Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Hartono Prawiraatmaja mengapresiasi banyak pihak yang ingin menanam mangrove. Namun, dia berharap penanaman itu dikoordinasikan terlebih dahulu ke BRGM agar tidak salah sasaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ada yang menanam di pasir, ya tidak hidup. Saya sampai mengirim surat kepada seluruh instansi, berterima kasih untuk kontribusinya menanam mangrove, dan memohon agar kalau ada penananam mangrove berkoordinasi dengan BRGM, agar lokasi tepat sasaran,” kata dia, beberapa waktu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mangrove dianggap sebagai bagian penting mitigasi tsunami. Selain itu, tanaman ini juga dinilai kuat untuk menahan atau setidaknya memperlambat saat tsunami menghantam daratan. Namun, menurut Hartono masih banyak yang belum tahu bahwa tidak semua pantai memerlukan mangrove.
“Mangrove itu memerlukan persyaratan hidup. Pertama, dia harus kena pasang surut air laut,” kata Hartono. Jika air terus tergenang maka mangrove tidak bisa hidup. Sementara kadar garam tidak boleh terlalu rendah maupun terlalu tinggi. Mangrove juga tumbuh di wilayah yang bersubstrat lumpur. “Tanpa itu, tidak bisa hidup,” kata dia.
Lulusan Pascasarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam dari Universitas Edinburgh, Inggris ini pun kemudian mengapresiasi upaya-upaya perusahaan yang melakukan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan menanam mangrove. “Kami apresiasi dan sebaiknya tetap berkoordinasi dengan BRGM.”
BRGM pun sempat mengalokasikan 15 ribu hektare untuk dialokasikan kepada perusahaan-perusahaan yang hendak menyalurkan CSR. Adapun PT Pertamina (Persero) menyumbang 2.500 hektare, PT Indika Energy Tbk 2.500 hektare, dan PT Freeport Indonesia sebanyak 10 ribu Hektare.
Menurutnya, ada tiga jenis perusahaan terkait kepeduliannya terhadap mangrove. Pertama, perusahaan yang memang ingin melakukan CSR dengan menanam mangrove. Perusahaan ini sesungguhnya tidak memiliki kewajiban untuk mengurangi emisi. Kedua, perusahaan tambang yang melakukan penanaman mangrove dikarenakan kewajibannya untuk mengurangi emisi seperti perusahaan batubara dan nikel.
Sementara ketiga, perusahaan yang menanam mangrove untuk investasi. Perusahaan, kata Hartono, menginvestasikan uangnya untuk membeli hutan mangrove yang karbonnya dihitung dan bisa dikompensasikan ke pemilik industri yang mengeluarkan emisi.
Menurut Hartono, banyak perusahaan yang tertarik untuk berinvestasi untuk hutan mangrove. Hutan itu tidak diubah peruntukannya dan hanya diambil karbonnya. Untuk investasi ini, katanya, dapat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).