata 20% gugur di jalan," kata Hasan Aviv, Kepala PLP Curug, yang kini mendidik 60 siswa penerbang. Bahkan dari 180 wisudawan PLP Curug Oktober lalu tak satu pun pilot yang diluluskan. Kebetulan PLP juga mendidik tenaga teknik pesawat, radio, lalu lintas udara, dan lain-lain. Soal biaya mungkin tak merepotkan siswa PLP Curug. Seluruh biaya pendidikan, sekitar Rp 55 juta, ditanggung Pemerintah. Lain halnya dengan JFSS. Selama 18-20 bulan, mereka harus membayar Rp 47 juta (bagi yang belajar mengemudikan pesawat bermesin tunggal) dan Rp 53 juta untuk yang bermesin ganda. Sedangkan Rama Adi Pramono, siswa Deraya Flying School, harus membayar Rp 120.000 sampai Rp 140.000 satu jam terbang. Padahal dalam satu bulan ia terbang 10 sampai 14 jam. Untuk mendapatkan PPL, misalnya, ia perlu waktu sembilan bulan. "Memang biaya pendidikan penerbang mahal," kata Kapten Julekin, Manajer Deraya yang sudah meluluskan 300 pilot. Karenanya wajar bila pilot mendapat gaji lumayan. Begitu lulus, pemegang CPL rata-rata mendapat gaji Rp 1,7 juta, dan para kapten pilot antara Rp 2,5 juta dan 6 juta. Belum termasuk berbagai tunjangan. Rustam F. Mandayun, Ivan Haris, dan Taufik T. Alwie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini