Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala BPOM Taruna Ikrar Ingatkan Ancaman Silent Pandemic Akibat Resistensi Antimikroba

Fenomena resistensi antimikroba tidak dapat dipandang sebagai kejadian yang terisolasi, melainkan sebagai proses evolusioner kompleks

4 Januari 2025 | 16.44 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Dok. BPOM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONALSilent pandemic atau resistensi antibiotik pada tubuh seseorang yang diakibatkan oleh antimikroba menjadi ancaman serius dunia. Hal itu disampaikan ilmuan Prof dr Taruna Ikrar, PhD, M.Biomed saat menyampaikan orasi ilmiah di Ballroom Universitas Prima Indonesia (Unpri) Medan, Sumatera Utara, Sabtu, 4 Januari 2025.

Menurut Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI ini, resistensi antimikroba kini menjadi fenomena biologis kompleks yang mengancam kemampuan manusia dalam mengendalikan mikroorganisme berbahaya. Fenomena resistensi antimikroba, kata dia, tidak dapat dipandang sebagai kejadian yang terisolasi, melainkan sebagai proses evolusioner kompleks yang melibatkan seleksi alam dan adaptasi genetik.

Fenomena ini memungkinkan penyebaran cepat kemampuan bertahan melawan antimikroba. Bahkan di antara bakteri yang secara taksonomi berbeda. Menurut dia, proses ini merupakan manifestasi nyata dari evolusi biologis, di mana organisme secara genetis beradaptasi untuk bertahan hidup menghadapi tantangan lingkungan dalam antimikroba.

“Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit mengembangkan kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang, bahkan di bawah paparan obat antimikroba yang sebelumnya efektif membunuh mereka,” kata peraih gelar dokter dari Universitas Hasanuddin tahun 1997 itu.

Taruna mencontohkan bakteri dapat mengalami mutasi genetik dalam hitungan menit, memungkinkan mereka secara cepat mengembangkan mekanisme pertahanan melawan zat antimikroba yang semula efektif membunuh mereka. Spektrum mikroorganisme, kata dia yang berpotensi menjadi resisten sangatlah luas. Selain bakteri juga ada virus, jamur, dan parasit.

“Setiap kelompok memiliki karakteristik unik dalam menghadapi tantangan antimikroba. Bakteri merupakan contoh paling nyata, dengan kemampuan horizontal gene transfer yang memungkinkan mereka berbagi informasi genetik resistensi antarspesies,” kata Taruna Ikrar yang juga mendapatkan penganugerahan gelar ilmuan berpengaruh di Indonesia dari Universitas Prima Medan dan diserahkan langsung Rektor Prof Dr Crismis Novalinda Ginting, M.Kes, serta dihadiri Menteri Hukum, Dr Supratman Agtas, sejumlah rektor, Pj Gubernur Sumatera Utara dan beberapa tamu undangan lainnya.

Konsep Resistensi Antimikroba

Pemahaman dasar interaksi antara mikroorganisme dan zat antimikroba merupakan dasar dari konsep resistensi antimikroba. Menurut Taruna Ikrar, ketika suatu antibiotik diperkenalkan, pada awalnya obat tersebut mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan mayoritas populasi mikroba.

Namun, di antara populasi tersebut, terdapat beberapa individu yang memiliki variasi genetic unik yang memungkinkan mereka bertahan. “Mikroba-mikroba yang memiliki gen resistensi ini tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang biak, menciptakan generasi baru yang secara genetis lebih tahan terhadap antimikroba,” kata dia.

Mekanisme terjadinya resistensi, kata Taruna sangatlah beragam dan canggih. Bakteri, misalnya, dapat mengembangkan resistensi melalui beberapa strategi genetik. Pertama, mereka dapat memodifikasi struktur molekul yang menjadi target obat, sehingga antimikroba tidak lagi mampu berikatan atau mengganggu fungsi sel bakteri.

Kedua, bakteri dapat mengembangkan enzim yang ampu merusak atau memodifikasi struktur molekul obat sebelum obat tersebut dapat memberikan efek. Ketiga, mereka dapat mengembangkan pompa efluks, yaitu mekanisme yang secara aktif mengeluarkan molekul obat dari dalam sel sebelum obat dapat memberikan efek terapeutik.

Faktor Pendorong Resistensi

Taruna Ikrar mengatakan, penggunaan antibiotik yang tidak rasional, baik dalam bidang kesehatan manusia maupun peternakan, menjadi pendorong utama. Ketika antibiotik digunakan secara berlebihan atau tidak tepat, hal ini menciptakan tekanan seleksi yang kuat bagi mikroorganisme untuk beradaptasi dan berkembang. Selain itu, globalisasi, perpindahan penduduk, dan perdagangan global semakin mempercepat penyebaran strain resisten lintas wilayah dan benua.

Resistensi antimikroba, kata Mantan Spesialis Laboratorium di Departemen Anatomi dan Neurobiologi Universitas California ini, tidak hanya sekadar tantangan medis, tetapi juga merupakan persoalan kompleks yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Ia membutuhkan pendekatan multidisipliner yang melibatkan mikrobiologi, genetika, epidemiologi, kebijakan kesehatan, dan kesadaran masyarakat.

Upaya mengatasi resistensi antimikroba memerlukan strategi komprehensif yang tidak hanya berfokus pada pengembangan obat baru, tetapi juga pada perubahan perilaku dan sistem.

Di masa depan, lanjut Taruna, penelitian di bidang resistensi antimikroba akan semakin difokuskan pada pendekatan inovatif. Terapi fago, terapi menggunakan bakteriofage yang dapat membunuh bakteri secara spesifik, menjadi salah satu alternatif yang menjanjikan.

Faktor antropogenik memainkan peran krusial dalam akselerasi resistensi antimikroba. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional di bidang kesehatan manusia, peternakan, dan pertanian telah menciptakan tekanan yang mendorong evolusi percepatan mikroorganisme.

“Pemberian antibiotik dalam dosis sub-terapi, praktik pengobatan mandiri, serta penggunaan antibiotik spektrum luas telah memberikan keuntungan selektif bagi mikroorganisme resisten untuk berkembang dan menggantikan populasi yang sensitif,” kata Taruna yang pernah menjabat sebagai Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (2020-2024) dan dipercaya sebagai Direktur Konsil Kedokteran Internasional (IAMRA) untuk periode 2021-2025 itu.

Menurut dia, menambahkan pengendalian yang dikembangkan akan segera direspons dengan mekanisme adaptasi baru, menciptakan perlombaan evolusioner yang berkelanjutan antara manusia dan mikroorganisme.

Oleh karena itu, kata dia, pentingnya memahami resistensi antimikroba tidak dapat dilebih-lebihkan. “Ini bukan sekadar fenomena medis, melainkan tantangan multidisipliner yang memerlukan kerja sama lintas bidang dari mikrobiologi, kedokteran, farmakologi, hingga kebijakan kesehatan publik,” ujar dia.

dok. BPOM

Setiap intervensi harus mempertimbangkan kompleksitas biologis, sosial, dan ekologis yang terlibat dalam proses ini. Kesadaran global terhadap resistensi antimikroba terus meningkat. Organisasi internasional, pemerintah nasional, institusi penelitian, dan komunitas medis semakin memahami bahwa penanganan resistensi antimikroba memerlukan pendekatan komprehensif, proaktif, dan berkelanjutan.

Strategi yang efektif, kata dia, tidak hanya bergantung pada pengembangan antimikroba baru, tetapi juga pada manajemen penggunaan yang bijak, peningkatan praktik pencegahan infeksi, dan edukasi komprehensif.

Di Indonesia resistensi antimikroba memiliki dimensi kompleks yang dipengaruhi oleh faktor geografis, demografis, dan sistem kesehatan. Sebagai negara dengan keragaman ekologis dan praktik kesehatan yang beragam, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam mengendalikan penyebaran mikroorganisme resisten. “Dibutuhkan strategi nasional yang adaptif, berbasis riset, dan mempertimbangkan konteks lokal,” kata dia.

Dampak Global

Taruna Ikrar menegaskan resistensi antimikroba telah berkembang menjadi krisis kesehatan global yang mengancam fundamental sistem pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Fenomena ini tidak hanya memengaruhi kemampuan medis dalam menangani penyakit menular, tetapi juga mengancam seluruh arsitektur kemajuan pengobatan yang telah dibangun selama satu abad terakhir.

Menurut Tdia, dampak ekonomi dari resistensi antimikroba sangatlah signifikan dan berpotensi menimbulkan krisis global. Bank Dunia memperkirakan bahwa pada tahun 2050, kerugian ekonomi global akibat resistensi antimikroba dapat mencapai 100 triliun dolar. Angka ni setara dengan hilangnya sekitar 3,8 persen dari produk domestik bruto global.

“Negara-negara berkembang akan paling parah terkena dampaknya, dengan potensi jatuhnya jutaan penduduk ke dalam lingkaran kemiskinan akibat biaya pengobatan yang membengkak dan hilangnya produktivitas tenaga kerja,” ujar Taruna yang merupakan Ahli Farmakologi, Ilmuwan Kardiovaskular, dan Pakar Neurosains terkemuka Indonesia

Aspek kesehatan masyarakat dari resistensi, antimikroba jauh lebih kompleks daripada sekadar statistik. Setiap kali satu spesies mikroba menjadi resisten terhadap pengobatan, ia tidak hanya mengancam individu yang terinfeksi, tetapi juga menciptakan reservoir genetik potensi bahaya bagi seluruh populasi.

Rumah sakit dan fasilitas Kesehatan, kata Taruna juga akan dipaksa harus mengembangkan protokol pengobatan alternatif yang jauh lebih mahal dan kompleks. Prosedur medis yang saat ini dianggap rutin-seperti operasi caesar, penggantian sendi, atau kemoterapi akan menjadi prosedur berisiko tinggi dengan potensi komplikasi infeksi yang signifikan.

Proyeksi World Health Organization (WHO), kata dia, menuntut perhatian sangatlah mengejutkan dan menyeluruh. Pada tahun 2050, diperkirakan 10 juta nyawa akan hilang setiap tahun akibat infeksi resisten-angka yang melampaui kematian akibat kanker.

Menurut dia, Ini bukan sekadar prediksi statistik, melainkan peringatan keras tentang potensi keruntuhan sistem keschatan global. “Setiap tahun penundaan penanganan serius akan semakin memperbesar risiko bencana kesehatan global,” kata Taruna.

Respon internasional menjadi kunci dalam mengatasi krisis resistensi antimikroba. Dibutuhkan kolaborasi lintas negara, lintas sektor, dan lintas disiplin ilmu. Tidak hanya diperlukan riset pengembangan obat baru, tetapi juga transformasi menyeluruh dalam praktik penggunaan antimikroba di bidang kesehatan, pertanian, dan peternakan. “Setiap negara, institusi, dan individu memiliki peran strategis dalam mencegah eskalasi krisis ini,” kata dia. (*)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fifia Asiani

Fifia Asiani

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus