Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kompleks MPR/DPR/DPD tampak meriah pada Selasa, 29 Agustus 2023. MPR sedang menggelar Tasyakuran HUT ke-78. Sedangkan DPR yang juga merayakan HUT ke-78 menggelar Rapat Paripurna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di salah satu selasar terpisah, stan-stan UMKM tumplak dengan berbagai sajian kuliner. Di sudut lain sekelompok ibu-ibu berjoget mengikuti lagu “Rungkad” yang dinyanyikan biduan organ tunggal di atas panggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada puncak acara Tasyakuran HUT ke-78, Ketua MPR Bambang Soesatyo memotong tumpeng sebagai rasa syukur. Di sekelilingnya tampak Wakil Ketua MPR, Sjarifuddin Hasan, Arsul Sani, dan Hidayat Nur Wahid.
Di balik kemeriahan itu, Bamsoet yang menjadi pembicara utama, mengisahkan perjalanan MPR yang penuh perubahan sejak masa awal kemerdekaan Republik Indonesia hingga era reformasi.
Dimulai saat dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat pada 29 Agustus 1945–tanggal yang dipilih jadi perhitungan usia MPR–yang terdiri atas 137 anggota berasal dari golongan pemuda, pemuka masyarakat, dan wakil dari golongan daerah.
“Saat itu KNIP belum menjalankan fungsi konstitusi, melainkan fungsinya untuk membantu presiden menjalankan tugasnya terutama menjaga kedaulatan negara ini yang baru saja merdeka,” tutur Bamsoet.
Dalam perjalanannya, KNIP kemudian dibubarkan seiring bentuk negara berubah jadi RIS, dari Desember 1949 sampai Agustus 1950. Di masa inilah lahir cikal-bakal DPR seturut dibentuknya DPR RIS yang terdiri dari 150 anggota dan wakil seluruh rakyat.
RIS akhirnya runtuh pada 1950 dan bentuk negara kembali menjadi NKRI, dan pada 17 Agustus 1950 diberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS). Selanjutnya, dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 oleh Presiden Sukarno, akhirnya Indonesia kembali kepada UUD 45.
Adapun keberadaan MPR sesuai ketetapan UUD 45 baru muncul setelah Pemilu 1971. Di era itu pula MPR mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, sesuai ketentuan dalam UUD 45. MPR saat Order Baru juga berwenang menetapkan GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) yang menjadi pedoman pembangunan bangsa setiap lima tahun.
Setelah reformasi pada 1998, MPR kemudian melakukan amandemen sebanyak empat kali pada UUD 45. Amandemen sejatinya bertujuan menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan perkembangan zaman serta kebutuhan bangsa dan negara.
Namun, amandemen tersebut ternyata juga mengubah wajah MPR. Kini, kedudukan MPR hanya sebatas lembaga tinggi negara setara dengan DPR, BPK, dan lainnya. Pasal 2 Ayat 1 Amandemen Keempat UUD 45 pada 2002 juga menghapus kehadiran Utusan Golongan dalam tubuh MPR, hanya tersisa perwakilan dari DPR dan DPD.
Kewenangan lain yang masih diperdebatkan di Mahkamah Konstitusi yakni kewenangan Subjektif Superlatif MPR melalui hak-hak mengeluarkan ketetapan-ketetapan atau Tap MPR. Hal ini membuat lembaga tersebut berada dalam pusaran polemik.
Menurut Bamsoet, dalam sejarahnya penerbitan TAP MPR menjadi ‘pintu darurat’ saat menghadapi situasi negara yang sedang genting. “Misalnya ketika terjadi kebuntuan konstitusi dan situasi kedaruratan yang luar biasa yang tidak bisa diatasi dengan tindakan yang biasa,” kata dia.
Ketua MPR mengulas perjalanan panjang MPR sejak masa awal kemerdekaan hingga era reformasi.
Wewenang berikutnya yang juga penting, Bamsoet melanjutkan, bahwa MPR dapat merumuskan PPHN agar menjadi peta jalan (road map) pembangunan bangsa. “Kiranya perlu digarisbawahi bahwa kewenangan itu akan memberi peluang baik bagi MPR untuk mengajak pengelola negeri dalam memandang dan menyiapkan masa depan bangsa,” ujarnya.
Pentingnya kewenangan MPR dalam menerbitkan TAP MPR juga dikemukakan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra dalam acara Podcast Uncensored Akbar Faizal. Prof Yusril memberi contoh ketika hanya ada calon tunggal presiden dalam Pilpres 2024. Lazimnya, calon tunggal tersebut akan diadu melawan kotak kosong, seperti contoh kasus Pilkada di Makassar beberapa tahun lalu.
“Kalau kotak kosong itu ternyata menang, bagaimana jadinya?” kata Yusril. “Tidak mungkin memilih kotak kosong sebagai presiden. Lantas, apakah akan dipilih penjabat presiden atau negara dibiarkan chaos?”
Argumentasi Yusril ini beralasan, pasalnya dalam Pasal 6A Amandemen Keempat UUD 45 tidak mengatur masalah demikian. “Di Tahun 1967 MPR masih bisa memberhentikan Presiden Sukarno dan melantik Suharto awalnya sebagai Penjabat Presiden. Apakah sekarang masih bisa jika MPR tidak punya wewenang itu?” tanya Yusril.
Berdasarkan argumen-argumen yang mengemuka dari Yusril maupun para penanggap, Akbar Faizal sebagai moderator podcast akhirnya menyimpulkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan MPR.
Setelah podcast yang menyisakan pertanyaan di benak hadirin, suasana kembali cair dengan penampilan 10 finalis Stand Up Comedy. Sindiran dan kritikan kepada lembaga-lembaga tinggi disambut tawa dan uang hadiah yang cukup menggiurkan.
Lomba stand up comedy MPR kali ini mengangkat tema “Kebhinekaan Dalam Pesta Demokrasi”. Juara 1 dimenangkan oleh komika Suwarjo Wijaya yang berhak mendapatkan hadiah uang tunai sebesar Rp 17 juta. Juara 2 dimenangkan oleh M Ronaldo, mendapatkan hadiah Rp 13 juta. Juara 3 dimenangkan oleh Darwin Moa, mendapatkan hadiah Rp 10 juta, dan Juara Favorit diraih Awaludin dengan hadiah Rp 5 juta.
"Lomba stand up comedy merupakan cara kreatif MPR menyerap aspirasi guna menangkap, mencerna, mengelola, dan merespon berbagai realitas sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Sehingga dalam melakukan sosialisasi Empat Pilar MPR tidak hanya mengandalkan cara konvensional, seperti ceramah, forum diskusi, seminar dan lain-lain, yang kadangkala terkesan kaku," kata Bamsoet.