Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo

Rekonsiliasi Kultural Jawa dan Sunda

Di Jawa Barat saat ini kita tidak akan menemukan nama Jalan Majapahit, Hayam Wuruk, apalagi Jalan Gajah Mada.

5 Oktober 2017 | 15.23 WIB

Rekonsiliasi kultural menjadi bagian melupakan sesuatu sebagai sejarah yang tak perlu diulang
Perbesar
Rekonsiliasi kultural menjadi bagian melupakan sesuatu sebagai sejarah yang tak perlu diulang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

INFO JABAR - Alam bawah sadar sebagian orang Sunda sudah lama terbangun/dibangun perasaan tidak suka dengan orang Jawa. “Warisan” buruk itu erat kaitannya dengan sejarah, bercampur mitos dari Perang Bubat yang terjadi 600 tahun lalu (1357 M). 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Dampaknya cukup luas. Di Jawa Barat saat ini kita tidak akan menemukan nama Jalan Majapahit, Hayam Wuruk, apalagi Jalan Gajah Mada yang dianggap paling berdosa dan penyebab tragedi. Begitu juga sebaliknya nama Pajajaran atau Siliwangi tidak kita temukan di Jawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesalahpahaman inilah yang ingin diakhiri Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher). Melalui serangkaian pembicaraan, akhirnya diputuskan akan dibuat nama jalan, Pajajaran dan Siliwangi di Yogyakarta. Sebaliknya nama Majapahit dan Hayam Wuruk akan disematkan di beberapa nama jalan di kota-kota di Jabar.

Gagasan besar tersebut mulai diwujudkan Sri Sultan Hamengkubuwono X,  Selasa 3 Oktober 2017.  Dua buah  ruas jalan di Yogyakarta diberi  nama Jalan Pajajaran, Jalan Siliwangi, Jalan Majapahit, dan Jalan Brawijaya. Sementara Aher akan segera merealisasikan nama Jalan Majapahit dan Hayam Wuruk di Jabar. 

Aher juga berharap nama Pajajaran dan Siliwangi bisa segera menjadi nama jalan di beberapa kota di Jatim. Dia telah merintisnya dengan bertemu sejumlah pejabat dan para budayawan di Jatim. "Kita dipenuhi rasa dendam maupun kebencian. Kesalahan di masa lalu perlu dimaafkan. Bagaimana pun bangsa ini menatap ke depan. Rekonsiliasi kultural seperti ini, menjadi bagian melupakan sesuatu sebagai sejarah yang tak perlu diulang," jelas Sultan.

Sikap yang sepenuhnya didukung  Aher. Menurutnya kesalahpahaman kedua etnis harus diakhiri, karena melahirkan berbagai isu yang kontraproduktif pada bangsa. 

Persoalannya tidak hanya berkaitan dengan sektor privat, seperti larangan kawin mawin antara orang Sunda-Jawa, tapi juga sudah merambah ke sektor publik, dalam politik dan pemerintahan.

Di berbagai lembaga pemerintah tingkat pusat, ada preverensi etnis ketika menentukan jabatan di level yang cukup tinggi, seperti eselon I dan II. Di Provinsi Jabar misalnya, di masa lalu cukup sulit bagi etnis Jawa untuk memegang jabatan yang cukup penting.

Sejak Aher menjadi Gubernur (2008) dilakukan berbagai perubahan kebijakan. Saat ini ada beberapa orang Jawa dan etnis non Sunda yang menjabat sebagai kepala dinas (eselon II) dan beberapa jabatan strategis lainnya.

Dalam konteks kolonial  Belanda, permusuhan kedua etnis ini tampaknya sengaja dipelihara sebagai bagian dari politik pecah belah (devide et impera). Kidung Sundayana yang memuat kisah Pasunda Bubat masuk dalam pelajaran di sekolah-sekolah Belanda di Jabar.

Konflik ini sengaja terus dikipas-kipas oleh Belanda. Padahal sebagai sebuah sejarah, akurasinya perlu dipertanyakan, penuh bias, karena bercampur mitos. (*)

 

Dari Tulisan: Hersubeno Arief

Fanny

Fanny

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus