Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
INFO NASIONAL - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan A. Djalil mengatakan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi salah satu upaya Pemerintah memberikan terobosan dalam kemudahan berusaha. Kehadiran beleid tersebut mendorong reformasi perizinan, penyederhanaan perizinan berusaha, penyederhanaan persyaratan investasi, termasuk reformasi tata ruang dan pertanahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Hambatan yang ditemui selama ini dalam menetapkan tata ruang di daerah karena tidak adanya integrasi. UU Cipta Kerja mengenalkan integrasi dan tata ruang akan menjadi panglima pembangunan dan masuknya investasi di Indonesia,” kata Menteri Sofyan dalam diskusi bertajuk “Pasca UU Cipta Kerja: Kupas Tuntas Reformasi Perizinan Berbasis RDTR” di Jakarta, Kamis, 5 November 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sofyan A. Djalil juga menegaskan, adanya UU Cipta Kerja akan mempercepat persetujuan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang mendukung Online Single Submission (OSS) yang diberlakukan pemerintah, terutama dalam dasar pemberian izin berusaha.
Tak hanya itu, UU Cipta Kerja juga mendorong digitalisasi dan transparansi penataan ruang. Pemerintah daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR dalam bentuk digital dan sesuai standar. Digitalisasi tata ruang menjadikan proses perizinan menjadi lebih transparan dan akuntabel karena setiap bidang tanah menjadi jelas peruntukannya.
Pemanfaatan ruang pun telah diatur melalui produk Rencana Tata Ruang (RTR) yang dilakukan secara berjenjang, mulai dari level nasional hingga level detail. Informasi Rencana Tata Ruang (RTR) dapat diketahui melalui empat platform, yaitu RTR Online, RDTR Interaktif, Progress Penyelesaian Tata Ruang (Protaru) dan Konsultasi Publik Online yang terdapat pada sistem informasi berbasis web (WebGIS) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN gistaru.atrbpn.go.id.
Sofyan A. Djalil menambahkan, terobosan dalam upaya kesesuaian pemanfaatan ruang ini juga menguntungkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam proses perizinan berusaha tanpa khawatir melanggar aturan tata ruang. Informasi mengenai rencana lokasi kegiatan usahanya yang sesuai dengan RDTR bisa langsung didapatkan, kemudian mengajukan permohonan pemanfaatan ruang melalui sistem OSS tanpa berurusan dengan birokrasi yang berbelit-belit.
Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Yuliot yang juga hadir dalam diskusi mengatakan selama ini perizinan menjadi faktor utama penghambat investasi, maka diperlukan OSS untuk mempermudah hal tersebut.
”Di dalam sistem yang akan dibangun oleh BKPM, yaitu OSS Risk Based Approach (RBA), sistem OSS ini akan diintegrasikan dengan sistem di Kementerian ATR/BPN yang terkait dengan tata ruang yaitu GISTARU dan dengan pelaku usaha atau kegiatan usaha itu sendiri,” ujarnya.
Berdasarkan Pasal 33 PP nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, kabupaten/kota yang sudah memiliki Perda RDTR dan sudah terintegrasi ke aplikasi OSS, izin lokasi akan terbit oleh lembaga OSS tanpa komitmen.
”Tujuan keberadaan OSS bagi investor ialah agar mendapat kepastian untuk izin lokasi usahanya. Hal tersebut akan sangat bergantung pada kecepatan penyusunan dan penetapan RDTR oleh pemerintah daerah,” kata Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri sekaligus Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Kawasan Ekonomi, Sanny Iskandar.
Ke depannya, perencanaan ruang akan menuju ‘One Spatial Planning Policy’ yang mengintegrasikan seluruh pengaturan ruang sektoral ke dalam satu produk hukum RTR. Penataan ruang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang dalam bumi menuju Satu Produk Rencana Tata Ruang.
Untuk menjawab tantangan tata ruang yang dinamis, UU Cipta Kerja juga mengamanahkan pembentukan forum penataan ruang, khususnya untuk daerah yang belum memiliki RDTR. Lebih lanjut, rekomendasi forum tersebut didasarkan pada data dan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan (evidence based), serta rekomendasi ini dijadikan sebagai referensi revisi produk tata ruang.(*)