Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menebar benih kemakmuran

Lewat PT Tirta Amerta Agung, mantrust menyanggupi keinginan pemerintah mendirikan pabrik pengelolaan susu segar. taa menunggak utang peternak. kini taa mengawinkan bisnis dengan tanggung jawab sosial.

3 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nila Setitik dan Belanga Bisnis Susu PT TAA Produksi susu para peternak di pedesaan meningkat pesat. Agar pemasarannya lebih terjamin, PT Mantrust "ditugasi" membangun pabrik. Belakangan perusahaan ini menemukan kendala dalam menjual produknya. Ada pula soal hutang-piutang dengan GKSI, mitra usahanya. Niat menolong para peternak tak selamanya mendapatkan jalan di tengah sistem persusuan nasional seperti sekarang. "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga," begitu bunyi pepatah lama. Tetapi ini bukanlah cerita tentang peribahasa. Ini kisah bisnis PT Tirta Amerta Agung (TAA), perusahaan pengolahan susu nasional yang didirikan untuk menampung susu para peternak agar tak terbuang percuma setelah produksinya melimpah. TAA dalam bisnis susunya "ditetesi" setitik nila. Belum lama ini ia sering jadi berita dan dituduh mengecewakan peternak sapi perah, yang harus ditolong sebagai mitra usaha. Berita-berita di surat kabar melaporkan para peternak sapi perah di Jawa Barat dan Jawa Tengah terlambat menerima uang penjualan susu mereka. Tunggakan TAA dikabarkan mencapai milyaran rupiah. Ini jadi berita bukan hanya karena uang itu milik peternak, tapi juga dengan tertahannya uang mereka dapat mempengaruhi produksi. Seperti kata Menteri Pertanian, Ir. Wardoyo, "Kalau peternak tak menerima uangnya, kualitas pemeliharaan sapi yang memerlukan biaya tentu akan terganggu. Pemeliharaan yang terganggu, dapat membuat produksi merosot." Kenapa TAA menunggak pembayaran, yang hingga Januari 1989 silam mencapai Rp 8,28 milyar? Yang terang, ini bukan akibat "permainan bisnis" TAA. "Produk TAA tak bisa dijual akibat sistem penjualan yang selama ini dianut industri pengolah susu berubah karena beberapa sebab. Sedangkan susu segar harus tetap ditampung," kata Tegoeh Soetantyo, 72 tahun, Presiden Komisaris PT Management Trust (Mantrust), induk perusahaan PT Margo Redjo, salah satu pemegang saham TAA. Alasan yang disebutkan Soetantyo dibenarkan oleh Menteri Koperasi, Bustanil Arifin, SH, lewat keterangan persnya beberapa waktu yang lalu. Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi, Drs. Subiakto mengumpamakan, "Jaringan produksi dan marketing itu bagaikan pipa. Jika macet di satu tempat, semua bagian ikut macet." Menteri Wardoyo pun mengakui, penunggakan terjadi karena memang produk TAA tak kunjung dapat terjual. Tapi para peternak sudah terlanjur kecewa. Mereka tentunya tak paham secara mendalam liku-liku bisnis susu. Bagi mereka, yang penting pembayaran yang sesuai dengan susu yang distorkan. Dan ternyata beberapa hari sebelum Idulfitri yang lalu uang mereka telah dilunasi TAA. "Kemelut" sudah berlalu, namun apa penyebab pemasaran produk TAA itu macet?. Untuk jelasnya mari kita tengok latar belakangnya. Di Indonesia, pemeliharaan sapi perah secara intensif baru dimulai pada awal Pelita III (1979/1980). "Dan dari tahun ke tahun terus meningkat," ujar Menteri Wardoyo. Sebelumnya, kendati Indonesia sudah mengimpor sapi dari Australia, pemeliharaan sapi perah masih sporadis. Di akhir 1970-an itu program pengembangannya masuk agenda pembangunan, dan impor sapi dalam skala besar dilakukan. Inilah salah satu alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan warga desa," kata Subiakto, "karena lahan pertanian kian terbatas, terutama di Jawa." Karena itu pulalah, ketika lembaga Menteri Muda Koperasi diadakan dalam Kabinet Pembangunan III, salah satu langkah yang diambil ialah membuat pemasaran susu segar menjadi lebih pasti. Perkembangannya dapat disebut berlangsung cepat. Jika pada 1978 produksi susu segar Indonesia baru 42 ribu ton, (pada 1988) angka itu menjadi 205 ribu ton. Dalam 10 tahun itu, yang ditemui tentunya bukanlah sukses semata. Di awal 1980-an, selagi produksi susu segar menanjak, mulai terasa bahwa produk sebanyak itu tak akan terserap semua. Lantas tersebutlah kisah tentang para peternak yang membuang susu segar ke sungai dan selokan. Itu terjadi di Jawa Barat dan di Jawa Tengah. Berita kemubaziran ini berminggu-minggu mengisi halaman muka, surat-surat kabar. Produk susu segar setiap hari tak dapat disalurkan. Industrl pengolahan susu (IPS), belum semuanya siap dengan unit pendingin maupun evaporator peralatan vital untuk mengolah susu segar menjadi finish prodct. Inilah yang melahirkan gagasan pembangunan industri (hulu) pengolahan susu. Jadi, mendirikan pabrik pengolah susu segar, pembuat bahan baku, yang selama ini diimpor. Dengan ini keseimbangan pemasaran produk jadi, yang dibuat oleh industri hilir yang ada, tidaklah akan terganggu. Gagasan ini adalah kebijaksanaan pemerintah, yang menyarankan agar dibangun tiga pabrik. Tapi, konon Presiden Soeharto sendiri yang meragukan tentang perlunya tiga pabrik pengolah susu segar. Ternyata yang diperlukan memang satu perusahaan saja, dengan dua pabrik: di Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang jumlah produk susu segarnya sangat meningkat. Maka pada 1983 Departemen Perindustrian mengundang Mantrust mengambil prakarsanya. Ini perusahaan nasional yang didirikan pada 1958, dan banyak bergerak dalam agrobisnis. Dari angka Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) diketahui bahwa produksi susu segar di kedua daerah itu mencapai 150.000 liter sehari. Jadi harus ada yang menampung. Menurut angka yang dipetik dari laporan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) produksi itu mencapai 150.000 liter sehari. Jika tak ada pabrik pengolah, siapa yang bakal jadi penampung? "Yang terpikir oleh saya waktu itu hanyalah, peternak sapi perah harus dibantu agar produknya tak terbuang begitu saja," ujar Soetantyo mengungkapkan kembali penerimaannya akan tawaran Departemen Perindustrian. Dan Mantrust menyanggupi "tugas" ini. Tahun itu juga, 19 November 1983, berdirilah PT Tirta Amerta Agung (TAA). Maka pada 1983 Departemen Perindustrian mengundang Mantrust mengambil prakarsanya. Ini perusahaan nasional yang didirikan oleh pada 1958 dan banyak bergerak dalam agrobisnis. Dari angka Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) susu segar di kedua daerah itu mencapai 150.000 liter sehari. Jadi harus ada yang menampung. Matrust menyanggupi "tugas" ini. Tahun itu juga, 19 November 1983, berdirilah PT Tirta Amerta Agung (TAA). Sebesar 50% saham TAA dipegang oleh PT Margo Redjo dan 50% lagi di tangan GKSI. Surat persetujuan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) keluar pada Agustus 1984. Pada Juni 1985, pabrik di Salatiga, Jawa Tengah, selesai dibangun. Yang di Jawa Barat baru rampung pada awal 1987. Kapasitas pabrik TAA mencapai 150.000 liter susu segar dalam sehari, sesuai angka produksi yang disodorkan GKSI. Hanya ketika akte TAA disahkan, GKSI belum sanggup menyetorkan dana saham. PT Margo Redjo usahanya pun mencarikan pinjaman sebesar 13.592.233 gulden Belanda (kurs resmi Nfl waktu itu Rp 309). Dalam akte yang dibuat di hadapan Notaris Warda Sungkar Alurmei, SH, di Jakarta, GKSI menyatakan setuju melunasi hutang pokok berikut bunganya 8,25% per tahun dalam masa lima tahun, terhitung sejak pengiriman susu pertama oleh GKSI kepada TAA. Agak mencengangkan memang, kenapa GKSI memutuskan ikut jadi pemegang saham di saat tak punya modal tunai. Selentingan kabar menyebutkan, ketika itu GKSI sebenarnya tengah mengharapkan dukungan kredit dari Departemen Keuangan. Tapi rupanya harapan ini tak jadi kenyataan. Media massa belakangan ini menyebutkan, saham GKSI dalam TAA adalah saham kosong. "Itu tak benar," kata Ir. Soemarmo Atmosoedarmo, Direktur Pembinaan Usaha Perikanan dan Peternakan, Departemen Koperasi. "GKSI memang belum punya dana," ujarnya, "karena itulah pinjaman tersebut diperlukan. Dan ini tak dapat disebut saham kosong." Tapi menurut Subiakto, GKSI bukan hanya tidak punya dana untuk pengisi saham, bahkan diperkirakan tak akan mampu menyediakan dana sebanyak itu. Inilah kemudian yang antara lain jadi dasar pertimbangan ketika pada 1988 Menteri Koperasi meneruskan saran Presiden agar GKSI menarik diri saja dari TAA. Pada akhir Agustus 1988 GKSI melayangkan surat "amit mundur" kepada Direksi PT TAA di Jakarta. Dinyatakan pula, saham GKSI di TAA akan dialihkan kepada koperasi primer (KUD). Tapi hingga kini belum dituntaskan, KUD yang mana, bagaimana porsi saham yang disertakan dalam TAA, dan bagaimana pula cara pembayaran saham tersebut, acara dan aturan pengalihan saham ini," kata Direktur Jenderal Peternakan Departemen Pertanian, Drh. Soehadji, yang juga Ketua Koordinasi Persusuan, "tentunya harus dilakukan dengan jelas." Tentang saham koperasi primer ini, Subiakto berkata. "Porsi saham KUD ini akan dikembangkan secara bertahap dan diharapkan semua KUD yang menjual susu ke TAA jadi pemegang saham itu." Penarikan diri GKSI terjadi di tengah-tengah "kemelut persusuan" yang diramaikan oleh pemberitaan pers tentang tunggakan TAA kepada para peternak. Hanya saja hard news yang beredar cuma menonjolkan "apa yang terjadi", yakni soal tunggakan itu. Unsur lain, "kenapa ia terjadi" hampir tak kebagian perhatian. Dan cerita belum selesai sebelum menarik diri dari TAA, GKSI ternyata tak kunjung mampu membayar cicilan hutang pokok beserta bunganya seperti yang disetujuinya dalam surat perjanjian. Menurut akta hutang-piutang, GKSI harus menyisihkan 3,1% dari harga susu yang dikirimnya kepada TAA buat menunaikan cicilan itu. GKSI sebenarnya dapat dengan mudah menyisihkan dana itu, seandainya mau. Ambillah contoh dari sentra susu segar di daerah Boyolali dan sekitarnya, di Jawa Tengah. Produksi susu segar di sana mencapai 60 ribu liter per hari. Nilainya sama dengan 60.000 x Rp 300, atau Rp 18 juta. Dari produksi sebanyak itu, dapat dikeluarkan dana pemotongan yang dimaksudkan sebagai penyertaan saham pada TAA yang sejak 1 Juli 1988 besarnya Rp 10 per liter susu segar. Pada masa sebelumnya, antara 1 Desember 1987 sampai 30 Juni 1988, dana itu malah Rp 15 per liter. Dengan begitu, dari 1 Desember 1987 hingga 30 Juni 1988 tentunya dapat terkumpul uang sebesar Rp 216 juta (240 hari x 60.000 liter x Rp 15). Dan dari 1 Juli hingga 1 Januari 1989 akan terkumpul lagi Rp 108 juta (180 hari x 60.000 x Rp 10). Artinya, antara 1 Desember 1987 dan 1 Januari 1989 dari sentra Boyolali dan sekitarnya saja, GKSI sebetulnya sanggup menghimpun dana Rp 324 juta buat mencicil saham tersebut. Untuk mengamankan pemasaran susu segar milik petani supaya terserap SBDN produk TAA dialokasikan agar dibeli oleh lima IPS lainnya: Friesche Vlag Indonesia, Foremost Indonesia, PT Food Specialities Indonesia (FSI)/Nestle, Indomilk dan Sari Husada. Dalam realisasinya, tidak semua IPS ini memenuhi alokasi yang ditetapkan Departemen Perindustrian itu. Akibatnya TAA harus menyimpan sisa stock yang cukup besar, yang pada Januari 1989 lalu berjumlah 1.437.467 ton. Nilainya Rp 6,65 milyar. Kemacetan pemasaran inilah yang selanjutnya berdenyut sampai ke peternak sapi perah di desa-desa, dan mempersulit penyelesaian tunggakan TAA. Ini mendorong Tim Koordinasi Persusuan menyelenggarakan rapat pada 3 Februari 1989 yang membahas pengamanan sistem persusuan nasional tunggakan pembayaran oleh TAA dan masalah kualitas serta harga produk-produk TAA. Pertemuan ini dihadiri oleh Menteri Koperasi, Menteri Muda Pertanian, Menteri Muda Perdagangan dan Menteri Muda Keuangan. Wakil-wakil IPS dan pengurus GKSI turut serta pula dala rundingan tersebut. Pertemuan menghasilkan paket kebijaksanaan yang diharapkan dapat menyelesaikan kemelut. Disepakati pula penentuan alokasi produk-produk TAA untuk semester pertama 1989 serta soal penurunan bea masuk beberapa bahan baku susu impor, dari 15% menjadi 5%. Harga produk-produk TAA ditentukan dengan harga yang berlaku saat itu. Beserta pertemuan juga sepakat membentuk tim peneliti harga yang dikoordinasikan oleh Departemen Keuangan. Namun, sekali lagi, dalam prakteknya alokasi produk-produk TAA yang sudah disepakati itu tidak dijalankan oleh sebagian IPS, sedangkan Departemen Keuangan pada 24 Februari telah mengeluarkan surat keputusan penurunan bea impor bahan baku susu menjadi 5%. Ketidaktaatan sebagian IPS itu bersumber pada pemilihan bahan susu yang akan diolah. Saat ini SSDN memang lebih murah dibandingkan susu impor. Namun SBDN tetap lebih mahal. Karena itulah kata Menteri Wardoyo, kesepakatan yang dulunya sudah dicapai antara lain alokasi dan penyerapan SBDN oleh IPS (industri hilir) menjadi tidak jalan. Kesulitan TAA dalam memasarkan susu bubuk produksinya sendiri tak menemukan pemecahan. "Tentu saja," ujar Menteri Pertanian, "pabrik susu hilir berpikir, jika harga susu segar lebih murah dan dapat diserap langsung, kenapa tidak langsung membeli saja dari petani." Hampir setiap industri hilir susu Indonesia kini memiliki sembilan industri pengolahan susu memperbesar kapasitasnya untuk penyerapan susu segar. Untuk menampung produksi Jawa Timur, Nestle yang dulunya hanya punya satu pabrik di Waru, mendirikan satu pabrik lagi di Kejayaan, Pasuruan. Kenyataan ini tentunya memerlukan pemecahan lain. Maka pada 21 April 1989 terselenggara lagi pertemuan. Kali ini antara Tegoeh Soetantyo, Presdir PT Mantrust, induk perusahaan PT Margo Redjo pemegang saham TAA, dengan Drh. Daman Danuwidjaja, Ketua GKSI. Pertemuan itu berlangsung di Aneka Industri, Jakarta, dan Ir. Susanto Sahardjo, Dirjen Aneka Industri, hadir sebagai saksi. Saat itulah diperoleh beberapa kesepakatan penyelesaian kemelut persusuan yang pemberitaannya cukup hangat sejak akhir 1988. Dalam membuat kesepakatan ini, Mantrust seperti yang dikemukakan Soetantyo, "Memilih jalan terbaik: mengalah." Di situ Mantrust berjanji membayar tunggakan, yang mencapai Rp 8,28 milyar itu, yang ditunaikan awal Mei lalu. Di dalam jumlah yang telah dibayarkan Mantrust ini termasuk hutang GKSI di Bank Umum Koperasi Indonesia (Bukopin) sebesar Rp 2 milyar. Pembayaran susu oleh TAA untuk pengambilan periode April, menurut kesepakatan itu, diselesaikan pada 15-20 Mei. Sedangkan pembayaran selanjutnya dilakukan setiap 10 hari. Mantrust, yang sejak awalnya berangkat dengan niat menolong pemilik sapi perah tak ingin mengecewakan para peternak. Awal Mei lalu tunggakan Rp 8,28 milyar itu hampir selesai. "Syukurlah," ujar Menteri Pertanian, "pembayaran itu dapat ditanggulangi sebelum lebaran. "Hingga 3 Mei, demikian Ir. Wardoyo, TAA sudah melunasi Rp 8 milyar sehingga tunggakan yang tersisa tinggal Rp 280 juta. Sisa inilah yang akan ditunaikan TAA lewat beberapa kali pembayaran per sepuluh hari. Sampai di sini, TAA bisa dikatakan selesai dengan soal tunggakan dan perihal pemilikan saham perusahaan. Tapi tak berarti bahwa bisnis susu yang diusahakannya bebas dari kendala. Untuk jangka panjang, Departemen Perindustrian menyarankan agar SBDN produk TAA diserap oleh PT Friesche Vlag dan PT Foremost, mitra usaha Mantrust sendiri. Kelebihannya akan diusahakan untuk diekspor. Tapi, agar ekspor TAA dapat berjalan dan sanggup bersaing, harus ada kebijaksanaan baru. Hal penting lainnya yang juga disepakati ialah perihal ratio susu segar dengan susu impor, agar benar-benar ditentukan secara realistis, karena faktor ini sangal berperan untuk program persusuan jangka panjang, agar kemelut persusuan tak terulang lagi. Ratio untuk susu segar dalam negeri (SSDN) 1: 0,7, sedangkan untuk susu bubuk dalam negeri (SBDN) 1: 3. Artinya, untuk setiap pembelian 1 SBDN, IPS berhak memakai 3 susu impor. Kini Mantrust dan TAA tinggal berpikir untuk meningkatkan volume ekspornya. Pemasaran ke luar negeri yang sudah pasti barulah satu container produk jadi per bulan, pesanan Taiwan, yang nilainya sekitar US$ 0,5 juta. Selain itu, peluang juga terbuka setelah kemampuan suplai susu bubuk Eropa mulai merosot karena subsidi susu mereka dicabut. Pada masa sebelumya Eropa mampu memasok pasar di luar negeri dengan 11 juta ton susu bubuk. "Tahun 1988 lalu, jumlah itu hanya tinggal 9 juta ton," kata Menteri Pertanian. Akibat bencana Chernobyl pun masih terasa bagi industri persusuan dan peternakan Eropa. Kesimpulannya: kemungkinan ekspor tetap terbuka, seperti dinyatakan menteri Wardoyo walau kini TAA masih harus menyelesaikan masalah produksinya yang masih tampil dengan harga yang belum kompetitif untuk pasar internasional. Hanya juga kualitas susu itu sendiri, yang tidak semata-mata dapat ditentukan oleh TAA di dalam pabriknya. Ia sangat tergantung pada kualitas susu segar yang diolah, bahan baku yang didapatkan dari para peternak di desa-desa. Setelah kemelut ini berakhir, persusuan nasional masih belum tentu bebas dari masalah. Bisnis susu ini peka, seperti susu segar itu sendiri, mudah terganggu oleh perubahan waktu, suhu dan udara. Usaha persusuan tampaknya sangat sensitif terhadap faktor eksternal dan berbagai kebijaksanaan dalam negeri. Dukungan kebijaksanaan untuk pengembangan ekspor, misalnya, sudah barang tentu sangat diperlukan oleh TAA. Bagi perusahaan yang didirikan dengan mengawinkan kaidah bisnis dan tanggungjawab sosial ini, bendera perbaikan harkat hidup peternak sapi perah masih tetap dikibarkan. Grup Mantrust memberikan subsidi pemeliharaan Rp 1.000 sehari/sapi bagi anggota PIR ternak yang ada dalam naungannya. Jika sapi itu mati, si peternak dimungkinkan dapat pengganti. Mantrust mencoba menaruh petani dan peternak warga desa sebagai mitra usaha yang haknya atas keuntungan perlu dijaga. Di situ barangkali ada "susu sebelanga", dan ke situ tentunya tak perlu menetes "setitik nila". Yang terjadi rupanya bukan begitu. Pembayaran bunga hutang ini ditunaikan dengan likuiditas PT Margo Redjo. Malah berita yang beredar menyebutkan bahwa dalam praktek, pembayaran cicilan saham oleh GKSI dalam bentuk potongan harga susu segar hanya berjalan beberapa bulan. Hingga kini GKSI baru membayarkan sekitar Rp 15 juta. Sebaliknya, TAA tetap membayarkan harga susu yang dipasokkan GKSI. Pembayaran yang ditunaikan TAA kepada GKSI, untuk 1987 tercatat Rp 13,5 milyar dan kemudian Rp 25,75 milyar lagi pada 1988 (lihat Tabel). Waktu berjalan, dan peningkatan bunga hutang pun tentu tak bisa berhenti. Begitu pula hal dengan kurs mata uang. Nilai gulden terhadap rupiah senantiasa meningkat. Selain itu, terdapat pula penalty yang besarnya 12% per tahun atas keterlambatan pembayaran angsuran ataupun bunga hutang. Jadi, dapatlah dibayangkan, berapa jumlah hutang dan bunga yang seharusnya ditunaikan GKSI. Cemas menghadapi kenyataan itu PT Margo Redjo lantas meminta TAA melunasi, paling sedikit, bunga pinjaman GKSI. TAA pun memperhitungkan kewajiban pembayaran bunga oleh GK5I itu dari hasil penyetoran susu. Dan karena susu yang dipasokkan GKSI ini dibeli dari KUD, pembayarannya kepada petani juga jadi tertunggak. Dari sinilah berkembangnya berita tentang "TAA menunggak pembayaran susu para peternak" sejak awal tahun ini. Menurut laporan TAA kepada Departemen Pertanian dan Departemen Koperasi, hingga Januari lalu tunggakan tersebut Rp 8,28 milyar. Tunggakan ini memang menyangkut sekitar 15.000 peternak di daerah Rancaekek serta Pengalengan, Jawa Barat, dan Boyolali, Jawa Tengah. Tapi cara ini menurut GKSI tak seharusnya ditempuh. Mereka menganggap masalah pembayaran susu segar peternak harus dipisahkan dari cicilan saham GKSI. Lantas, di luar masalah cicilan hutang, media massa melansir statement GKSI, baik tentang ketidakserasian kerjasama, maupun tentang penyesalan karena merasa dirugikan. Juga bahwa cicilan tak ditunaikan karena tidak adanya keserasian dalam management itulah. Akhirnya, ini bukan lagi sekadar persoalan dua institusi yang bergabung dalam TAA, tapi juga menyangkut nasib para peternak. Sejalan dengan pernyataan Menteri Pertanian Ir. Wardoyo, dalam sepuluh tahun belakangan ini budi daya pemeliharaan sapi perah di Indonesia berkembang dengan pesat, koperasi persusuan nasional juga mencatat pertumbuhan. Dewasa ini ada 173 koperasi persusuan yang tersebar di Jatim, Jabar, Jateng, Yogya, Sumbar, Sumut, Bengkulu, Sulut, dan DKI Jakarta. Dalamnya berhimpun 71 ribu peternak, yang memelihara sekitar 225 ribu sapi lokal dan 13 ribu sapi impor. Sapi impor ini sebagian besar berasal dari Selandia Baru. Di sini menyerap sekitar 36.700 tenaga kerja, di luar karyawan koperasi. Dan untuk 1988 lalu, dengan produksi susu segar ini Indonesia dapat menghemat devisa US$ 23 juta. Ratio susu segar dan susu impor yang dipakai pabrik sebagai bahan baku kini 1: 1,7. Dibandingkan dengan 1978, ketika koperasi persusuan baru ada 11 buah dengan 2.174 peternak, kenyataan tahun 1988 menunjukkan bahwa budidaya sapi perah memperoleh kemajuan berarti. Inilah yang mengantarkan Indonesia kini menjadi produsen susu terbesar di ASEAN. Untuk menjamin pemasaran, pemerintah mengimbau agar pabrik IPS memanfaatkan susu segar dalam negeri (SSDN). Kini jumlah susu segar yang dijual ke pabrik sekitar 672 ribu kg per hari, atau 242 juta kg per tahun. Bagaimana peranan TAA dalam penyerapan ini? Dari 23 KUD persusuan di Jawa Barat yang produksinya per hari mencapai 310 ton susu segar, menurut Soemarmo, sekitar 45%, yakni 140 ribu ton, diserap oleh TAA. Dari 9 KUD di Jawa Tengah, yang produksi per harinya sekitar 75 ribu ton, yang diserap TAA sekitar 33% atau 25 ribu ton. TAA membeli susu tersebut Rp 400 per kilogram untuk standar lemak 3% dan solid non fat (SNF) 7,9%. TAA satu-satunya perusahaan nasional yang mengkhususkan dirinya sebagai IPS hulu, pengolah susu segar menjadi skimmed milk powder (SMP) dan anhydrous milk fat (AMF), bahan untuk pabrik susu hilir yang menghasilkan finish product. Sampai akhir 1988 dapat dikatakan tidak ada masalah dalam penyerapan susu milik peternak dan penjualan produk-produk TAA. Diantara IPS sendiri ada kesepakatan yang menentukan alokasi penyerapan susu bubuk dalam negeri (SBDN) itu. Alokasi untuk semester dua 1988, ditetapkan melalui Departemen Perindustrian pada akhir Juni 1988. Saya sampai kurang tidur menyelesaikan masalah ini," kata Dirjen Aneka Industri, Ir. Soesanto Sahardjo, tentang upaya mengatasi "kemelut susu". Produk TAA tak dapat dijual, ujarnya pula "Lebaran makin dekat dan peternak sapi perah tengah berharap untuk menerima uangnya". Kini, badai sudah berlalu. Para peternak sudah menerima tunggakan uang mereka dari PT Tirta Amerta Agung (TAA). "Sekarang," menurut Soesanto, "yang perlu dipikirkan ialah, agar produk TAA dapat bersaing, efisiensi harus dilakukan." Untuk membuat harga produk TAA bisa bersaing, efisiensi bukan satu-satunya persoalan yang perlu diperhitungkan, "Bagaimanapun," kata Soesanto," kita produsen susu yang masih muda. Investasi yang dilakukan TAA, adalah investasi baru. Karena itu, harga produknya belum merupakan harga normal. Off shore loan yang dipakainya pun mahal." Dan masalah lain, seperti TAA, adalah teknologi di bawah lisensi yang kena kewajiban membayar royalty." Segi-segi ini turut menjadi beban dalam biaya produksi. PT TAA sebagaimana disebutkan dirjen Soesanto adalah pelopor dalam industri hulu susu di Indonesia. Perusahaan ini kian berkembang pada pertengahan 1973, kemudian menghadapi masalah, antara lain tak terjualnya hasil produksinya. Di dalamnya terkait banyak masalah, bukan hanya soal saham CKSI di TAA dan cicilannya, tetapi juga perihal penyerapan susu segar dalam negeri (SSDN), pemakaian bahan impor, soal harga susu segar dan susu impor itu sendiri, penyerapan produk TAA oleh IPS hilir dan sebagaimana. Kemelut yang mencapai puncaknya ketika TAA terpaksa menunggak pembayaran susu peternak sapi perah itu, akhirnya selesai sudah. Untuk pengembangan industri susu selanjutnya, produk TAA akan diserap oleh PT Friesche Vlag Indonesia sebagai industri hilir dari kelompok usaha PT Mantrust. Kelebihannya diekspor. "Ekspor ini sebaiknya dalam bentuk finished product," kata Soesanto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus