Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
INFO JABAR - Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar mengajak semua pihak agar menjadikan pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebagai ajang pesta demokrasi melalui kemeriahan politik yang santun dan damai. Pilkada harus mencerminkan perjalanan demokrasi bangsa ini semakin maju, sehat, dan berkualitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Ketika kampanye 2013, saya pernah mengatakan Pilkada ini, pemilihan gubenur ini, tidak terlalu penting dalam hidup kita karena tidak berpengaruh secara langsung untuk kalian masuk surga atau neraka. Yang penting itu, bagaimana menjalin silaturahmi di antara kalian," kata Demiz, sapaan akrab gubernur, saat menjadi pembicara dalam expert meeting yang bertema "Menyongsong Pilkada Serentak yang Berkualitas di Lumbung Suara”, di Jakarta, Senin, 27 November 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Saya kira kita harus melihat ini (Pilkada) betul-betul pesta demokrasi, enjoy. Bukan menciptakan perpecahan dalam masyarakat, apalagi seperti (Pilkada) Jakarta kemarin, saling hujat di zaman era teknologi seperti ini. Ini bukan contoh baik. Jawa Barat semestinya menjadi tolok ukur yang baik ke depan," ucapnya pada acara yang dihelat Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini.
Kualitas demokrasi di zaman now, lanjut Demiz, bisa dilihat dari beberapa hal yang dia sadur dari karya tulis "Keadilan Pemilu (Towards an International Statement of Principles of Electoral Justice, Accra, Ghana, 15 September 2011)”. Di antaranya, Integritas yang tinggi dari lembaga penyelenggara, partisipasi publik tinggi, berdasarkan hukum yang berkepastian tinggi, imparsial (netral atau tidak memihak) dan adil, profesional dan independen, transparan, tepat waktu sesuai dengan rencana, tanpa kekerasan atau bebas dari ancaman dan kekerasan, teratur, peserta pemilu menerima wajar kalah atau menang. "Dalam konteks Indonesia, sudah ada acuannya, yaitu prinsip-prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil," ujarnya.
Untuk itu, kata Demiz, ada beberapa tolok ukur sosial dalam menentukan kualitas pemilu demokratis, yaitu mempromosikan budaya politik adiluhung dari level elite politik nasional hingga lokal, masyarakat semakin dewasa dalam perbedaan politik dalam demokrasi, menghilangkan semua potensi perpecahan di masyarakat selama dan setelah pilkada berlangsung, menghilangkan budaya politik transaksional.
Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI Firman Noor menambahkan Pilkada Serentak yang dimulai sejak 2015 di 370 daerah di Indonesia masih menunjukkan berbagai masalah, khususnya terkait dengan kapasitas bakal calon (balon), popularitas dan elektabilitas balon, proses kandidasi di parpol, serta biaya politik yang tinggi.
Dampaknya, lanjut dia, yaitu terjadi tindak pidana korupsi dan terhambatnya perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik dan berpengaruh terhadap kualitas pemerintah daerah. "Tingkat partisipasi masyarakat pada Pilkada Serentak 2015 dan 2017 menurun dengan kisaran 10 sampai dengan 20 persen. Kecuali Pilkada Jakarta yang justru meningkatkan partisipasi masyarakat di tahun 2017," tuturnya.
Pilkada Serentak gelombang ketiga yang berlangsung pada 2018, akan menjadi tantangan apakah kualitas demokrasi nasional akan mengalami peningkatan atau sebaliknya. Terlebih Pilkada 2018 di tiga daerah yang memiliki jumlah pemilih suara terbesar di Indonesia, yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Firman menambahkan Pilkada langsung seharusnya mampu merefleksikan kedua inti dari demokrasi, kompetisi, dan partisipasi. Pilkada juga seharusnya mengontestasikan kualitas atau kompetisi calon dan bukan semata-mata hanya karena faktor populer dan memiliki modal besar saja.
"Pilkada Serentak 2018 haruslah meningkat kualitasnya dibandingkan dengan Pilkada Serentak sebelumnya, agar konsolidasi demokrasi di daerah bisa berlangsung baik dan dampaknya positif terhadap achievement pemerintah daerah," katanya. (*)